Tantangan Makin Kompleks, Pembentukan Kementerian Kebudayaan Dinilai Mendesak
16 September 2024 |
09:16 WIB
Pembentukan kementerian kebudayaan dinilai bisa menjadi jawaban di tengah tantangan yang makin kompleks ke depan. Sejumlah pihak kini menilai pemisahan kementerian kebudayaan sudah makin urgen sebagai upaya memperkuat dan mengarahkan pengelolaan sektor budaya dalam negeri.
Wacana membentuk kementerian kebudayaan bukanlah isu baru. Pada akhir 1945, sejumlah budayawan, seniman, dan tokoh masyarakat juga menggaungkan rekomendasi tersebut. Namun, hal itu masih urung terjadi hingga hari ini.
Sebagaimana diketahui, urusan kebudayaan saat ini juga masih berada di Direktorat Jenderal Kebudayaan, posisinya adalah menjadi bagian di dalam Kementerian Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek).
Baca juga: Wacana Pembentukan Kementerian Khusus Kebudayaan Kembali Bergulir
Akademisi Melani Budianta sepakat pembentukan kementerian kebudayaan makin urgen. Hal ini juga untuk makin memperkuat keberlanjutan ekosistem, terutama setelah Undang-undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan yang cukup membawa angin segar.
Bagi Melani, tantangan kebudayaan ke depan tentu akan makin kompleks. Oleh karena itu, perlu wadah yang juga besar untuk turut mengakomodir hal-hal tersebut di dalamnya.
Dia menuturkan ada beberapa tantangan dan masalah besar yang menanti. Pertama adalah soal keragaman, yang dalam hal ini juga mencakup kesenjangan akses fasilitas pendukung, pendanaan, pendidikan, dan pengakuan keberadaan.
Saat ini keragaman ini belum dikelola dengan baik. Dalam artian, ada budaya tertentu yang selalu disorot dan mendapat banyak akses ke fasilitas maupun pendanaan, tetapi di sisi lain masih ada kebudayaan dari daerah lain yang seolah tak tersentuh.
“Daya tawar untuk kebudayaan kita sendiri, sering kali terpinggirkan. Kesenjangan antara Jawa dan luar Jawa, pegunungan dan pesisir, pulau besar dan pulau kecil, serta hal-hal lain yang masih kentara. Ini jelas tak bisa lepas dari relasi kuasa,” tutur Melani.
Di sisi lain, tantangan yang cukup berat lainnya ialah masih banyak paradigma kebudayaan hanya dilihat sekadar pelengkap dan hiasan. Kerap kali hanya dipertontonkan di acara-acara seremonial semata.
Menurut Melani, kebudayaan juga kerap dianggap sebatas objek, bukan subjek. Dalam paradigma ini, kebudayaan tak ubahnya sebagai subordinat terhadap pembangunan berbasis infrastruktur atau industri dan kepentingan komersil semata.
Guru besar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia itu juga menyoroti kekeliruan pendekatan kebudayaan yang masih sering terjadi. Pendekatan kebudayaan kerap berjalan top down atau dari atas ke bawah.
Padahal, Indonesia merupakan negara yang punya banyak sekali kebudayaan. Setiap daerah memiliki kebutuhan dan cara bersiasat yang berbeda. Dengan pendekatan top down, realisasinya tentu jauh panggang dari api.
“Saya pernah pergi ke tempat penenun di Larantuka. Di sana, mereka menunjukkan mesin tenun besar-besar dari Jawa, yang rupanya tidak terpakai. Sebab, mesin yang mereka gunakan berbeda,” imbuhnya.
Menurutnya, saat ini kebijakan mestinya berbalik, dari bawah ke atas (bottom up). Pemerintah mesti bisa mengakomodasi kebutuhan dari komunitas, bukan malah menjejali komunitas.
“Apa akibatnya? Bukan menguatkan, malah melemahkan daya tawar aktor dan lembaga budaya ini. Karena kita direduksi jadi objek kepengaturan dan budaya sebagai komoditi belaka,” jelasnya.
Dengan adanya kementerian kebudayaan, Melani merasa dampaknya akan sangat besar. Pelaku budaya akan merasa mendapat dorongan dan dukungan. Budaya kini bukan lagi sebagai aksesoris, melainkan pelaku utama.
Ketua Harian Dewan Kesenian Jakarta Bambang Prihadi mengatakan pembentukan kementerian kebudayaan dinilai urgen, terutama sebagai upaya memperkuat dan mengarahkan pengelolan sektor budaya di dalam negeri.
Kebudayaan kerap kali dimaknai secara sempit, misalnya hanya sebatas kesenian. Padahal, budaya mencakup hal yang lebih luas, dari masalah lingkungan, adat istiadat, pengetahuan tradisional, hingga produk kreatif sekali pun.
Oleh karena itu, persoalan kebudayaan tak bisa lagi hanya sebatas diurus oleh direktorat jenderal. Pembentukan kementerian khusus dinilai menjadi solusi untuk mengakomodir luasnya kebudayaan tersebut.
“Ini penting untuk terus didorong karena keberadaannya sudah urgen. Kita butuh bagasi yang lebih besar untuk mengelola kebudayaan,” ujar pria yang karib disapa Bembeng tersebut.
Baca juga: Anugerah Kebudayaan Indonesia 2024 Digelar Sebagai Apresiasi Penggerak Budaya
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Wacana membentuk kementerian kebudayaan bukanlah isu baru. Pada akhir 1945, sejumlah budayawan, seniman, dan tokoh masyarakat juga menggaungkan rekomendasi tersebut. Namun, hal itu masih urung terjadi hingga hari ini.
Sebagaimana diketahui, urusan kebudayaan saat ini juga masih berada di Direktorat Jenderal Kebudayaan, posisinya adalah menjadi bagian di dalam Kementerian Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek).
Baca juga: Wacana Pembentukan Kementerian Khusus Kebudayaan Kembali Bergulir
Akademisi Melani Budianta sepakat pembentukan kementerian kebudayaan makin urgen. Hal ini juga untuk makin memperkuat keberlanjutan ekosistem, terutama setelah Undang-undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan yang cukup membawa angin segar.
Bagi Melani, tantangan kebudayaan ke depan tentu akan makin kompleks. Oleh karena itu, perlu wadah yang juga besar untuk turut mengakomodir hal-hal tersebut di dalamnya.
Dia menuturkan ada beberapa tantangan dan masalah besar yang menanti. Pertama adalah soal keragaman, yang dalam hal ini juga mencakup kesenjangan akses fasilitas pendukung, pendanaan, pendidikan, dan pengakuan keberadaan.
Saat ini keragaman ini belum dikelola dengan baik. Dalam artian, ada budaya tertentu yang selalu disorot dan mendapat banyak akses ke fasilitas maupun pendanaan, tetapi di sisi lain masih ada kebudayaan dari daerah lain yang seolah tak tersentuh.
“Daya tawar untuk kebudayaan kita sendiri, sering kali terpinggirkan. Kesenjangan antara Jawa dan luar Jawa, pegunungan dan pesisir, pulau besar dan pulau kecil, serta hal-hal lain yang masih kentara. Ini jelas tak bisa lepas dari relasi kuasa,” tutur Melani.
Di sisi lain, tantangan yang cukup berat lainnya ialah masih banyak paradigma kebudayaan hanya dilihat sekadar pelengkap dan hiasan. Kerap kali hanya dipertontonkan di acara-acara seremonial semata.
Menurut Melani, kebudayaan juga kerap dianggap sebatas objek, bukan subjek. Dalam paradigma ini, kebudayaan tak ubahnya sebagai subordinat terhadap pembangunan berbasis infrastruktur atau industri dan kepentingan komersil semata.
Guru besar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia itu juga menyoroti kekeliruan pendekatan kebudayaan yang masih sering terjadi. Pendekatan kebudayaan kerap berjalan top down atau dari atas ke bawah.
Padahal, Indonesia merupakan negara yang punya banyak sekali kebudayaan. Setiap daerah memiliki kebutuhan dan cara bersiasat yang berbeda. Dengan pendekatan top down, realisasinya tentu jauh panggang dari api.
“Saya pernah pergi ke tempat penenun di Larantuka. Di sana, mereka menunjukkan mesin tenun besar-besar dari Jawa, yang rupanya tidak terpakai. Sebab, mesin yang mereka gunakan berbeda,” imbuhnya.
Menurutnya, saat ini kebijakan mestinya berbalik, dari bawah ke atas (bottom up). Pemerintah mesti bisa mengakomodasi kebutuhan dari komunitas, bukan malah menjejali komunitas.
“Apa akibatnya? Bukan menguatkan, malah melemahkan daya tawar aktor dan lembaga budaya ini. Karena kita direduksi jadi objek kepengaturan dan budaya sebagai komoditi belaka,” jelasnya.
Dengan adanya kementerian kebudayaan, Melani merasa dampaknya akan sangat besar. Pelaku budaya akan merasa mendapat dorongan dan dukungan. Budaya kini bukan lagi sebagai aksesoris, melainkan pelaku utama.
Ketua Harian Dewan Kesenian Jakarta Bambang Prihadi mengatakan pembentukan kementerian kebudayaan dinilai urgen, terutama sebagai upaya memperkuat dan mengarahkan pengelolan sektor budaya di dalam negeri.
Kebudayaan kerap kali dimaknai secara sempit, misalnya hanya sebatas kesenian. Padahal, budaya mencakup hal yang lebih luas, dari masalah lingkungan, adat istiadat, pengetahuan tradisional, hingga produk kreatif sekali pun.
Oleh karena itu, persoalan kebudayaan tak bisa lagi hanya sebatas diurus oleh direktorat jenderal. Pembentukan kementerian khusus dinilai menjadi solusi untuk mengakomodir luasnya kebudayaan tersebut.
“Ini penting untuk terus didorong karena keberadaannya sudah urgen. Kita butuh bagasi yang lebih besar untuk mengelola kebudayaan,” ujar pria yang karib disapa Bembeng tersebut.
Baca juga: Anugerah Kebudayaan Indonesia 2024 Digelar Sebagai Apresiasi Penggerak Budaya
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.