Ilustrasi produksi film. (Jakob Owens/Unsplash)

Revolusi AI dalam Perfilman, Peluang Kreatif atau Ancaman bagi Sineas Indonesia?

02 October 2024   |   21:30 WIB
Image
Desyinta Nuraini Jurnalis Hypeabis.id

Teknologi artificial intelligence (AI) menyasar semua sektor, tidak terkecuali industri di balik layar perfilman. Kecerdasan buatan ini bukan hanya menciptakan peluang namun juga tantangan baru bagi para sineas yang tidak bisa menampik kehadirannya.

Kendati demikian, memang adopsi AI pada industri perfilman di Indonesia sejauh ini lebih banyak pada tahap praproduksi. Sutradara Fajar Bustomi mengatakan teknologi ini cukup membantu dalam membuat storyboard yang akan dipresentasikan kepada klien atau investor. 

Baca juga: Jakarta Film Week 2024 Beri Ruang Film Hasil Produksi AI Tayang di Festival

Selain membuat storyboard, Fajar menyebut dia dan beberapa sineas lainnya juga memanfaatkan AI ketika membuat teaser poster. Menuangkan gagasan-gagasan dalam bentuk visual ini bisa lebih cepat ketimbang harus menggambarnya secara manual.

“Jadi AI itu kita gunakan untuk pancingan untuk kita punya referensi dan bayangan-bayangan yang ada di kepala,” katanya saat dihubungi Hypeabis.id beberapa waktu lalu.

Meskipun perkembangannya kian masif dan diklaim bisa memangkas waktu produksi, Fajar menilai para sineas tidak menyerahkan semua pekerjaan di balik layar ini ke AI. Pasalnya, karakteristik teknologi tersebut dalam menjalankan perintah riskan bersinggungan dengan hak cipta atau karya orang lain. 

Bisa saja menggunakan Chat GPT untuk membuat sinopsis film lantaran dikejar deadline, tetapi menurut Fajar, hasil finalisasinya tetap butuh campuran ide-ide segar dari sang penulis naskah. Dia menegaskan yang terpenting dalam dunia perfilman adalah rasa yang dapat menyentuh para penonton nantinya, bukan dari teknis saja.

AI menurutnya hanya mesin yang tidak memiliki rasa. Teknologi ini selaiknya memang sebagai alat bantu saja dalam mendukung kerja orang-orang di balik pra produksi maupun produksi film.

“Saya berharap AI ini jadi partner, terus jadi asisten kita. Secanggih-canggihnya AI, kita yang kontrol,” tegas Fajar.

Untuk tahap produksi, beberapa sineas kerap mengkombinasikannya dengan Computer Generated Imagery (CGI) untuk menghasilkan efek-efek yang sulit dibuat secara manual. Soal apakah AI dapat memangkas biaya pra produksi? Fajar belum melihat dampak signifikan sejauh ini. 

Pasalnya, industri perfilman merupakan sektor kreatif yang kerap berkutat pada ide-ide segar dan orisinil, sehingga banyak tahap revisi yang dilalui untuk menghasilkan karya laik dan menarik untuk dinikmati. 


Etik Adopsi AI dalam Produksi Film

Kritikus film Hikmat Darmawan menjelaskan hingga kini pemanfaatan AI di sektor perfilman menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang berkembang menjadi isu serius. Paling utama yakni apakah orang yang menghasilkan film menggunakan AI 100 persen bisa disebut sebagai filmmaker atau visual artist, atau sebetulnya hanya pemrograman atau prompter.

Status ini masih abu-abu mengingat industri perfilman melibatkan proses kerja kreatif mulai dari ide-ide yang muncul hingga film terbit. Orang-orang yang terlibat di dalamnya pun selama ini menjalani sekolah atau pelatihan pembuatan film sebelum terjun ke industri.

Jika bicara soal biaya pembuatan film, menurut Hikmat belum pasti AI dapat memberi jaminan efisiensi. Bahkan penggunaan yang eksesif terhadap AI disinyalir menyerap energi dari lingkungan hidup. “Merusak lingkungan hidup. Dan penggunaan mesin-mesin, jangan dikira itu lebih efisien, ternyata ada hitungan lain yang menyebabkan itu tidak efisien,” sebut Hikmat.

Kontra dan kekhawatiran bagi para sineas maupun orang-orang yang terlibat dalam produksi film terhadap kehadiran AI pun terus menggelora. Di Amerika Serikat, para penulis naskah melakukan protes besar-besaran lantaran khawatir profesinya akan tergeser AI. Begitu pula di Inggris maupun negara-negara Eropa lainnya meskipun gaung protes belum terlalu besar.

Sementara itu, belum tentu film hasil kecerdasan buatan ini diterima baik industri maupun penonton. Kemudian, apabila bisa diuangkan secara memadai, risiko melanggar etik pun begitu besar.

“Kalau semua orang bikin film AI pakai prompter, terus bioskop mau masang? Yang nonton siapa? Kalau surplus film gara-gara semuanya murah gara-gara AI, terus pasarnya tercipta gitu?” tutur Hikmat.

Masih banyak problematis lainnya yang belum selesai di negara-negara maju dan sedang diupayakan penyelesaiannya. Pada dasarnya, mereka tidak mengolah teknologi kecerdasan buatannya, tetapi lebih kepada kode etik atas karakter yang diciptakan.

Indonesia pun belum memiliki regulasi khusus terhadap etika atau karya buatan AI ini. Menurut Hikmat, regulasinya perlu segera diciptakan sebelum adopsi kecerdasan buatan ini semakin luas agar tidak timbul bias.

Aturan mengenai AI di industri perfilman harus berangkat dari problem etik yang real atau konkret. Begitu pula dengan regulasi ekonomi yang bisa menjamin korporasi tidak semena-mena untuk menggunakan AI guna menyingkirkan peran manusia.

“Respon panik terhadap teknologi baru, harusnya perangkat hukum, perangkat kebudayaan, perangkat nilai, perangkat ekonomi, disiapkan, seiring kemajuan AI,” saran Hikmat. 

Baca juga: Ini Kata Sineas indonesia Soal Teknologi AI yang Hasilkan Video Realis dari Perintah Teks

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News

Editor: Nirmala Aninda

SEBELUMNYA

Cara Menyaksikan Gerhana Matahari Cincin Api 2 Oktober 2024

BERIKUTNYA

Pameran Arsip Wajah Tak Bernama, Perayaan Karya 100 Tahun Sastrawan Sitor Situmorang

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: