Subak merupakan cerminan dari Tri Hita Karana (THK) bagi masyarakat Bali (sumber gambar: Unsplash/Niklas Weiss)

Mengenal Subak, Warisan Budaya Dunia yang Jadi Tema Indonesia Bertutur 2024

20 August 2024   |   09:00 WIB
Image
Prasetyo Agung Ginanjar Jurnalis Hypeabis.id

Indonesia dianugerahi kekayaan tradisi lisan yang sangat beragam yang mencerminkan keragaman etnis, budaya, serta sejarah bangsa. Tradisi ini mencakup cerita rakyat, mitos, legenda, pepatah, nyanyian, tarian, dan berbagai bentuk ekspresi budaya lain yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Belum lama ini, keragaman tersebut berhasil diejawantahkan dengan sangkil dalam mega festival Indonesia Bertutur (Intur) 2024. Berlangsung pada 7-18 Agustus 2024, acara tahunan ini dihelat di tiga lokasi berbeda di Pulau Dewata, Bali, yakni Batubulan, Ubud, dan Nusa Dua.

Baca juga: Indonesia Bertutur 2024: Merangkai Warisan Budaya dengan Kreativitas Masa Kini

Mengusung filosofi Subak: Harmoni dengan Pencipta, Alam, dan Sesama, Intur menghadirkan serangkaian kegiatan yang impresif dalam balutan seni termutakhir. Yaitu lewat seni pertunjukan, konser musik, video mapping, pameran karya rupa, film, hingga citraan media baru. 

Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek Hilmar Farid, dalam keterangan tertulis mengatakan, kebudayaan dengan segala dimensinya, bukan hanya sebuah sarana untuk pelestarian nilai-nilai leluhur. Melainkan juga bentuk kekuatan pendorong bagi pembangunan nasional yang kuat dan inklusif. 

Tema Subak menurutnya tidak hanya menegaskan pentingnya menjaga harmoni, tetapi juga menunjukkan bagaimana budaya dapat menjadi katalis bagi pembangunan yang berkelanjutan. "Ini juga untuk menyelaraskan kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan demi masa depan Indonesia yang lebih baik,"tuturnya.
 

Suasana Intur 2024 yang dihelat di Bali pada 7-18 Agustus 2024 (sumber gambar: Kemendikbudridstek)

Suasana Intur 2024 yang dihelat di Bali pada 7-18 Agustus 2024 (sumber gambar: Kemendikbudridstek)

Direktur Perfilman, Musik, dan Media Kemendikbudristek, Ahmad Mahendra, menambahkan, dalam pelaksanaan Intur 2024 yang paling mendasar sebagai landasannya adalah semangat menjaga budaya yang berkelanjutan dan menginspirasi masyarakat luas agar ingin berkarya.

“Mega festival Intur adalah salah satu realisasi upaya pemajuan kebudayaan yang berkelanjutan dengan menyelaraskan pengetahuan lokal dan teknologi masa kini. Melalui Intur, kami ingin merangkul banyak lagi kalangan dalam menghidupkan lokalitas budaya dan melindungi sejarah,” ujar Mahendra.


Bukan Sekadar Sistem Irigasi

Menurut laman Dinas Pertanian dan ketahanan Pangan Provinsi Bali, subak merupakan sistem pengairan masyarakat Bali yang menyangkut hukum adat. Ciri khas subak adalah berkelindan dengan kultur sosial, pertanian, dan keagamaan dengan tekad dan semangat gotong royong untuk memperoleh air dalam menghasilkan tanaman pangan, terutama padi dan palawija. 

Kata 'Subak' pertama kali muncul dalam prasasti Pandak Bandung yang berangka tahun 1071 M, serta berasal dari kata 'Kasuwakan' yang berarti daerah subak. Kalimat ini juga ditemukan pada Prasasti Trunyan (881 M), Prasasti Sukawana (882 M), Prasasti Bebetin A (896 M), Prasasti Buwahan, Timpag, dan Bugbug.

Sistem irigasi subak juga merupakan perkumpulan petani yang mengelola air irigasi di persawahan. Keunikan sistem irigasi ini terlihat dari kegiatan ritual keagamaan yang dilakukan oleh anggota subak secara rutin sesuai tahapan pertumbuhan padi. Mulai dari mengolah tanah hingga hasil panen padi disimpan di lumbung. 

Beberapa penelitian yang dilakukan oleh para ahli menyebutkan bahwa sistem irigasi subak merupakan cerminan dari Tri Hita Karana (THK). Konsep THK menurut beberapa penelitian juga relevan dengan konsep pembangunan berkelanjutan yang saat ini populer dan sering dijadikan acuan oleh setiap perencana pembangunan di berbagai sektor.

Secara filosofi, Tri Hita Karana adalah konsep dalam kehidupan manusia Bali untuk menjaga keselarasan, keharmonisan dan keseimbangan hubungan dengan Tuhan sebagai Sang Pencipta (parhyangan), hubungan dengan sesama manusia (pawongan), dan hubungan dengan alam lingkungan (palemahan).
 

Subak telah ditetapkan sebagai bagian dari warisan budaya dunia oleh UNESCO pada 2012 (sumber gambar: Unsplash/Radoslav Bali)

Subak telah ditetapkan sebagai bagian dari warisan budaya dunia oleh UNESCO pada 2012 (sumber gambar: Unsplash/Radoslav Bali)

Sosiolog Universitas Nasional, Sigit Rochadi menuturkan, subak bukan sekadar lanskap sawah dengan sistem pembagian pengairan, yang sudah bertahan berabad-abad. Manifestasi subak, menurutnya lahir dari hukum positif dengan hukum tidak tertulis, atau norma-norma di masyarakat Bali yang berjalan in-line seturut dengan zaman.

"Ini dikarenakan masyarakat Bali sudah lama melakukan kodifikasi aturan-aturan tersebut. Nilai-nilai lokal inilah yang juga terus harus dijaga agar tetap lestari, karena telah lama menghidupi mereka [masyarakat Bali]," katanya.

Subak telah ditetapkan sebagai bagian dari warisan budaya dunia oleh UNESCO dalam Sidang Komite Warisan Dunia di St Petersburg, Rusia, pada 2012. Pengakuan tersebut terwujud setelah lebih dari satu dekade negara dan ekosistem terkait (pakar dan ilmuwan) melakukan penelitian multidisiplin ilmu mengenai subak.

Lanskap subak di Bali, yang diakui sebagai warisan dunia, berada di lima kabupaten, yakni kabupaten Bangli, Gianyar, Badung, Buleleng, dan Tabanan. Sesuai dengan pengajuannya, Subak di Bali memiliki luas sekitar 20.000 hektar, yang saat ini semakin tergerus oleh pembangunan.

Baca juga: Menjaga Eksistensi Subak Jatiluwih, Konsep Pertanian Bali Warisan Budaya UNESCO

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News

Editor: Nirmala Aninda

SEBELUMNYA

Wisata Goa Pindul, Dari Tempat Pembuangan Sampah Jadi Pembangkit Ekonomi Warga

BERIKUTNYA

Long Drive, Cabang Golf yang Jadi Primadona Baru di Indonesia

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: