Pameran Arsip Wajah Tak Bernama, Perayaan Karya 100 Tahun Sastrawan Sitor Situmorang
02 October 2024 |
22:00 WIB
Sastrawan Sitor Situmorang memang telah pergi meninggalkan kita semua. Namun, kiprah dan pengaruhnya yang besar dalam kesusastraan Indonesia, terutama pada awal-awal kemerdekaan, membuat namanya terus terkenang hingga sekarang.
Dalam kesusastraan nasional, Sitor dikenal sebagai angkatan 45. Namanya berada sezaman dengan Chairil Anwar, Idrus, dan Asrul Sani. Namun, di antara nama-nama tersebut, Sitor tetap punya kedudukan yang istimewa.
Demi menjaga warisan sang sastrawan, Komunitas Bambu, Yayasan Sitor Situmorang, dan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan DKI Jakarta menggelar pameran arsip 100 tahun Sitor Situmorang bertajuk Wajah Tak Bernama.
Baca juga: 5 Pameran Seni Rupa Oktober 2024: Art The Fact 3.0 hingga View Finder ROH Projects
Dalam pameran yang berlangsung pada 2 Oktober hingga 2 November 2024 ini, publik dapat kembali melihat kisah perjalanan sang penyair hingga turut mengambil satu pijakan penting dalam kesusastraan Indonesia.
Sajak-sajaknya yang dikenal penuh kesederhanaan, tetapi hadir dalam bentuk yang lentur dan cair itu seolah bangkit kembali. Gagasan-gagasan yang menempel di setiap diksi pilihannya tak bisa dimungkiri, terus bernyawa dan relevan melintas zaman.
Memasuki ruang pamer yang terletak di lantai 4 Perpustakaan Jakarta Cikini dan PDS HB Jassin, pengunjung akan disambut dengan sebuah foto berwarna hitam putih. Foto tersebut merekam wajah sang sastrawan tengah menatap ke kiri.
Wajahnya tampak begitu tenang kendati guratan-guratan mulai menggelayut di pipinya. Rambutnya yang kain memutih juga tergambar jelas. Ini adalah foto terakhir Sitor di Indonesia. Gambar tersebut diambil oleh patrick Lumbanraja di Bali.
Beranjak ke dalam, pengunjung akan diajak menyibak momen-momen akhir sang sastrawan. Dimulai dari foto-foto eksklusif saat prosesi pemakamannya di Harianboho hingga berbagai kliping surat kabar besar yang menuliskan obituari untuk mengantarnya berpulang.
Tak hanya memacak arsip foto, pameran ini juga mempertontonkan puluhan buku-buku yang berisi puisi, prosa, maupun drama yang digarap sang sastrawan angkatan 45 tersebut.
Buku-buku legendarisnya, seperti Surat Kertas Hidjau, Di Jalan Mutiara, Triffid Mengantjam Dunia, hingga Wadjah Tak Bernama tertata dengan apik. Tulisannya tak hanya soal puisi, dia pun turut terlibat dalam kesenian lain, dari film hingga teater.
Dalam pameran ini, pengunjung juga bisa menelisik sisi-sisi lain Sitor, tak terkecuali dalam hal politik. Tulisan-tulisannya mengenai Marhaenisme dan Kebudayaan Indonesia, Kebebasan Kebudajaan, dan hal-hal demikian, bisa ditemui di pameran arsip ini.
Yang menarik, kehidupan non-panggung juga dipertontonkan. Kedekatannya dengan beberapa tokoh, termasuk Pramoedya Ananta Toer juga diperlihatkan. Hal itu bisa ditelisik dari salah satu foto yang menggambarkan pertemuan keduanya, di kediaman Pram di Bojonggede, pada 2004.
Adapun, untuk lebih mempermudah mengenal sosok Sitor, pengunjung bisa melihat lini masa kehidupan sang sastrawan itu lewat berbagai peristiwa penting di kehidupannya.
Lini masa itu akan menuntun pengunjung membalikkan waktu ke 2 Oktober 1924, saat Sitor Situmorang lahir di Harianboho, satu desa di kaki Gunung Pusuk Buhit, yang dianggap keramat oleh orang Batak, Sumatera Utara.
Pada 1931, Sitor mulai bersekolah dasar berbahasa Belanda di Balige dan Sibolga. Pada 1941, dia pindah ke Jakarta untuk sekolah di CMS di Salemba. Cerita kemudian berlanjut saat 1943 Sitor mewakili Keresedinan Tapanuli sebagai salah satu penerima beasiswa untuk sekolah di Jepang.
Dalam lini masa ini, dijelaskan pula perjalanannya ke Eropa, momentum Sitor mulai merajai panggung sastra, hingga menerima SEA Write Award, salah satu penghargaan bergengsi penulis dan penyair di Asia Tenggara.
Wakil Yayasan Sitor Situmorang Gulon Situmorang mengatakan pameran ini merupakan upaya mengenalkan kembali karya-karya dari Sitor Situmorang kepada generasi muda. Sebab, di balik karya-karyanya, gagasan-gagasan yang dibawa Sitor dinilai masih terus relevan hingga sekarang.
Gulon menyebut salah satu yang menarik dari sastra yang dikembangkan Sitor adalah karyanya selalu berasal dari akar budaya Indonesia dan khususnya Batak yang sangat kuat. Hal ini dinilainya menjadi satu semangat penting yang perlu dijaga di tengah dunia yang makin kehilangan akar budayanya.
“Ada jangkauan pemikiran yang jauh yang bersifat membumi pada Indonesia, bahkan kampung halaman. Ini ciri yang tak bisa lepas dari almarhum,” ucap putra sulung Sitor Situmorang tersebut.
Dia berharap apa yang disajikan pada pameran ini turut mengilhami generasi baru untuk meneruskan gagasan-gagasan tersebut. Di luar itu, pameran ini mencoba menawarkan wawasan baru bagi para penggemar sastra.
Dalam cacatan kuratorialnya, sejarawan sekaligus pendiri Komunitas Bambu mengatakan tajuk Wajah Tak Bernama diambil dari judul kumpulan sajak ketiga sang sastrawan. Mulanya buku kumpulan sajak itu akan diberi judul Dari Segala Angin, tetapi tidak jadi.
Bagi JJ Rizal, arsip riwayat perubahan judul ini penting karena makin menegaskan agar jangan melihat Sitor dari hanya satu arah tertentu saja. Begitu pula, semangat dari pameran ini.
“Secara konteks, masa ketika Wajah Tak Bernama terbit, Sitor telah mendapatkan tempat penting dan istimewa sebagai penyair karena memiliki wajah yang kompleks,” tulisnya.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Dalam kesusastraan nasional, Sitor dikenal sebagai angkatan 45. Namanya berada sezaman dengan Chairil Anwar, Idrus, dan Asrul Sani. Namun, di antara nama-nama tersebut, Sitor tetap punya kedudukan yang istimewa.
Demi menjaga warisan sang sastrawan, Komunitas Bambu, Yayasan Sitor Situmorang, dan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan DKI Jakarta menggelar pameran arsip 100 tahun Sitor Situmorang bertajuk Wajah Tak Bernama.
Baca juga: 5 Pameran Seni Rupa Oktober 2024: Art The Fact 3.0 hingga View Finder ROH Projects
Dalam pameran yang berlangsung pada 2 Oktober hingga 2 November 2024 ini, publik dapat kembali melihat kisah perjalanan sang penyair hingga turut mengambil satu pijakan penting dalam kesusastraan Indonesia.
Sajak-sajaknya yang dikenal penuh kesederhanaan, tetapi hadir dalam bentuk yang lentur dan cair itu seolah bangkit kembali. Gagasan-gagasan yang menempel di setiap diksi pilihannya tak bisa dimungkiri, terus bernyawa dan relevan melintas zaman.
Pengunjung melintas saat pameran Arsip 100 Tahun Sitor Situmorang Wajah Tak Bernama di Jakarta, Rabu (2/10/2024). (Sumber gambar: JIBI/Bisnis/Abdurachman)
Memasuki ruang pamer yang terletak di lantai 4 Perpustakaan Jakarta Cikini dan PDS HB Jassin, pengunjung akan disambut dengan sebuah foto berwarna hitam putih. Foto tersebut merekam wajah sang sastrawan tengah menatap ke kiri.
Wajahnya tampak begitu tenang kendati guratan-guratan mulai menggelayut di pipinya. Rambutnya yang kain memutih juga tergambar jelas. Ini adalah foto terakhir Sitor di Indonesia. Gambar tersebut diambil oleh patrick Lumbanraja di Bali.
Beranjak ke dalam, pengunjung akan diajak menyibak momen-momen akhir sang sastrawan. Dimulai dari foto-foto eksklusif saat prosesi pemakamannya di Harianboho hingga berbagai kliping surat kabar besar yang menuliskan obituari untuk mengantarnya berpulang.
Tak hanya memacak arsip foto, pameran ini juga mempertontonkan puluhan buku-buku yang berisi puisi, prosa, maupun drama yang digarap sang sastrawan angkatan 45 tersebut.
Buku-buku legendarisnya, seperti Surat Kertas Hidjau, Di Jalan Mutiara, Triffid Mengantjam Dunia, hingga Wadjah Tak Bernama tertata dengan apik. Tulisannya tak hanya soal puisi, dia pun turut terlibat dalam kesenian lain, dari film hingga teater.
Dalam pameran ini, pengunjung juga bisa menelisik sisi-sisi lain Sitor, tak terkecuali dalam hal politik. Tulisan-tulisannya mengenai Marhaenisme dan Kebudayaan Indonesia, Kebebasan Kebudajaan, dan hal-hal demikian, bisa ditemui di pameran arsip ini.
Pengunjung melintas saat pameran Arsip 100 Tahun Sitor Situmorang Wajah Tak Bernama di Jakarta, Rabu (2/10/2024). (Sumber gambar: JIBI/Bisnis/Abdurachman)
Yang menarik, kehidupan non-panggung juga dipertontonkan. Kedekatannya dengan beberapa tokoh, termasuk Pramoedya Ananta Toer juga diperlihatkan. Hal itu bisa ditelisik dari salah satu foto yang menggambarkan pertemuan keduanya, di kediaman Pram di Bojonggede, pada 2004.
Adapun, untuk lebih mempermudah mengenal sosok Sitor, pengunjung bisa melihat lini masa kehidupan sang sastrawan itu lewat berbagai peristiwa penting di kehidupannya.
Lini masa itu akan menuntun pengunjung membalikkan waktu ke 2 Oktober 1924, saat Sitor Situmorang lahir di Harianboho, satu desa di kaki Gunung Pusuk Buhit, yang dianggap keramat oleh orang Batak, Sumatera Utara.
Pada 1931, Sitor mulai bersekolah dasar berbahasa Belanda di Balige dan Sibolga. Pada 1941, dia pindah ke Jakarta untuk sekolah di CMS di Salemba. Cerita kemudian berlanjut saat 1943 Sitor mewakili Keresedinan Tapanuli sebagai salah satu penerima beasiswa untuk sekolah di Jepang.
Dalam lini masa ini, dijelaskan pula perjalanannya ke Eropa, momentum Sitor mulai merajai panggung sastra, hingga menerima SEA Write Award, salah satu penghargaan bergengsi penulis dan penyair di Asia Tenggara.
Meneruskan Gagasan
Wakil Yayasan Sitor Situmorang Gulon Situmorang mengatakan pameran ini merupakan upaya mengenalkan kembali karya-karya dari Sitor Situmorang kepada generasi muda. Sebab, di balik karya-karyanya, gagasan-gagasan yang dibawa Sitor dinilai masih terus relevan hingga sekarang.Gulon menyebut salah satu yang menarik dari sastra yang dikembangkan Sitor adalah karyanya selalu berasal dari akar budaya Indonesia dan khususnya Batak yang sangat kuat. Hal ini dinilainya menjadi satu semangat penting yang perlu dijaga di tengah dunia yang makin kehilangan akar budayanya.
“Ada jangkauan pemikiran yang jauh yang bersifat membumi pada Indonesia, bahkan kampung halaman. Ini ciri yang tak bisa lepas dari almarhum,” ucap putra sulung Sitor Situmorang tersebut.
Pengunjung melintas saat pameran Arsip 100 Tahun Sitor Situmorang Wajah Tak Bernama di Jakarta, Rabu (2/10/2024). (Sumber gambar: JIBI/Bisnis/Abdurachman)
Dia berharap apa yang disajikan pada pameran ini turut mengilhami generasi baru untuk meneruskan gagasan-gagasan tersebut. Di luar itu, pameran ini mencoba menawarkan wawasan baru bagi para penggemar sastra.
Dalam cacatan kuratorialnya, sejarawan sekaligus pendiri Komunitas Bambu mengatakan tajuk Wajah Tak Bernama diambil dari judul kumpulan sajak ketiga sang sastrawan. Mulanya buku kumpulan sajak itu akan diberi judul Dari Segala Angin, tetapi tidak jadi.
Bagi JJ Rizal, arsip riwayat perubahan judul ini penting karena makin menegaskan agar jangan melihat Sitor dari hanya satu arah tertentu saja. Begitu pula, semangat dari pameran ini.
“Secara konteks, masa ketika Wajah Tak Bernama terbit, Sitor telah mendapatkan tempat penting dan istimewa sebagai penyair karena memiliki wajah yang kompleks,” tulisnya.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.