Menjaga Eksistensi Subak Jatiluwih, Konsep Pertanian Bali Warisan Budaya UNESCO
20 October 2023 |
10:30 WIB
Sistem irigasi pertanian subak di Bali telah diakui sebagai salah satu warisan dunia UNESCO. Subak adalah istilah untuk tradisi sistem pengairan tradisional yang telah ada turun-temurun dan hingga kini masih digunakan oleh masyarakat Bali.
Salah satunya bisa ditemui di wilayah Jatiluwih, Kabupaten Tabanan. Kawasan persawahan berundak di kaki Gunung Batukaru tersebut bisa dibilang sebagai ikon subak yang menawarkan keindahan alam sekaligus budaya dalam satu waktu.
Baca juga: Ini Daftar Budaya Tak Benda yang Diakui UNESCO
Pekaseh Subak Jatiluwih, I Wayan Mustra mengatakan bahwa sistem subak tidak hanya berbicara soal pengairan semata. Subak juga mewakili budaya Bali yang berbasis pertanian. Melalui subak pula akan tercermin budaya gotong royong, pelestarian lingkungan, pengendalian hama, hingga pengatuan soal musim.
Subak juga merupakan salah satu manifestasi Tri Hita Karana, sebuah filosofi Hindu Bali dalam menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan Sang Pencipta. Dalam setiap ritual dan praktik kebudayaannya, subak akan diatur oleh seorang pemuka adat atau juga disebut pekaseh.
Pekaseh bertanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan irigasi di wilayah subak, menjadwalkan pergiliran tanaman dan mengorganisasi upacara subak. Pada umumnya, pekaseh juga dijabat oleh seorang petani.
Berpadunya sistem pertanian dengan kebudayaan membuat subak unik. Terlebih, sistem subak yang juga menganut gaya terasering membuat persawahan di kawasan tersebut menampilkan panorama yang memukau.
Di sisi lain, sistem kebudayaan yang telah berlangsung dari para leluhur juga telah membuat regenerasi petani di wilayah tersebut berjalan lebih baik. Pada saat banyak isu anak muda tak mau jadi petani, hal itu tak terlalu dirasakan di kawasan subak Jatiluwih.
“Untuk regenerasi di sini masih bagus. Petani muda di sini masih 25 persen. Walaupun mereka juga ada pekerjaan lain selain petani, tetapi profesi ini tidak ditinggalkan begitu saja,” ungkap Pekaseh Wayan Mustra kepada Hypeabis.id saat berkunjung ke Subak Jatiluwih bersama UNESCO Jakarta, Kamis (20/10/2023).
Menurut Pekaseh Mustra, salah satu kunci regenerasi berjalan dengan mulus adalah karena kebudayaan ini sedari awal sudah memiliki awig-awig yang mengikat. Awig-awig adalah seperangkat aturan yang memuat ketentuan-ketentuan yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh seluruh anggota subah, termasuk pengurusnya.
Salah satu aturan tersebut juga memuat keberlanjutan serta regenerasi kebudayaan ini. Misalnya, tanah yang termasuk dalam subak tidak boleh dialihfungsikan dan keturunan wajib meneruskannya. Kewajiban seperti ini yang membuat kebudayaan subak masih terus lestari.
Bagi Pekaseh Mustra, sistem subak juga telah membantu kawasan pertanian di Jatiluwih tetap menghasilkan produk padi merah dengan kualitas unggul. Proses penanaman yang tidak menggunakan pestisida serta warna, bau, dan rasa beras merah sangat khas dan berbeda menjadikan beras merah ini produk unggulan.
Bahkan, beras merah di wilayah ini tidak hanya dimanfaatkan untuk dimakan. Berkat kualitasnya, beras merah di sana juga bisa diubah menjadi teh. Teh beras merah berasal dari padi kering yang telah dihilangkan kulitnya dengan cara digiling. Beras merah yang bersih lalu dipanaskan dengan wajan tanah liat, kemudian dibungkus.
Para wisatawan yang datang ke subak Jatiluwih pun bisa merasakan teh beras merah sambil menikmati suguhan terasering persawahan dengan sistem irigasi yang masih alami. Di kawasan tersebut, wisatawan bisa melihat keindahan salah satu Warisan Budaya Dunia yang sudah diakui UNESCO sejak 2012 itu.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Salah satunya bisa ditemui di wilayah Jatiluwih, Kabupaten Tabanan. Kawasan persawahan berundak di kaki Gunung Batukaru tersebut bisa dibilang sebagai ikon subak yang menawarkan keindahan alam sekaligus budaya dalam satu waktu.
Baca juga: Ini Daftar Budaya Tak Benda yang Diakui UNESCO
Pekaseh Subak Jatiluwih, I Wayan Mustra mengatakan bahwa sistem subak tidak hanya berbicara soal pengairan semata. Subak juga mewakili budaya Bali yang berbasis pertanian. Melalui subak pula akan tercermin budaya gotong royong, pelestarian lingkungan, pengendalian hama, hingga pengatuan soal musim.
Subak juga merupakan salah satu manifestasi Tri Hita Karana, sebuah filosofi Hindu Bali dalam menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan Sang Pencipta. Dalam setiap ritual dan praktik kebudayaannya, subak akan diatur oleh seorang pemuka adat atau juga disebut pekaseh.
Subak Jatiluwih, Tabanan, Bali (Sumber gambar: Chelsea Venda/Hypeabis.id)
Pekaseh bertanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan irigasi di wilayah subak, menjadwalkan pergiliran tanaman dan mengorganisasi upacara subak. Pada umumnya, pekaseh juga dijabat oleh seorang petani.
Berpadunya sistem pertanian dengan kebudayaan membuat subak unik. Terlebih, sistem subak yang juga menganut gaya terasering membuat persawahan di kawasan tersebut menampilkan panorama yang memukau.
Di sisi lain, sistem kebudayaan yang telah berlangsung dari para leluhur juga telah membuat regenerasi petani di wilayah tersebut berjalan lebih baik. Pada saat banyak isu anak muda tak mau jadi petani, hal itu tak terlalu dirasakan di kawasan subak Jatiluwih.
“Untuk regenerasi di sini masih bagus. Petani muda di sini masih 25 persen. Walaupun mereka juga ada pekerjaan lain selain petani, tetapi profesi ini tidak ditinggalkan begitu saja,” ungkap Pekaseh Wayan Mustra kepada Hypeabis.id saat berkunjung ke Subak Jatiluwih bersama UNESCO Jakarta, Kamis (20/10/2023).
Menurut Pekaseh Mustra, salah satu kunci regenerasi berjalan dengan mulus adalah karena kebudayaan ini sedari awal sudah memiliki awig-awig yang mengikat. Awig-awig adalah seperangkat aturan yang memuat ketentuan-ketentuan yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh seluruh anggota subah, termasuk pengurusnya.
Salah satu aturan tersebut juga memuat keberlanjutan serta regenerasi kebudayaan ini. Misalnya, tanah yang termasuk dalam subak tidak boleh dialihfungsikan dan keturunan wajib meneruskannya. Kewajiban seperti ini yang membuat kebudayaan subak masih terus lestari.
Daya Tarik Agrowisata dan Padi Kualitas Unggul
Subak Jatiluwih, Tabanan, Bali (Sumber gambar: Chelsea Venda/Hypeabis.id)
Bagi Pekaseh Mustra, sistem subak juga telah membantu kawasan pertanian di Jatiluwih tetap menghasilkan produk padi merah dengan kualitas unggul. Proses penanaman yang tidak menggunakan pestisida serta warna, bau, dan rasa beras merah sangat khas dan berbeda menjadikan beras merah ini produk unggulan.
Bahkan, beras merah di wilayah ini tidak hanya dimanfaatkan untuk dimakan. Berkat kualitasnya, beras merah di sana juga bisa diubah menjadi teh. Teh beras merah berasal dari padi kering yang telah dihilangkan kulitnya dengan cara digiling. Beras merah yang bersih lalu dipanaskan dengan wajan tanah liat, kemudian dibungkus.
Para wisatawan yang datang ke subak Jatiluwih pun bisa merasakan teh beras merah sambil menikmati suguhan terasering persawahan dengan sistem irigasi yang masih alami. Di kawasan tersebut, wisatawan bisa melihat keindahan salah satu Warisan Budaya Dunia yang sudah diakui UNESCO sejak 2012 itu.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.