Hidroponik Masih Favorit dalam Urban Farming
28 September 2024 |
07:00 WIB
Konsep pertanian perkotaan (urban farming) masih relevan meski pandemi Covid-19 telah berakhir. Sebagaimana diketahui, kegiatan bercocok tanam masuk dalam salah satu hobi yang tinggi peminat saat pandemi Covid-19 melanda. Secara konsep pertanian, urban farming telah mencuat sejak 2010, sebelum puncaknya terjadi pada 2020 saat pagebluk melanda.
Pada momentum tersebut, banyak orang yang mulai menanam di halaman rumah atau atap gedung sebagai alternatif kegiatan selama masa karantina. Urban farming pada dasarnya memanfaatkan lahan terbatas di lingkungan perkotaan untuk bercocok tanam. Metode ini dapat mencakup berbagai teknik, termasuk hidroponik yang kian populer di kota-kota besar.
Baca juga: Bisa Hasilkan Panen Lebih Optimal, Simak Pola Penerapan Teknologi Smart Farming di Indonesia
Konsultan Pertanian Perkotaan dari Urban Farming Farmer, Teguh Sulaiman menjelaskan, hidroponik masih mendominasi pilihan utama petani kota karena kepraktisannya. Menanamnya yang tidak memerlukan tanah dan lebih mudah diatur dibandingkan dengan metode pertanian konvensional lainnya.
Namun, Teguh juga mengingatkan bahwa urban farming tidak hanya terbatas pada hidroponik atau metode organik saja. Di beberapa kota, taman-taman kota dan apotik hidup juga merupakan bentuk urban farming yang valid.
Keterbatasan informasi membuat banyak orang masih terjebak dalam pola pikir bahwa urban farming harus menggunakan teknik tertentu. Padahal menurut Teguh, sebenarnya ada banyak cara untuk melakukannya.
Menariknya, Teguh berpandangan bahwa minat terhadap urban farming tetap tinggi meski pandemi Covid-19 telah berakhir. Artinya, pagebluk telah berhasil membuat minat bercocok tanam sebagai hobi yang terus disukai warga kota.
Meski demikian, Teguh menilai ada beberapa kendala yang harus dihadapi oleh pelaku urban farming. Salah satu tantangan utamanya adalah ketidakpastian harga dan ketidakstabilan pasar. Tanaman pangan, terutama yang dibudidayakan secara urban memiliki umur simpan yang pendek dan sering kali tidak memiliki kepastian harga yang stabil.
Harga produk urban farming seperti produk hasil hidroponik seringkali lebih tinggi jika dibandingkan dengan produk dari pasar tradisional. Hal ini, dinilai Teguh masih menjadi tantangan tersendiri dalam hal pemasaran. Teguh menekankan pentingnya edukasi kepada konsumen tentang keunggulan produk urban farming untuk meningkatkan penerimaan pasar.
“Yang paling penting sebetulnya adalah mengedukasi kepada masyarakat dan kepada konsumen, karena kalau edukasi ini tidak berjalan dengan baik pada akhirnya masyarakat kecenderungannya aka resisten menerima harga yang terlalu tinggi. Padahal kita bisa sampaikan bahwa nilai yang dihasilkan dari produk urban farming ini memiliki banyak keunggulan,” kata Teguh.
Teguh banyak menemui pelaku urban farming yang masih kebingungan dalam memasarkan dan mendistribusikan hasil taninya. Dalam pengamatannya, banyak pelaku urban farming yang awalnya memulai sebagai hobi kini beralih ke bisnis, tetapi mereka terus menghadapi tantangan dalam mencari pasar yang stabil. Masalah ini diperburuk dengan keterbatasan kapasitas produksi dan harga yang tidak selalu bersaing dengan pasar tradisional.
Dari sisi peran pemerintah, langkah pemangku kebijakan dengan berbagai program dan fasilitas sudah dinilai tepat seperti penyediaan ruang terbuka hijau. Masyarakat juga menyemarakkan urban farming dengan mengadakan perlombaan antar RW dengan konsep pertanian kota ini.
“Namun, dukungan ini belum sepenuhnya cukup. Edukasi kepada masyarakat dan dukungan kebijakan yang lebih kuat masih diperlukan, utamanya yang berkaitan dengan pemasaran produk hasil tani mereka,” imbuh Teguh.
Dari segi ekonomi,Teguh menilai urban farming memiliki dampak positif pada ekonomi lokal meskipun skala dan hasilnya bervariasi. Contohnya, bagaimana urban farming dapat menghemat pengeluaran keluarga untuk sayuran dan memberikan pendapatan tambahan dari hasil penjualan.
Namun, pelaku urban farming sering kali menghadapi tantangan dalam menentukan harga yang sesuai dan mencari pasar yang memadai. Keterbatasan pasar lokal dan harga yang tidak selalu bersaing dapat membatasi potensi keuntungan dari urban farming. Maka, kata Teguh, diperlukan wadah khusus bagi pelaku urban farming untuk mengeksplorasi berbagai saluran distribusi hasil tani, termasuk pasar retail dan restoran.
Dalam praktik urban farming, teknologi mengambil peran penting dalam meningkatkan efisiensi dan produktivitas hasil tani. Apabila berkaca dengan penerapan urban farming di luar negeri, jelas teknologi pertaniannya sudah lebih advance dengan penggunaan Internet of Things (IoT) untuk pengukuran pH, suhu, dan kadar pupuk. Pengadaan teknologi canggih ini memungkinkan pengelolaan pertanian dengan lebih efisien dan mengurangi kebutuhan tenaga kerja manual.
Namun pelaku urban farming perlu mempertimbangkan nilai investasi yang besar untuk mencukupi kebutuhan produktivitas hasil tani.
Di Indonesia, teguh melihat teknologi IoT sudah banyak diterapkan dalam praktik urban farming. Meskipun teknologi seperti IoT mulai diadopsi di Indonesia, sistemnya masih terbatas oleh biaya investasi yang tinggi. Namun, penggunaan teknologi yang tepat guna dapat membantu meningkatkan produktivitas dan mengurangi biaya operasional.
Selain sisi ekonomi dan hobi, urban farming memiliki manfaat yang baik terhadap kualitas lingkungan. Dalam skala tertentu, penanaman tanaman di lingkungan perkotaan membantu meningkatkan kualitas udara, mengurangi polusi, dan menyediakan ruang terbuka hijau yang dapat memperbaiki kualitas hidup warga kota. Tanaman yang tumbuh di lingkungan perkotaan berkontribusi pada proses fotosintesis yang menghasilkan oksigen dan mengurangi polusi udara.
Baca juga: Mengintip Kecanggihan Hyperlocal Metafarming Station
Dari sisi humanisme, urban farming juga memberikan rasa nyaman dan ketenangan bagi para pelakunya. Kegiatan bertani di lingkungan perkotaan dapat menjadi bentuk terapi dan mengurangi stres.
Teguh menilai pemerintah perlu menerapkan integrasi urban farming dalam desain kota sehingga dapat menciptakan lingkungan yang lebih hijau dan berkelanjutan. Hal ini juga dapat berdampak pada kualitas hidup penduduk kota.
Ke depannya, urban farming diharapkan dapat terus berkembang ke ranah berkelanjutan untuk mendukung konsep ramah lingkungan di perkotaan.
Editor: Fajar Sidik
Pada momentum tersebut, banyak orang yang mulai menanam di halaman rumah atau atap gedung sebagai alternatif kegiatan selama masa karantina. Urban farming pada dasarnya memanfaatkan lahan terbatas di lingkungan perkotaan untuk bercocok tanam. Metode ini dapat mencakup berbagai teknik, termasuk hidroponik yang kian populer di kota-kota besar.
Baca juga: Bisa Hasilkan Panen Lebih Optimal, Simak Pola Penerapan Teknologi Smart Farming di Indonesia
Konsultan Pertanian Perkotaan dari Urban Farming Farmer, Teguh Sulaiman menjelaskan, hidroponik masih mendominasi pilihan utama petani kota karena kepraktisannya. Menanamnya yang tidak memerlukan tanah dan lebih mudah diatur dibandingkan dengan metode pertanian konvensional lainnya.
Namun, Teguh juga mengingatkan bahwa urban farming tidak hanya terbatas pada hidroponik atau metode organik saja. Di beberapa kota, taman-taman kota dan apotik hidup juga merupakan bentuk urban farming yang valid.
Keterbatasan informasi membuat banyak orang masih terjebak dalam pola pikir bahwa urban farming harus menggunakan teknik tertentu. Padahal menurut Teguh, sebenarnya ada banyak cara untuk melakukannya.
Menariknya, Teguh berpandangan bahwa minat terhadap urban farming tetap tinggi meski pandemi Covid-19 telah berakhir. Artinya, pagebluk telah berhasil membuat minat bercocok tanam sebagai hobi yang terus disukai warga kota.
Tantangan Penjualan
Ilustrasi urban farming (Sumber gambar: Gigi/Unsplash)
Meski demikian, Teguh menilai ada beberapa kendala yang harus dihadapi oleh pelaku urban farming. Salah satu tantangan utamanya adalah ketidakpastian harga dan ketidakstabilan pasar. Tanaman pangan, terutama yang dibudidayakan secara urban memiliki umur simpan yang pendek dan sering kali tidak memiliki kepastian harga yang stabil.
Harga produk urban farming seperti produk hasil hidroponik seringkali lebih tinggi jika dibandingkan dengan produk dari pasar tradisional. Hal ini, dinilai Teguh masih menjadi tantangan tersendiri dalam hal pemasaran. Teguh menekankan pentingnya edukasi kepada konsumen tentang keunggulan produk urban farming untuk meningkatkan penerimaan pasar.
“Yang paling penting sebetulnya adalah mengedukasi kepada masyarakat dan kepada konsumen, karena kalau edukasi ini tidak berjalan dengan baik pada akhirnya masyarakat kecenderungannya aka resisten menerima harga yang terlalu tinggi. Padahal kita bisa sampaikan bahwa nilai yang dihasilkan dari produk urban farming ini memiliki banyak keunggulan,” kata Teguh.
Teguh banyak menemui pelaku urban farming yang masih kebingungan dalam memasarkan dan mendistribusikan hasil taninya. Dalam pengamatannya, banyak pelaku urban farming yang awalnya memulai sebagai hobi kini beralih ke bisnis, tetapi mereka terus menghadapi tantangan dalam mencari pasar yang stabil. Masalah ini diperburuk dengan keterbatasan kapasitas produksi dan harga yang tidak selalu bersaing dengan pasar tradisional.
Dari sisi peran pemerintah, langkah pemangku kebijakan dengan berbagai program dan fasilitas sudah dinilai tepat seperti penyediaan ruang terbuka hijau. Masyarakat juga menyemarakkan urban farming dengan mengadakan perlombaan antar RW dengan konsep pertanian kota ini.
“Namun, dukungan ini belum sepenuhnya cukup. Edukasi kepada masyarakat dan dukungan kebijakan yang lebih kuat masih diperlukan, utamanya yang berkaitan dengan pemasaran produk hasil tani mereka,” imbuh Teguh.
Dari segi ekonomi,Teguh menilai urban farming memiliki dampak positif pada ekonomi lokal meskipun skala dan hasilnya bervariasi. Contohnya, bagaimana urban farming dapat menghemat pengeluaran keluarga untuk sayuran dan memberikan pendapatan tambahan dari hasil penjualan.
Namun, pelaku urban farming sering kali menghadapi tantangan dalam menentukan harga yang sesuai dan mencari pasar yang memadai. Keterbatasan pasar lokal dan harga yang tidak selalu bersaing dapat membatasi potensi keuntungan dari urban farming. Maka, kata Teguh, diperlukan wadah khusus bagi pelaku urban farming untuk mengeksplorasi berbagai saluran distribusi hasil tani, termasuk pasar retail dan restoran.
Dalam praktik urban farming, teknologi mengambil peran penting dalam meningkatkan efisiensi dan produktivitas hasil tani. Apabila berkaca dengan penerapan urban farming di luar negeri, jelas teknologi pertaniannya sudah lebih advance dengan penggunaan Internet of Things (IoT) untuk pengukuran pH, suhu, dan kadar pupuk. Pengadaan teknologi canggih ini memungkinkan pengelolaan pertanian dengan lebih efisien dan mengurangi kebutuhan tenaga kerja manual.
Namun pelaku urban farming perlu mempertimbangkan nilai investasi yang besar untuk mencukupi kebutuhan produktivitas hasil tani.
Di Indonesia, teguh melihat teknologi IoT sudah banyak diterapkan dalam praktik urban farming. Meskipun teknologi seperti IoT mulai diadopsi di Indonesia, sistemnya masih terbatas oleh biaya investasi yang tinggi. Namun, penggunaan teknologi yang tepat guna dapat membantu meningkatkan produktivitas dan mengurangi biaya operasional.
Selain sisi ekonomi dan hobi, urban farming memiliki manfaat yang baik terhadap kualitas lingkungan. Dalam skala tertentu, penanaman tanaman di lingkungan perkotaan membantu meningkatkan kualitas udara, mengurangi polusi, dan menyediakan ruang terbuka hijau yang dapat memperbaiki kualitas hidup warga kota. Tanaman yang tumbuh di lingkungan perkotaan berkontribusi pada proses fotosintesis yang menghasilkan oksigen dan mengurangi polusi udara.
Baca juga: Mengintip Kecanggihan Hyperlocal Metafarming Station
Dari sisi humanisme, urban farming juga memberikan rasa nyaman dan ketenangan bagi para pelakunya. Kegiatan bertani di lingkungan perkotaan dapat menjadi bentuk terapi dan mengurangi stres.
Teguh menilai pemerintah perlu menerapkan integrasi urban farming dalam desain kota sehingga dapat menciptakan lingkungan yang lebih hijau dan berkelanjutan. Hal ini juga dapat berdampak pada kualitas hidup penduduk kota.
Ke depannya, urban farming diharapkan dapat terus berkembang ke ranah berkelanjutan untuk mendukung konsep ramah lingkungan di perkotaan.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.