Pekerjaan Rumah Menuju Layanan Kesehatan yang Merata di Indonesia
09 January 2025 |
16:30 WIB
Sektor kesehatan di Indonesia masih menghadapi tantangan besar yang berdampak luas, terutama di daerah-daerah terpencil yang minim akses layanan kesehatan. Ketimpangan distribusi tenaga medis, fasilitas yang tidak merata, hingga penyalahgunaan obat-obatan masih menjadi tantangan.
Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), apt. Noffendri Roestam, S.Si., mengungkapkan fakta bahwa 60 persen apoteker di Indonesia terkonsentrasi di Pulau Jawa, sedangkan daerah lain hanya kebagian sisanya. Kondisi ini menggambarkan bagaimana layanan kesehatan belum menjangkau semua lapisan masyarakat secara merata.
Baca juga: Hypereport: Kesehatan Mental dan Fisik jadi Fokus Utama Gen Z Hadapi Tantangan 2025
“Pola ini juga terlihat di tingkat provinsi, di mana mayoritas apoteker praktik di ibu kota dibandingkan kabupaten atau kota lainnya,” ujarnya.
Di sisi lain, swamedikasi atau pengobatan mandiri muncul sebagai alternatif penting bagi masyarakat di tengah keterbatasan fasilitas kesehatan. Namun, tanpa edukasi yang memadai, praktik ini justru dapat menimbulkan risiko baru.
Selain itu, persoalan penyalahgunaan obat-obatan oleh kelompok tertentu turut memperburuk situasi, terutama bagi masyarakat yang benar-benar membutuhkan obat untuk pengobatan.
Dari kompleksitas masalah ini, beberapa solusi mulai ditawarkan. Berikut adalah tantangan utama dan langkah-langkah yang perlu diambil untuk menciptakan sistem kesehatan yang lebih baik dan berkelanjutan:
Salah satu tantangan terbesar dalam sektor kesehatan adalah distribusi tenaga medis yang tidak merata. Indonesia memiliki sekitar 106.000 apoteker hingga Oktober 2024, dengan 12.000 lulusan baru setiap tahunnya. Namun, tanpa insentif pemerintah, sebagian besar tenaga kesehatan tetap memilih untuk bekerja di kota-kota besar.
Noffendri menyoroti bahwa keberadaan tenaga medis di daerah terpencil sangat penting untuk memastikan akses layanan kesehatan yang merata. Dia berharap lebih banyak apoteker yang mau mengabdi di wilayah yang membutuhkan. Pemerintah dapat mengambil langkah konkret dengan memberikan insentif, seperti tunjangan khusus, fasilitas tempat tinggal, atau peluang pendidikan lanjutan untuk tenaga medis yang bersedia bekerja di daerah terpencil.
Selain itu, percepatan proses izin apotek di wilayah kurang terjangkau juga menjadi salah satu solusi yang dapat meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan kesehatan dasar.
Di tengah keterbatasan fasilitas kesehatan, swamedikasi menjadi salah satu solusi yang memungkinkan masyarakat menangani gangguan kesehatan ringan tanpa harus mengunjungi fasilitas kesehatan. Namun, edukasi menjadi kunci utama agar praktik ini tidak menimbulkan risiko kesehatan yang lebih besar.
Menurut dr. Muhammad Fajri Adda’i, residen kardiologi dan dokter influencer, swamedikasi dapat mengurangi beban fasilitas kesehatan, tetapi masyarakat harus memahami aturan dosis dan penggunaan obat. “Pembelian obat golongan bebas, seperti yang memiliki tanda lingkaran hijau atau biru, harus mematuhi aturan dosis di kemasan. Penggunaan berlebihan bisa merusak organ dalam,” tegasnya.
Dia juga mengingatkan masyarakat untuk berkonsultasi dengan tenaga kesehatan jika kondisi tidak membaik dalam waktu tiga hari.
Di tengah ketimpangan fasilitas kesehatan, penyalahgunaan obat-obatan oleh kelompok tertentu menjadi tantangan baru yang perlu segera diatasi. Obat-obatan yang pasokannya terbatas kerap disalahgunakan, seperti dicampur dengan minuman keras untuk mendapatkan efek memabukkan.
Psikolog Klinis Anak dan Keluarga, Irma Gustiana Andriyani, S.Psi., M.Psi., mengungkapkan bahwa remaja menjadi kelompok paling rentan terhadap masalah ini. “Otak remaja belum sepenuhnya berkembang, sehingga mereka sering bertindak impulsif dan mengikuti tekanan dari teman sebaya,” jelasnya.
Irma juga menyoroti minimnya edukasi tentang penggunaan obat yang aman, baik di lingkungan keluarga maupun sekolah. Dia menegaskan pentingnya keterlibatan banyak pihak, termasuk pemerintah dan masyarakat, untuk memberikan edukasi sejak dini mengenai hidup sehat dan penggunaan obat yang bijak.
Di sisi lain, langkah penegakan hukum seperti razia terhadap apotek resmi sering dianggap kurang efektif. Noffendri berpendapat bahwa fokus penindakan seharusnya diarahkan pada pengedar obat ilegal, bukan apotek yang sudah diawasi oleh dinas kesehatan dan BPOM. “Apotek adalah sarana distribusi kefarmasian, bukan tempat nongkrong atau diskotek. Razia seperti ini tidak tepat sasaran,” tegasnya.
Untuk mengatasi ketimpangan ini, diperlukan solusi yang melibatkan berbagai pihak. Edukasi kepada masyarakat tentang swamedikasi yang aman, pemerataan infrastruktur kesehatan, dan pemberian insentif bagi tenaga medis adalah beberapa langkah yang bisa diambil.
“Optimalisasi peran Puskesmas dapat menjadi salah satu jalan keluar untuk permasalahan yang kita hadapi. Dengan pendekatan kolaboratif, kita bisa menciptakan sistem kesehatan yang merata, aman, dan berkelanjutan,” ujar Noffendri.
Baca juga: Waspada 8 Ancaman Kesehatan yang Mengintai Indonesia Pada 2025, Ada Risiko Pandemi Baru
Editor: Dika Irawan
Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), apt. Noffendri Roestam, S.Si., mengungkapkan fakta bahwa 60 persen apoteker di Indonesia terkonsentrasi di Pulau Jawa, sedangkan daerah lain hanya kebagian sisanya. Kondisi ini menggambarkan bagaimana layanan kesehatan belum menjangkau semua lapisan masyarakat secara merata.
Baca juga: Hypereport: Kesehatan Mental dan Fisik jadi Fokus Utama Gen Z Hadapi Tantangan 2025
“Pola ini juga terlihat di tingkat provinsi, di mana mayoritas apoteker praktik di ibu kota dibandingkan kabupaten atau kota lainnya,” ujarnya.
Di sisi lain, swamedikasi atau pengobatan mandiri muncul sebagai alternatif penting bagi masyarakat di tengah keterbatasan fasilitas kesehatan. Namun, tanpa edukasi yang memadai, praktik ini justru dapat menimbulkan risiko baru.
Selain itu, persoalan penyalahgunaan obat-obatan oleh kelompok tertentu turut memperburuk situasi, terutama bagi masyarakat yang benar-benar membutuhkan obat untuk pengobatan.
Dari kompleksitas masalah ini, beberapa solusi mulai ditawarkan. Berikut adalah tantangan utama dan langkah-langkah yang perlu diambil untuk menciptakan sistem kesehatan yang lebih baik dan berkelanjutan:
Distribusi Tenaga Kesehatan yang Tidak Merata
Salah satu tantangan terbesar dalam sektor kesehatan adalah distribusi tenaga medis yang tidak merata. Indonesia memiliki sekitar 106.000 apoteker hingga Oktober 2024, dengan 12.000 lulusan baru setiap tahunnya. Namun, tanpa insentif pemerintah, sebagian besar tenaga kesehatan tetap memilih untuk bekerja di kota-kota besar.Noffendri menyoroti bahwa keberadaan tenaga medis di daerah terpencil sangat penting untuk memastikan akses layanan kesehatan yang merata. Dia berharap lebih banyak apoteker yang mau mengabdi di wilayah yang membutuhkan. Pemerintah dapat mengambil langkah konkret dengan memberikan insentif, seperti tunjangan khusus, fasilitas tempat tinggal, atau peluang pendidikan lanjutan untuk tenaga medis yang bersedia bekerja di daerah terpencil.
Selain itu, percepatan proses izin apotek di wilayah kurang terjangkau juga menjadi salah satu solusi yang dapat meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan kesehatan dasar.
Pentingnya Edukasi Swamedikasi
Di tengah keterbatasan fasilitas kesehatan, swamedikasi menjadi salah satu solusi yang memungkinkan masyarakat menangani gangguan kesehatan ringan tanpa harus mengunjungi fasilitas kesehatan. Namun, edukasi menjadi kunci utama agar praktik ini tidak menimbulkan risiko kesehatan yang lebih besar.Menurut dr. Muhammad Fajri Adda’i, residen kardiologi dan dokter influencer, swamedikasi dapat mengurangi beban fasilitas kesehatan, tetapi masyarakat harus memahami aturan dosis dan penggunaan obat. “Pembelian obat golongan bebas, seperti yang memiliki tanda lingkaran hijau atau biru, harus mematuhi aturan dosis di kemasan. Penggunaan berlebihan bisa merusak organ dalam,” tegasnya.
Dia juga mengingatkan masyarakat untuk berkonsultasi dengan tenaga kesehatan jika kondisi tidak membaik dalam waktu tiga hari.
Penyalahgunaan Obat-obatan
Di tengah ketimpangan fasilitas kesehatan, penyalahgunaan obat-obatan oleh kelompok tertentu menjadi tantangan baru yang perlu segera diatasi. Obat-obatan yang pasokannya terbatas kerap disalahgunakan, seperti dicampur dengan minuman keras untuk mendapatkan efek memabukkan.Psikolog Klinis Anak dan Keluarga, Irma Gustiana Andriyani, S.Psi., M.Psi., mengungkapkan bahwa remaja menjadi kelompok paling rentan terhadap masalah ini. “Otak remaja belum sepenuhnya berkembang, sehingga mereka sering bertindak impulsif dan mengikuti tekanan dari teman sebaya,” jelasnya.
Irma juga menyoroti minimnya edukasi tentang penggunaan obat yang aman, baik di lingkungan keluarga maupun sekolah. Dia menegaskan pentingnya keterlibatan banyak pihak, termasuk pemerintah dan masyarakat, untuk memberikan edukasi sejak dini mengenai hidup sehat dan penggunaan obat yang bijak.
Di sisi lain, langkah penegakan hukum seperti razia terhadap apotek resmi sering dianggap kurang efektif. Noffendri berpendapat bahwa fokus penindakan seharusnya diarahkan pada pengedar obat ilegal, bukan apotek yang sudah diawasi oleh dinas kesehatan dan BPOM. “Apotek adalah sarana distribusi kefarmasian, bukan tempat nongkrong atau diskotek. Razia seperti ini tidak tepat sasaran,” tegasnya.
Solusi Berkelanjutan
Untuk mengatasi ketimpangan ini, diperlukan solusi yang melibatkan berbagai pihak. Edukasi kepada masyarakat tentang swamedikasi yang aman, pemerataan infrastruktur kesehatan, dan pemberian insentif bagi tenaga medis adalah beberapa langkah yang bisa diambil.“Optimalisasi peran Puskesmas dapat menjadi salah satu jalan keluar untuk permasalahan yang kita hadapi. Dengan pendekatan kolaboratif, kita bisa menciptakan sistem kesehatan yang merata, aman, dan berkelanjutan,” ujar Noffendri.
Baca juga: Waspada 8 Ancaman Kesehatan yang Mengintai Indonesia Pada 2025, Ada Risiko Pandemi Baru
Editor: Dika Irawan
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.