Mengungkai Karya Ganjel Tisna Sanjaya, Instalasi Seni Jadi Medium Kritik Sosial di Art Jakarta 2024
04 October 2024 |
21:15 WIB
Ada yang berbeda di salah satu program Art Jakarta 2024. Pada segmen yang menjadi lokasi kunjungan paling ramai, yakni AJ Spot, terdapat sebuah instalasi dengan nuansa berbeda dalam acara bursa seni yang berlangsung pada 4-6 Oktober di JIEXPO Kemayoran, itu.
Belasan lukisan ditata sedemikian rupa di atas tiang pancang. Sebagian besar menggambarkan orang menari di atas tengkorak manusia. Sosok yang sama, yang saling menggendong itu juga berajojing di atas lanskap pegunungan kerontang. Tangannya terentang, menebarkan saweran uang.
Baca juga: Ekspektasi Tinggi Galeri di Art Jakarta 2024, Sejumlah Karya Terjual Habis Sebelum Pembukaan
Tiang pemancang yang membentuk pola persegi itu juga unik. Alih-alih memanteknya ke lantai, dia justru diberi pemberat buku yang dibungkus dengan karung goni. Terdapat berbagai tulisan protes di sana. Mulai dari kritik terhadap kapitalisme, hingga bagaimana kesenian mesti diaktualisasikan.
Namun, lukisan ini hanyalah satu dari bagian pembuka instalasi berjudul Ganjel (2024) karya Tisna Sanjaya itu. Pokok utamanya justru berada di bagian tengah, yang terdiri dari tumpukan arsip di atas timbangan manual. Objek yang sebelumnya dilukis, kini telah menjelma karya baru di atas dokumen tersebut.
Mereka berdiri mengangkang, dengan banyak tulisan dari spidol di tubuhnya. Namun, yang jelas terimak adalah frasa Sunda berbunyi; wilujeng sumping neo orba. Sementara itu, sebuah pelantang di samping sosok ini, lamat-lamat memperdengarkan siulan sirit uncuing, burung yang dimitoskan sebagai pembawa kabar kematian.
"Lewat karya ini saya ingin bercerita tentang demokrasi, etik, situasi sosial, politik, dan kebudayaan, yang sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja. Ganjel ini sebenarnya karya secara keseluruhan, tetapi ganjel itu yang sebenarnya berada di bagian bawah ini," kata Tisna sambil menunjuk map yang terinjak kaki meja.
Apa yang dicitrakan oleh Tisna, secara umum mudah ditangkap oleh publik secara letterlijk. Tanpa tedeng aling-aling, seniman asal Bandung, Jawa Barat itu juga seolah keluar dari paradigma seniman era Orde Baru, yang lebih banyak menyampaikan kegelisahannya lewat eufimisme bahasa, sanepan, serta tidak blak-blakan dalam mengkritik.
Lewat medium karung dengan berbagai tulisan protes misalnya. Sang seniman seperti ingin mengingatkan kita mengenai pentingnya ketahanan pangan. Karung goni, yang identik dengan beras, palawija, dan yang lain, juga menjadi simbol perlawanan dari kaum jelata, atau kalangangan akar rumput, yang selama ini menjadi korban kelaliman,
Tegangan ini juga dapat diperluas dari sudut pandang estetika. Buku-buku yang selama ini dijadikan bacaaan oleh sang seniman, juga dijadikan pemberat di dalam karung. Selain sebagai simbol untuk menempatkan buku sebagai kebutuhan primer, alih-alih hanya sekadar memenuhi perut dengan makanan yang bakal membuat lena.
"Karung ini juga simbolik. Karena desa saya di Cigondewah itu aslinya penghasil beras bernama Hawarageulis. Namun, ada proses perubahan karena lengah juga, yang dulunya banyak leuit (lumbung padi) saat ini telah berubah menjadi lumbung plastik," imbuhnya.
Menurut Tisna, representasi artistik yang dihadirkan lewat karya ini hanyalah satu dari sekian karyanya yang akan dipamerkan ke publik. Seri karya bertumbuh ini nantinya juga akan dihadirkan di Goethe-Institut Jakarta pada Januari 2025. Dia menyebut harus ada yang dikabarkan mengenai nilai-nilai dan kebebasan demokrasi di era kiwari.
Baca juga: Art Jakarta 2024 Resmi Dibuka, Dorong Ekosistem Seni di Indonesia & Asia Tenggara
Selama 3 hari penuh, Art Jakarta 2024 akan menjadi rumah bagi 73 galeri seni terkemuka, dari dalam dan luar negeri. Art Jakarta juga akan menampilkan berbagai karya seni kontemporer melalui berbagai program unggulannya. Salah satunya adalah AJ Spot, sebuah platform untuk mempresentasikan secara khusus instalasi seni yang telah dirancang untuk bursa seni ini.
Editor: Fajar Sidik
Belasan lukisan ditata sedemikian rupa di atas tiang pancang. Sebagian besar menggambarkan orang menari di atas tengkorak manusia. Sosok yang sama, yang saling menggendong itu juga berajojing di atas lanskap pegunungan kerontang. Tangannya terentang, menebarkan saweran uang.
Baca juga: Ekspektasi Tinggi Galeri di Art Jakarta 2024, Sejumlah Karya Terjual Habis Sebelum Pembukaan
Tiang pemancang yang membentuk pola persegi itu juga unik. Alih-alih memanteknya ke lantai, dia justru diberi pemberat buku yang dibungkus dengan karung goni. Terdapat berbagai tulisan protes di sana. Mulai dari kritik terhadap kapitalisme, hingga bagaimana kesenian mesti diaktualisasikan.
Namun, lukisan ini hanyalah satu dari bagian pembuka instalasi berjudul Ganjel (2024) karya Tisna Sanjaya itu. Pokok utamanya justru berada di bagian tengah, yang terdiri dari tumpukan arsip di atas timbangan manual. Objek yang sebelumnya dilukis, kini telah menjelma karya baru di atas dokumen tersebut.
Pengunjung berinteraksi di depan karya Tisna Sanjaya berjudul Ganjel (2024) di Art Jakarta. (sumber gambar: Hypeabis.id/Abdurachman)
Mereka berdiri mengangkang, dengan banyak tulisan dari spidol di tubuhnya. Namun, yang jelas terimak adalah frasa Sunda berbunyi; wilujeng sumping neo orba. Sementara itu, sebuah pelantang di samping sosok ini, lamat-lamat memperdengarkan siulan sirit uncuing, burung yang dimitoskan sebagai pembawa kabar kematian.
"Lewat karya ini saya ingin bercerita tentang demokrasi, etik, situasi sosial, politik, dan kebudayaan, yang sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja. Ganjel ini sebenarnya karya secara keseluruhan, tetapi ganjel itu yang sebenarnya berada di bagian bawah ini," kata Tisna sambil menunjuk map yang terinjak kaki meja.
Simbol Perlawanan
Apa yang dicitrakan oleh Tisna, secara umum mudah ditangkap oleh publik secara letterlijk. Tanpa tedeng aling-aling, seniman asal Bandung, Jawa Barat itu juga seolah keluar dari paradigma seniman era Orde Baru, yang lebih banyak menyampaikan kegelisahannya lewat eufimisme bahasa, sanepan, serta tidak blak-blakan dalam mengkritik.Lewat medium karung dengan berbagai tulisan protes misalnya. Sang seniman seperti ingin mengingatkan kita mengenai pentingnya ketahanan pangan. Karung goni, yang identik dengan beras, palawija, dan yang lain, juga menjadi simbol perlawanan dari kaum jelata, atau kalangangan akar rumput, yang selama ini menjadi korban kelaliman,
Tegangan ini juga dapat diperluas dari sudut pandang estetika. Buku-buku yang selama ini dijadikan bacaaan oleh sang seniman, juga dijadikan pemberat di dalam karung. Selain sebagai simbol untuk menempatkan buku sebagai kebutuhan primer, alih-alih hanya sekadar memenuhi perut dengan makanan yang bakal membuat lena.
Pengunjung berinteraksi di depan karya Tisna Sanjaya berjudul Ganjel (2024) di Art Jakarta. (sumber gambar: Hypeabis.id/Abdurachman)
Menurut Tisna, representasi artistik yang dihadirkan lewat karya ini hanyalah satu dari sekian karyanya yang akan dipamerkan ke publik. Seri karya bertumbuh ini nantinya juga akan dihadirkan di Goethe-Institut Jakarta pada Januari 2025. Dia menyebut harus ada yang dikabarkan mengenai nilai-nilai dan kebebasan demokrasi di era kiwari.
Baca juga: Art Jakarta 2024 Resmi Dibuka, Dorong Ekosistem Seni di Indonesia & Asia Tenggara
Selama 3 hari penuh, Art Jakarta 2024 akan menjadi rumah bagi 73 galeri seni terkemuka, dari dalam dan luar negeri. Art Jakarta juga akan menampilkan berbagai karya seni kontemporer melalui berbagai program unggulannya. Salah satunya adalah AJ Spot, sebuah platform untuk mempresentasikan secara khusus instalasi seni yang telah dirancang untuk bursa seni ini.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.