Review Film The Substance, Sebuah Kengerian Ilusi Standar Kecantikan & Kloning Manusia
16 October 2024 |
18:00 WIB
1
Like
Like
Like
Film The Substance garapan sutradara Coralie Fargeat itu imajiner. Namun, kebencian terhadap tubuh sendiri akibat standar kecantikan, umur, maupun ekspektasi adalah hal-hal yang masih kerap ditemui dan diperdebatkan. Film ini membawanya ke arah yang lebih gila lagi.
Dalam dua jam pertamanya, The Substance adalah film yang menghibur dan dibuat dengan baik. Fargeat banyak menyuguhkan komentar sosial yang pedas tentang diskriminasi usia dan seksisme dalam dunia hiburan, dalam hal ini Hollywood.
Baca juga: Daftar Pemenang Jakarta World Cinema 2024, dari The Substance hingga Girls Will be Girls
Namun, dalam dua puluh menit terakhir, babak ketiga film ini sangat tidak terkendali. Film yang mulanya adalah fiksi ilmiah yang masih relatif menyenangkan ditonton, berubah menjadi absurdisme dan menjadi film monster. Penonton dapat memutuskan sendiri siapa monsternya.
Membawa isu standar kecantikan dan ageisme bukanlah hal baru di film. Sedikit terdengar usang karena telah banyak dieksplorasi. Namun, penambahan fiksi ilmiah dalam hal ini biological horror membuat warna film ini menarik diikuti.
Film ini pun telah memenangkan piala Skenario Terbaik di Cannes Film Festival 2024. Ketika diputar di festival tertua di dunia tersebut, film produksi Working Title Films dan Blacksmith ini juga diganjar 11 menit standing ovation.
The Substance menceritakan kisah Elisabeth Sparkle, seorang bintang Oscar ternama yang terus menjaga eksistensinya di dunia hiburan. Di usianya yang menginjak 50 tahun, karakter yang diperankan Demi Moore itu memang tak lagi jadi sorotan utama.
Namun, setidaknya dia masih menjadi host di acara aerobik terkenal. Sayang, satu-satunya program yang tersisa itu pun mesti hilang, setelah produser eksekutif televisi Harvey (Dennis Quaid) ingin menendangnya dan segera menggantinya dengan perempuan lain yang lebih muda untuk menaikkan rating kembali.
Dari sini, motivasi dan kondisi Elisabeth tergambar dengan baik. Dia adalah aktris yang pernah begitu populer, tetapi kini mesti ditepikan begitu saja hanya gara-gara usia. Dia ingin tetap mempertahankan eksistensinya.
Tak hanya fondasi cerita yang apik, sejumlah metafora yang mengisyaratkan itu pun muncul dengan mulus. Ketika awal film, penonton disuguhkan montase bintang Walk of Fame Elisabeth yang dipasang dengan hormat, tetapi lambat laun memudar, retak, dan diabaikan oleh turis yang berjalan di atasnya.
Kemudian, Harvey, produser eksekutif televisi itu juga digambarkan satire yang unik. Gambar close up produser kerap diambil dengan kamera fish eye yang sangat menganggu.
Pelan-pelan, tangga dramatik cerita di film ini mulai terbangun. Elisabeth yang ingin tetap menjaga eksistensi kemudian mengambil jalan pintas. Dia menemukan iklan The Substance, obat yang bisa menciptakan diri versi lebih muda, lebih cantik, dan sempurna. Cara kerja obat ini adalah dengan mengkloning tubuh sendiri.
Namun, ada aturan yang harus dipatuhi. Versi dirinya yang asli dan versi dirinya yang lebih muda harus hidup bergantian, masing-masing satu minggu. Meski memiliki dua versi, dua badan ini sebenarnya tetap berjiwa dirinya. Masalah muncul ketika jiwanya tampak lebih menginginkan versi yang lebih muda, yang kemudian dia beri nama sebagai Sue.
Dalam film ini, Fargeat bercerita dengan pelan, tetapi tidak bertele-tele. Dia terus menaikkan intensi filmnya dari waktu ke waktu. Misteri yang terus disuguhkan dari adegan ke adegan makin membuat penonton penasaran.
Lewat film ini, sang sutradara bukan hanya ingin menyuarakan tekanan eksternal yang dihadapi perempuan
dalam dunianya, yang kemudian mengambil tindakan ekstrem guna mencapai definisi sempit soal kecantikan.
Adegan-adegan yang makin gila karena sentuhan biological horror seakan menjerumuskan penonton ke dalam pengalaman tidak langsung tentang beban fisik dan psikologis yang ditimbulkannya.
Dalam film ini, sinematografi memberi sentuhan yang menarik. Digarap oleh Benjamin Kracun, dia banyak memainkan gambar-gambar bersudut rendah dan close up yang kemudian menciptakan kecemasan dengan baik.
Di banyak bagian, Benjamin banyak memanfaatkan lorong-lorong sempit, yang terkadang juga membangkitkan klaustrofobia. Di sisi lain, dia juga beberapa kali memainkan angle long shot untuk menyoroti kesepiannya Elisabeth di tengah apartemen mewah dan pemandangan kota yang semarak di bawahnya.
Adegan terakhir film ini merupakan sajian yang cukup menakjubkan, mengerikan, sekaligus melegakan. Jika ada kritik yang perlu ada, film ini sangat disayangkan tak juga mengeksplorasi sisi bisnis obat gelap yang menjual ilusi kecantikan. Lalu, gambaran produser misoginis di industri televisi pun tak dalam. Padahal, bisa jadi itu adalah bagian sistem yang membuat sebuah monster tercipta.
The Substance, film yang telah tayang di Cannes Film Festival, Toronto International Film Festival, hingga Jakarta World Cinema ini sudah tayang di bioskop komersil mulai 16 Oktober 2024.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Dalam dua jam pertamanya, The Substance adalah film yang menghibur dan dibuat dengan baik. Fargeat banyak menyuguhkan komentar sosial yang pedas tentang diskriminasi usia dan seksisme dalam dunia hiburan, dalam hal ini Hollywood.
Baca juga: Daftar Pemenang Jakarta World Cinema 2024, dari The Substance hingga Girls Will be Girls
Namun, dalam dua puluh menit terakhir, babak ketiga film ini sangat tidak terkendali. Film yang mulanya adalah fiksi ilmiah yang masih relatif menyenangkan ditonton, berubah menjadi absurdisme dan menjadi film monster. Penonton dapat memutuskan sendiri siapa monsternya.
Membawa isu standar kecantikan dan ageisme bukanlah hal baru di film. Sedikit terdengar usang karena telah banyak dieksplorasi. Namun, penambahan fiksi ilmiah dalam hal ini biological horror membuat warna film ini menarik diikuti.
Film ini pun telah memenangkan piala Skenario Terbaik di Cannes Film Festival 2024. Ketika diputar di festival tertua di dunia tersebut, film produksi Working Title Films dan Blacksmith ini juga diganjar 11 menit standing ovation.
The Substance menceritakan kisah Elisabeth Sparkle, seorang bintang Oscar ternama yang terus menjaga eksistensinya di dunia hiburan. Di usianya yang menginjak 50 tahun, karakter yang diperankan Demi Moore itu memang tak lagi jadi sorotan utama.
Namun, setidaknya dia masih menjadi host di acara aerobik terkenal. Sayang, satu-satunya program yang tersisa itu pun mesti hilang, setelah produser eksekutif televisi Harvey (Dennis Quaid) ingin menendangnya dan segera menggantinya dengan perempuan lain yang lebih muda untuk menaikkan rating kembali.
Dari sini, motivasi dan kondisi Elisabeth tergambar dengan baik. Dia adalah aktris yang pernah begitu populer, tetapi kini mesti ditepikan begitu saja hanya gara-gara usia. Dia ingin tetap mempertahankan eksistensinya.
Tak hanya fondasi cerita yang apik, sejumlah metafora yang mengisyaratkan itu pun muncul dengan mulus. Ketika awal film, penonton disuguhkan montase bintang Walk of Fame Elisabeth yang dipasang dengan hormat, tetapi lambat laun memudar, retak, dan diabaikan oleh turis yang berjalan di atasnya.
Kemudian, Harvey, produser eksekutif televisi itu juga digambarkan satire yang unik. Gambar close up produser kerap diambil dengan kamera fish eye yang sangat menganggu.
Pelan-pelan, tangga dramatik cerita di film ini mulai terbangun. Elisabeth yang ingin tetap menjaga eksistensi kemudian mengambil jalan pintas. Dia menemukan iklan The Substance, obat yang bisa menciptakan diri versi lebih muda, lebih cantik, dan sempurna. Cara kerja obat ini adalah dengan mengkloning tubuh sendiri.
Namun, ada aturan yang harus dipatuhi. Versi dirinya yang asli dan versi dirinya yang lebih muda harus hidup bergantian, masing-masing satu minggu. Meski memiliki dua versi, dua badan ini sebenarnya tetap berjiwa dirinya. Masalah muncul ketika jiwanya tampak lebih menginginkan versi yang lebih muda, yang kemudian dia beri nama sebagai Sue.
Dalam film ini, Fargeat bercerita dengan pelan, tetapi tidak bertele-tele. Dia terus menaikkan intensi filmnya dari waktu ke waktu. Misteri yang terus disuguhkan dari adegan ke adegan makin membuat penonton penasaran.
Lewat film ini, sang sutradara bukan hanya ingin menyuarakan tekanan eksternal yang dihadapi perempuan
dalam dunianya, yang kemudian mengambil tindakan ekstrem guna mencapai definisi sempit soal kecantikan.
Adegan-adegan yang makin gila karena sentuhan biological horror seakan menjerumuskan penonton ke dalam pengalaman tidak langsung tentang beban fisik dan psikologis yang ditimbulkannya.
Dalam film ini, sinematografi memberi sentuhan yang menarik. Digarap oleh Benjamin Kracun, dia banyak memainkan gambar-gambar bersudut rendah dan close up yang kemudian menciptakan kecemasan dengan baik.
Di banyak bagian, Benjamin banyak memanfaatkan lorong-lorong sempit, yang terkadang juga membangkitkan klaustrofobia. Di sisi lain, dia juga beberapa kali memainkan angle long shot untuk menyoroti kesepiannya Elisabeth di tengah apartemen mewah dan pemandangan kota yang semarak di bawahnya.
Adegan terakhir film ini merupakan sajian yang cukup menakjubkan, mengerikan, sekaligus melegakan. Jika ada kritik yang perlu ada, film ini sangat disayangkan tak juga mengeksplorasi sisi bisnis obat gelap yang menjual ilusi kecantikan. Lalu, gambaran produser misoginis di industri televisi pun tak dalam. Padahal, bisa jadi itu adalah bagian sistem yang membuat sebuah monster tercipta.
The Substance, film yang telah tayang di Cannes Film Festival, Toronto International Film Festival, hingga Jakarta World Cinema ini sudah tayang di bioskop komersil mulai 16 Oktober 2024.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.