Ini Kata Sineas indonesia Soal Teknologi AI yang Hasilkan Video Realis dari Perintah Teks
20 February 2024 |
08:07 WIB
Perusahaan teknologi OpenAI belum lama ini mengumumkan produk kecerdasan buatan terbaru mereka bernama Sora. Ini adalah model AI terbaru yang mampu mengubah perintah (prompt) berupa teks menjadi sebuah video berdurasi hingga satu menit.
Berbeda dari produk AI generatif lain, kemunculan Sora mendapat sorotan lebih karena kemampuannya menciptakan adegan video yang tidak hanya realistis, tetapi juga imajinatif meski dari instruksi sederhana.
Baca juga: Canggih, Sora AI Video Generator Bisa Bikin Film dengan Perintah Teks
Tak mengherankan jika Sora kemudian mengulang diskusi panjang sejak teknologi AI muncul, yakni perihal disrupsi besar yang akan mengubah industri, dalam hal ini adalah audio visual. Salah satunya adalah film.
Sora bukanlah satu-satunya model AI yang mengubah teks menjadi video. Beberapa aplikasi lain dengan pemodelan serupa juga mulai bermunculan. Bukan tidak mungkin, teknologi ini akan terus berkembang ke depan dan makin dekat dengan kebutuhan pasar.
Sutradara sekaligus kreator animasi Si Juki, Faza Meonk, mengatakan bahwa teknologi AI yang kian berkembang adalah sebuah keniscayaan yang tidak akan bisa terbendung lagi. Baginya, ini adalah bagian dari proses menuju masa depan yang mesti diterima dan direspons dengan bijak.
Menurut Faza, salah satu isu besar yang masih menjadi perhatian para pelaku seni audio visual terkait AI bukanlah pada penggunaannya, melainkan justru perihal etika. Selama ini, AI bisa menjadi canggih karena teknologi ini mengambil data atau informasi dari karya yang sudah ada.
DIa menuturkan sumber-sumber yang dipakai sebagai rujukan informasi tersebut sejauh ini belum dibuka secara jelas. Dalam artian, bisa saja ada karya yang diserap sebagai data oleh AI, tetapi si pemilik karya tersebut sebenarnya tidak mengizinkan hal tersebut.
Bagi Faza, permalasahan tersebut mesti segera diselesaikan dengan baik. Sebab, sebuah hak cipta tidak hanya berbicara tentang siapa pemiliknya saja, tetapi juga menyangkut hak ekonomi dan berbagai hal lain yang tak kalah penting.
Jika isu ini bisa teratasi, Faza melihat teknologi AI sebenarnya ke depan bisa sangat membantu manusia, termasuk pelaku film atau kreator video. Keduanya, baginya, bisa berjalan berdampingan.
“Kalau dilihat dari teknologi sekarang, yakni perintah teks menjadi video, ini bisa dimanfaatkan pelaku film untuk membuat sketsa model dari adegan yang ingin dibuatnya. Hal ini akan membuat presentasi ke klien, investor, atau pihak lain menjadi lebih mudah karena sebuah naskah sudah bisa diterjemahkan ke dalam bentuk audio visual,” ungkap Faza kepada Hypeabis.id.
Model AI serupa juga bisa dimanfaatkan oleh sutradara untuk memberikan arahan kepada Director of Photography, (DOP), art department, maupun aktor, sehingga seluruh elemen bisa satu visi dengan apa yang diinginkan olehnya.
Tidak hanya itu, pelaku film pun bisa memanfaatkan model AI tersebut untuk mencari sejumlah referensi adegan, sehingga nantinya akan muncul berbagai kemungkinan menarik. Tentunya, hal tersebut bisa menjadi salah satu opsi yang bisa dimanfaatkan.
“Saya melihat fungsionalnya akan mengarah ke hal tersebut. Namun, sekali lagi, saya melihat setidaknya untuk saat ini, AI memang belum bisa menjadi sebuah karya yang ‘final’. Dalam artian, kalau sebatas praproduksi masih oke, tetapi di akhir tetap butuh sentuhan manusia sehingga bisa lebih ‘terlihat bernyawa’,” imbuhnya.
Kendati demikian, Faza tak menututup kemungkinan bahwa bisa saja di masa depan AI benar-benar akan menghentikan proses syuting. Seluruh tontonan bisa diproduksi hanya berbasis AI. Namun, Faza menggarisbawahi bahwa hal tersebut sebaiknya terjadi setelah masalah-masalah perihal ‘etika’ tadi sudah selesai dan clear.
Sementara itu, Festival Director Jakarta World Cinema Week Shandy Gasella mengatakan bahwa kehadiran Sora maupun model AI lain tentunya akan mendisrupsi industri audio visual. Namun, para pelaku industrinya juga mesti tetap beradaptasi terhadap hal tersebut.
Baginya, ini akan kembali ke permasalahaan penggunaan. Di tangan mereka yang melihat potensi, AI bisa menjadi pembantu dalam melengkapi kebutuhan dan bukan sebagai ancaman.
“Saya melihat Sora ini akan sangat berguna bagi pembuatan video-video konsep, untuk pitching dan presentasi misalnya. Hal itu dilakukan sebelum akhirnya sebuah project diproduksi lewat syuting benerannya,” terangnya.
Shandy juga menyoroti perihal hak cipta dalam produk-produk AI. Hal tersebut baginya mesti memiliki regulasi yang ketat. Selain itu, penggunaan AI juga mesti memiliki batas tertentu, dalam artian jangan sampai kemudian diperbolehkan dalam membuat gambaran tentang kekerasan atau hal kurang etis lain.
“Ketika video hasil kreasi AI itu kemudian diedit kembali, itu juga akan jadi soal yang lain sih,” imbuhnya.
Dalam pandangan Shandy, ke depan sebagaimana berbagai teknologi yang sudah ada, akan selalu ada dua sudut berbeda. Menurutnya, selalu ada orang yang akan menolak menggunakan model AI dengan berbagai alasan, tetapi selalu ada pula orang yang mau memanfaatkannya.
Keduanya, baginya, akan berjalan berdampingan. Ke depan, pasar sendiri yang akan merespons bagaimana industri ini ke depan, apakah hasil akhir video AI tetap bisa diterima, atau justru tidak.
“Menurut saya, masih jauh dan cenderung tidak etis, jika kemudian model AI digunakan untuk membuat film
panjang secara penuh. Untuk membantu sutradara memvisualkan konsepnya, saya kira masih oke. Sejauh ini, Sora juga masih maksimal membuat video 1 menit ya. Namun, memang teknologi ini cukup impresif, terjemahan videonya akurat sekali sesuai perintah yang diberikan,” tutupnya.
Sebagai informasi, Sora adalah model AI yang dapat menciptakan adegan realistis dan imajinatif berbasis video hanya dari perintah berupa teks. Ketika memperkenalkan teknologi ini pertama kali pada Jumat (16/2/2024), OpenAI juga memperlihatkan beberapa contoh ‘hasil kerja’ dari Sora.
Dalam video sampel yang dibagikan, OpenAI sudah mampu menghasilkan video dengan skenario, komposisi, dan pergerakan kamera yang kompleks. Hasil dari perintah berbasis teks tersebut, bisa dengan baik diterjemahkan oleh Sora ke dalam bentuk video. Hasil videonya pun cukup realistis seperti hasil dari syuting film ternama. Video tersebut juga sangat detail, terutama terkait dengan subjek dan latar belakang di dalamnya.
Baca juga: 4 Tools untuk Mendeteksi Foto & Video Palsu Hasil AI
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Berbeda dari produk AI generatif lain, kemunculan Sora mendapat sorotan lebih karena kemampuannya menciptakan adegan video yang tidak hanya realistis, tetapi juga imajinatif meski dari instruksi sederhana.
Baca juga: Canggih, Sora AI Video Generator Bisa Bikin Film dengan Perintah Teks
Tak mengherankan jika Sora kemudian mengulang diskusi panjang sejak teknologi AI muncul, yakni perihal disrupsi besar yang akan mengubah industri, dalam hal ini adalah audio visual. Salah satunya adalah film.
Sora bukanlah satu-satunya model AI yang mengubah teks menjadi video. Beberapa aplikasi lain dengan pemodelan serupa juga mulai bermunculan. Bukan tidak mungkin, teknologi ini akan terus berkembang ke depan dan makin dekat dengan kebutuhan pasar.
Sutradara sekaligus kreator animasi Si Juki, Faza Meonk, mengatakan bahwa teknologi AI yang kian berkembang adalah sebuah keniscayaan yang tidak akan bisa terbendung lagi. Baginya, ini adalah bagian dari proses menuju masa depan yang mesti diterima dan direspons dengan bijak.
Menurut Faza, salah satu isu besar yang masih menjadi perhatian para pelaku seni audio visual terkait AI bukanlah pada penggunaannya, melainkan justru perihal etika. Selama ini, AI bisa menjadi canggih karena teknologi ini mengambil data atau informasi dari karya yang sudah ada.
DIa menuturkan sumber-sumber yang dipakai sebagai rujukan informasi tersebut sejauh ini belum dibuka secara jelas. Dalam artian, bisa saja ada karya yang diserap sebagai data oleh AI, tetapi si pemilik karya tersebut sebenarnya tidak mengizinkan hal tersebut.
Bagi Faza, permalasahan tersebut mesti segera diselesaikan dengan baik. Sebab, sebuah hak cipta tidak hanya berbicara tentang siapa pemiliknya saja, tetapi juga menyangkut hak ekonomi dan berbagai hal lain yang tak kalah penting.
Jika isu ini bisa teratasi, Faza melihat teknologi AI sebenarnya ke depan bisa sangat membantu manusia, termasuk pelaku film atau kreator video. Keduanya, baginya, bisa berjalan berdampingan.
“Kalau dilihat dari teknologi sekarang, yakni perintah teks menjadi video, ini bisa dimanfaatkan pelaku film untuk membuat sketsa model dari adegan yang ingin dibuatnya. Hal ini akan membuat presentasi ke klien, investor, atau pihak lain menjadi lebih mudah karena sebuah naskah sudah bisa diterjemahkan ke dalam bentuk audio visual,” ungkap Faza kepada Hypeabis.id.
Model AI serupa juga bisa dimanfaatkan oleh sutradara untuk memberikan arahan kepada Director of Photography, (DOP), art department, maupun aktor, sehingga seluruh elemen bisa satu visi dengan apa yang diinginkan olehnya.
Tidak hanya itu, pelaku film pun bisa memanfaatkan model AI tersebut untuk mencari sejumlah referensi adegan, sehingga nantinya akan muncul berbagai kemungkinan menarik. Tentunya, hal tersebut bisa menjadi salah satu opsi yang bisa dimanfaatkan.
“Saya melihat fungsionalnya akan mengarah ke hal tersebut. Namun, sekali lagi, saya melihat setidaknya untuk saat ini, AI memang belum bisa menjadi sebuah karya yang ‘final’. Dalam artian, kalau sebatas praproduksi masih oke, tetapi di akhir tetap butuh sentuhan manusia sehingga bisa lebih ‘terlihat bernyawa’,” imbuhnya.
Kendati demikian, Faza tak menututup kemungkinan bahwa bisa saja di masa depan AI benar-benar akan menghentikan proses syuting. Seluruh tontonan bisa diproduksi hanya berbasis AI. Namun, Faza menggarisbawahi bahwa hal tersebut sebaiknya terjadi setelah masalah-masalah perihal ‘etika’ tadi sudah selesai dan clear.
Sementara itu, Festival Director Jakarta World Cinema Week Shandy Gasella mengatakan bahwa kehadiran Sora maupun model AI lain tentunya akan mendisrupsi industri audio visual. Namun, para pelaku industrinya juga mesti tetap beradaptasi terhadap hal tersebut.
Baginya, ini akan kembali ke permasalahaan penggunaan. Di tangan mereka yang melihat potensi, AI bisa menjadi pembantu dalam melengkapi kebutuhan dan bukan sebagai ancaman.
“Saya melihat Sora ini akan sangat berguna bagi pembuatan video-video konsep, untuk pitching dan presentasi misalnya. Hal itu dilakukan sebelum akhirnya sebuah project diproduksi lewat syuting benerannya,” terangnya.
Shandy juga menyoroti perihal hak cipta dalam produk-produk AI. Hal tersebut baginya mesti memiliki regulasi yang ketat. Selain itu, penggunaan AI juga mesti memiliki batas tertentu, dalam artian jangan sampai kemudian diperbolehkan dalam membuat gambaran tentang kekerasan atau hal kurang etis lain.
“Ketika video hasil kreasi AI itu kemudian diedit kembali, itu juga akan jadi soal yang lain sih,” imbuhnya.
Dalam pandangan Shandy, ke depan sebagaimana berbagai teknologi yang sudah ada, akan selalu ada dua sudut berbeda. Menurutnya, selalu ada orang yang akan menolak menggunakan model AI dengan berbagai alasan, tetapi selalu ada pula orang yang mau memanfaatkannya.
Keduanya, baginya, akan berjalan berdampingan. Ke depan, pasar sendiri yang akan merespons bagaimana industri ini ke depan, apakah hasil akhir video AI tetap bisa diterima, atau justru tidak.
“Menurut saya, masih jauh dan cenderung tidak etis, jika kemudian model AI digunakan untuk membuat film
panjang secara penuh. Untuk membantu sutradara memvisualkan konsepnya, saya kira masih oke. Sejauh ini, Sora juga masih maksimal membuat video 1 menit ya. Namun, memang teknologi ini cukup impresif, terjemahan videonya akurat sekali sesuai perintah yang diberikan,” tutupnya.
Sebagai informasi, Sora adalah model AI yang dapat menciptakan adegan realistis dan imajinatif berbasis video hanya dari perintah berupa teks. Ketika memperkenalkan teknologi ini pertama kali pada Jumat (16/2/2024), OpenAI juga memperlihatkan beberapa contoh ‘hasil kerja’ dari Sora.
Dalam video sampel yang dibagikan, OpenAI sudah mampu menghasilkan video dengan skenario, komposisi, dan pergerakan kamera yang kompleks. Hasil dari perintah berbasis teks tersebut, bisa dengan baik diterjemahkan oleh Sora ke dalam bentuk video. Hasil videonya pun cukup realistis seperti hasil dari syuting film ternama. Video tersebut juga sangat detail, terutama terkait dengan subjek dan latar belakang di dalamnya.
Baca juga: 4 Tools untuk Mendeteksi Foto & Video Palsu Hasil AI
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.