Co-founder PHR Pressing M. Taufiqurrahman dalam acara Kamis Santuy di di kantor Bisnis Indonesia, Kamis (15/8/2024). Sumber gambar: Hypeabis.id/Arief Himawan P

Piringan Hitam, Kembalikan Rilisan Fisik Musik hingga Kesejahteraan Musisi

16 August 2024   |   07:30 WIB
Image
Luke Andaresta Jurnalis Hypeabis.id

Di tengah pendapatan royalti yang minim dan tidak akuntabel dari platform streaming musik, rilisan fisik piringan hitam atau vinyl bisa menjadi 'angin segar' bagi pencipta lagu dan musisi. Terlebih, piringan hitam kini kembali digandrungi bahkan penjualannya kian melesat selama beberapa tahun terakhir.
 
Menurut Recording Industry Association of America (RIAA), sebanyak 43,2 juta vinyl telah terjual di Amerika Serikat pada 2023. Angka ini melesat selama 17 tahun terakhir sejak 2006, tahun dimana vinyl kembali populer di AS. Kala itu, hanya kurang dari satu juta vinyl terjual.

Baca juga: Record Store Day Indonesia Bawa Misi Kenalkan Kembali Musik Lewat Medium Fisik
 
Di samping itu, data dari British Phonographic Industry (BPI) mencatat penjualan vinyl di Inggris melonjak hampir 15 persen sepanjang 2023. Hingga September tahun lalu, sebanyak 3,9 juta lebih vinyl telah terjual, meningkat sebesar 13,2 persen dari 2022. Disebutkan beberapa musisi dunia yang menyumbang peningkatan itu ialah Lana Del Rey, Taylor Swift, Blur, dan Kylie Minogue.
 
Dengan capaian tersebut, penjualan vinyl secara global pada 2024 diperkirakan akan meningkat hampir dua kali lipat mencapai US$5,2 miliar, dibandingkan total penjualan tiga tahun sebelumnya yaitu sebesar US$3,1 miliar.
 
Co-founder PHR Pressing M. Taufiqurrahman menilai kebangkitan piringan hitam yang digandrungi kembali saat ini bisa menjadi momentum kembalinya format rilisan fisik pada musik, yang pada akhirnya akan membantu musisi dan pencipta lagu mendapatkan nilai monetisasi yang jelas.
 
Sebab, menurutnya, bisnis streaming musik yang saat ini mendominasi industri justru membuat fenomena dematerialisasi hingga demonetisasi di kalangan musisi dan pencipta lagu.
 
Era streaming musik digital saat ini membuat karya musik tak lagi menyertakan rilisan fisik (dematerialisasi). Semua orang kini bisa dengan mudah mendengarkan musik lewat layanan streaming bahkan secara gratis. Namun, di balik kemudahan itu, pencipta lagu dan musisi nyatanya belum mendapatkan remunerasi yang adil atas kreativitas dan kerja keras mereka (demonetisasi).
 
Hal ini juga terungkap dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh Union of Musicians and Allied Workers yang menyebutkan bahwa seorang musisi memerlukan 250 streaming Spotify untuk mendapatkan US$1 saja, setara dengan lebih dari 250.000 streaming untuk mendapatkan US$1.000. 
 
"Masa orang bayar Rp50.000 sebulan dapat seluruh musik di seluruh dunia yang pernah ada, yang pernah direkam. It doesn't make any sense. Itu enggak fair buat semua orang yang punya musik, karena musik harusnya dihargai," katanya saat ditemui Hypeabis.id di kantor Bisnis Indonesia, Kamis (15/8/2024).
 
Menurut Taufiq, selama 100 tahun lebih industri musik Indonesia, baru di era streaming musik digital seperti sekarang ini perilisan karya tidak disertai rilisan fisik. Sebelumnya, rilisan fisik selalu menyertai perkembangan industri musik yang hadir dalam berbagai format, mulai dari vinyl, kaset, hingga CD.
 
"Jadi ada materialnya, ada barangnya. Jadi ownership itu masih jelas. Ketika masih ada ownership-nya, ada barangnya, itu ada monetisasinya," ucapnya.
 
Oleh karena itu, dia menilai kebangkitan piringan hitam saat ini bisa menjadi momentum kembalinya rilisan fisik musik, dan pada akhirnya membuat musisi mendapatkan remunerasi yang jelas dari karya ciptaannya.
 
Taufiq menjelaskan dalam rilisan piringan hitam, musisi bisa mencetak vinyl sesuai dengan jumlah yang diinginkan termasuk memiliki kewenangan dalam menentukan harganya. Misalnya, harga cetak vinyl memakan biaya sekitar Rp200.000 per keping, lalu dijual seharga Rp500.000. Ketika seorang musisi mencetak 100 vinyl, dia sudah bisa mendapatkan nilai penjualan sekitar Rp50 juta dan berlaku kelipatan.
 
"Angkanya tuh relatif, tergantung kesepakatan label dan artisnya. Tapi mau diatur seberapapun kecilnya, itu ada tangible value-nya. Ketimbang streaming yang aturannya tidak jelas, pengalinya juga tidak jelas," katanya.
 
Berkembangnya industri vinyl bergantung dari kesadaran para penikmat musik untuk bisa lebih menghargai karya para musisi. Menurut Taufiq, 1 persen saja dari seluruh populasi di Indonesia yang memiliki kesadaran tersebut dengan membeli rilisan fisik sudah bisa membuat industri musik tetap berjalan sebagaimana mestinya.
 
Sebelumnya, Musisi Melly Goeslaw mengatakan pada era digital yang serba transparans, penghitungan royalti untuk musik justru tidak terbuka. Sebagai penyanyi sekaligus pencipta lagu, dia mengaku tidak mengetahui dengan jelas bagaimana skema penghitungan royalti terutama di platform streaming digital.
 
Dia membandingkan dengan kondisi zaman ketika industri musik masih bergerak secara analog. Kala itu, beberapa albumnya meledak di pasaran dan bisa terjual sebanyak 1 juta hingga 2 juta kopi. Dari penjualan itu, dia mengaku bisa menikmati hasilnya dengan membeli rumah ataupun mobil.
 
Saat ini, Melly mengatakan beberapa lagunya mencetak ratusan juta streams di platform streaming musik digital. Secara angka konsumsi musik, kondisinya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan penjualan album pada beberapa dekade silam. Namun, nyatanya, Melly justru mengaku tidak mendapatkan penghasilan royalti yang setimpal dari angka streams tersebut.
 
"Sampai sekarang itu saya masih berpikir bagaimana menghitung royaltinya. Di grafik saya ini tiga bulan lalu dapat Rp133.000, Alhamdulillah bulan ini ada kenaikan jadi Rp590.000. Itu royalti dari platform streaming," katanya dengan nada sarkastik dalam acara diskusi yang diadakan Koalisi Seni di M Bloc Space, Jakarta, beberapa waktu lalu.
 
Keresahan serupa juga dialami oleh musisi, pencipta lagu sekaligus komposer Yovie Widianto. Yovie mengungkapkan di platform streaming musik digital, lagu-lagunya telah diputar lebih dari 2 miliar streams. Namun, sebagai pencipta lagu, dia mengaku belum mendapatkan royalti dengan angka yang proporsional.
 
Pentolan grup Kahitna itu menyebut besaran royalti yang didapatkan musisi dari platform streaming musik di sejumlah negara berbeda-beda. Dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya seperti Malaysia, Korea Selatan, dan Thailand, kata Yovie, Indonesia memiliki angka royalti yang kecil.
 
Baca juga: Indonesia Punya Pabrik Piringan Hitam Lagi Setelah 50 Tahun, Berapa Harga Produksinya?

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News

Editor: Nirmala Aninda

SEBELUMNYA

Pergeseran dan Tren AI Paruh Kedua 2024 versi IBM 

BERIKUTNYA

Cara Membuat Kopi Cold Brew Tanpa Alat, Hanya Pakai Toples Kaca dan Saringan

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: