Wacana Pembentukan Kementerian Khusus Kebudayaan Kembali Bergulir
15 September 2024 |
22:00 WIB
Wacana pembentukan kementerian khusus bidang kebudayaan, yang terpisah dengan kementerian pendidikan, kembali menguat. Dengan berdiri sebagai lembaga tersendiri, pengembangan kebudayaan diharapkan bisa lebih fokus dan optimal.
Sebagaimana diketahui, urusan kebudayaan sekarang masih berada di Direktorat Jenderal Kebudayaan, posisinya adalah menjadi bagian di dalam Kementerian Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek).
Ketua Harian Dewan Kesenian Jakarta Bambang Prihadi mengatakan pembentukan kementerian kebudayaan dinilai urgen, terutama sebagai upaya memperkuat dan mengarahkan pengelolan sektor budaya di dalam negeri.
“Ini penting untuk terus didorong karena keberadaannya sudah urgen. Kita butuh bagasi yang lebih besar untuk mengelola kebudayaan,” ujar pria yang karib disapa Bembeng tersebut, dalam diskusi Menyongsong Kementerian Kebudayaan: Hakikat Revitalisasi Ruang Kebudayaan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Minggu (15/9/2024).
Baca juga: Anugerah Kebudayaan Indonesia 2024 Digelar Sebagai Apresiasi Penggerak Budaya
Kebudayaan kerap kali dimaknai secara sempit, misalnya hanya sebatas kesenian. Padahal, budaya mencakup hal yang lebih luas, dari masalah lingkungan, adat istiadat, pengetahuan tradisional, hingga produk kreatif sekali pun.
Untuk itulah, lanjutnya, persoalan kebudayaan tak bisa lagi hanya sebatas diurus oleh direktorat jenderal. Pembentukan kementerian khusus dinilai menjadi solusi untuk mengakomodir luasnya kebudayaan tersebut. “Dengan kementerian, paling tidak bisa mengordinir sampai 15-19 kementerian yang lain. Dalam artian, konsolidasinya bisa lebih cepat,” imbuhnya.
Menurutnya, apa yang dilakukan negara sejak 2017 baginya baru sebatas tobat nasuha. Istilah tobat nasuha kerap dipahami sebagai upaya sungguh-sungguh menyesali dosa dan tidak akan mengulangi lagi.
Namun, bagi Bambang, pada praktiknya masih banyak pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan. Salah satunya ialah kebutuhan kendaraan yang lebih besar terkait kebudayaan itu sendiri.Di sisi lain, dia berharap wacana pembentukan kementerian kebudayaan juga tak boleh dilakukan serta merta. Ada banyak hal yang mesti dirumuskan agar tak sekadar menjadi ‘jatah’ kursi.
“Ya, selain butuh kendaraan yang lebih besar, pada nantinya juga butuh orang yang tepat. Tentu ini dibutuhkan supaya geraknya lebih besar dan sambutan ke seluruh Indonesia, katakanlah pelaku budaya, akan lebih terasa,” jelasnya.
Baginya, dari perpres yang ada soal kebudayaan, saat ini baru mengaktivasi pokok-pokok pikiran daerah dan strategi kebudayaan. Padahal, banyak hal lain yang mestinya perlu ‘didaratkan’.
Trie menyebut, kebudayaan adalah bentangan yang di dalamnya berisi banyak unsur. Setiap unsur di dalamnya, saling terkait satu sama lain, saling berpengaruh, saling membantu, tanpa ada yang dominan. Dia lantas menukil sejumlah catatan dan naskah kuno yang rasanya pantas untuk terus digali dan diilhami kembali. Salah satunya di dalam Koropak 632 Rakeyan Darmasiksa.
Vokalis jazz Kratau itu menyebut di situ sangat jelas hubungan keterkaitan yang menarik. Misalnya dalam kalimat “Ada dulu, ada sekarang. Tidak ada dulu, tidak ada sekarang, ada masa lalu, ada masa kini, tidak ada masa lalu, tidak ada masa kini, ada pokok kayu, ada batang….”
Menurut Trie, naskah tersebut mestinya bisa menjadi fondasi untuk menyongsong kementerian kebudayaan ini. Dalam artian, satu sama lain mesti saling berhubungan dan menjalin simbiosis mutualisme.
Dia menyebut ada tiga entitas besar yang perlu dibentangkan bersama. Pertama adalah lanskap ekologi, ini meliputi bentang alam dan bentang hidup. Kedua, lanskap budaya, ini meliputi bentang budaya dan produk budaya. Ketiga adalah lanskap bisnis, ini meliputi sisi ekonomi dan bisnis.
Ketiga entitas ini kemudian membentuk sirkular, bahwa apa-apa yang dilakukan ujungnya saling terkait dan selalu dikembalikan ke lanskap ekologi. “Harus ada upaya untuk menggali dan mentransformasi tradisi dan nilai-nilainya dengan tata kelola SDA agar relevan di masa kini dan bermanfaat. Agar lampau, kini, dan nanti itu sejajar,” jelasnya.
Sementara itu, menurut akademisi Melani Budianta, kebudayaan memiliki dua aspek penting yang mesti dijaga dan menjadi landasan dalam mengarungi zaman. Pertama adalah kebudayaan sebagai energi kreatif yang terus berproses mengolah lingkungan sesuai kebutuhan. Kedua adalah mengembangkan identitas dan memberi landasan dalam menyiasati perubahan zaman.
Menurutnya, kementerian kebudayaan mesti mendasarkan diri terhadap hal-hal tersebut. Di luar itu, setiap pihak mesti mengawal dengan serius proses rancangan maupun nanti jika sudah terbentuk agar cita-cita awal bisa terwujud.
Baca juga: 5 Pilihan Karier Penggemar Kebudayaan dan Bahasa Asing
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Sebagaimana diketahui, urusan kebudayaan sekarang masih berada di Direktorat Jenderal Kebudayaan, posisinya adalah menjadi bagian di dalam Kementerian Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek).
Ketua Harian Dewan Kesenian Jakarta Bambang Prihadi mengatakan pembentukan kementerian kebudayaan dinilai urgen, terutama sebagai upaya memperkuat dan mengarahkan pengelolan sektor budaya di dalam negeri.
“Ini penting untuk terus didorong karena keberadaannya sudah urgen. Kita butuh bagasi yang lebih besar untuk mengelola kebudayaan,” ujar pria yang karib disapa Bembeng tersebut, dalam diskusi Menyongsong Kementerian Kebudayaan: Hakikat Revitalisasi Ruang Kebudayaan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Minggu (15/9/2024).
Baca juga: Anugerah Kebudayaan Indonesia 2024 Digelar Sebagai Apresiasi Penggerak Budaya
Kebudayaan kerap kali dimaknai secara sempit, misalnya hanya sebatas kesenian. Padahal, budaya mencakup hal yang lebih luas, dari masalah lingkungan, adat istiadat, pengetahuan tradisional, hingga produk kreatif sekali pun.
Untuk itulah, lanjutnya, persoalan kebudayaan tak bisa lagi hanya sebatas diurus oleh direktorat jenderal. Pembentukan kementerian khusus dinilai menjadi solusi untuk mengakomodir luasnya kebudayaan tersebut. “Dengan kementerian, paling tidak bisa mengordinir sampai 15-19 kementerian yang lain. Dalam artian, konsolidasinya bisa lebih cepat,” imbuhnya.
Menurutnya, apa yang dilakukan negara sejak 2017 baginya baru sebatas tobat nasuha. Istilah tobat nasuha kerap dipahami sebagai upaya sungguh-sungguh menyesali dosa dan tidak akan mengulangi lagi.
Namun, bagi Bambang, pada praktiknya masih banyak pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan. Salah satunya ialah kebutuhan kendaraan yang lebih besar terkait kebudayaan itu sendiri.Di sisi lain, dia berharap wacana pembentukan kementerian kebudayaan juga tak boleh dilakukan serta merta. Ada banyak hal yang mesti dirumuskan agar tak sekadar menjadi ‘jatah’ kursi.
“Ya, selain butuh kendaraan yang lebih besar, pada nantinya juga butuh orang yang tepat. Tentu ini dibutuhkan supaya geraknya lebih besar dan sambutan ke seluruh Indonesia, katakanlah pelaku budaya, akan lebih terasa,” jelasnya.
Baginya, dari perpres yang ada soal kebudayaan, saat ini baru mengaktivasi pokok-pokok pikiran daerah dan strategi kebudayaan. Padahal, banyak hal lain yang mestinya perlu ‘didaratkan’.
Kosmologi Budaya
Penyanyi legendaris dan budayawan Trie Utami mengangkat narasi kosmologi budaya dalam menyongsong pembentukan kementerian kebudayaan. Menurutnya, setiap pihak mesti duduk bersama dan memvaluasi lagi apa yang disebut produk-produk budaya dengan segala macam skema.Trie menyebut, kebudayaan adalah bentangan yang di dalamnya berisi banyak unsur. Setiap unsur di dalamnya, saling terkait satu sama lain, saling berpengaruh, saling membantu, tanpa ada yang dominan. Dia lantas menukil sejumlah catatan dan naskah kuno yang rasanya pantas untuk terus digali dan diilhami kembali. Salah satunya di dalam Koropak 632 Rakeyan Darmasiksa.
Vokalis jazz Kratau itu menyebut di situ sangat jelas hubungan keterkaitan yang menarik. Misalnya dalam kalimat “Ada dulu, ada sekarang. Tidak ada dulu, tidak ada sekarang, ada masa lalu, ada masa kini, tidak ada masa lalu, tidak ada masa kini, ada pokok kayu, ada batang….”
Menurut Trie, naskah tersebut mestinya bisa menjadi fondasi untuk menyongsong kementerian kebudayaan ini. Dalam artian, satu sama lain mesti saling berhubungan dan menjalin simbiosis mutualisme.
Dia menyebut ada tiga entitas besar yang perlu dibentangkan bersama. Pertama adalah lanskap ekologi, ini meliputi bentang alam dan bentang hidup. Kedua, lanskap budaya, ini meliputi bentang budaya dan produk budaya. Ketiga adalah lanskap bisnis, ini meliputi sisi ekonomi dan bisnis.
Ketiga entitas ini kemudian membentuk sirkular, bahwa apa-apa yang dilakukan ujungnya saling terkait dan selalu dikembalikan ke lanskap ekologi. “Harus ada upaya untuk menggali dan mentransformasi tradisi dan nilai-nilainya dengan tata kelola SDA agar relevan di masa kini dan bermanfaat. Agar lampau, kini, dan nanti itu sejajar,” jelasnya.
Sementara itu, menurut akademisi Melani Budianta, kebudayaan memiliki dua aspek penting yang mesti dijaga dan menjadi landasan dalam mengarungi zaman. Pertama adalah kebudayaan sebagai energi kreatif yang terus berproses mengolah lingkungan sesuai kebutuhan. Kedua adalah mengembangkan identitas dan memberi landasan dalam menyiasati perubahan zaman.
Menurutnya, kementerian kebudayaan mesti mendasarkan diri terhadap hal-hal tersebut. Di luar itu, setiap pihak mesti mengawal dengan serius proses rancangan maupun nanti jika sudah terbentuk agar cita-cita awal bisa terwujud.
Baca juga: 5 Pilihan Karier Penggemar Kebudayaan dan Bahasa Asing
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.