Speak Up on Bullying and Intolerance, Ekspresi Berani Anak Berkebutuhan Khusus
05 August 2024 |
18:30 WIB
Penuh warna-warni dan ekspresif adalah 2 kata yang tepat untuk menggambarkan karya-karya dalam pameran lukisan bertajuk Speak Up on Bullying and Intolerance di Creative Indonesia, Jakarta. Lewat beragam karya, para anak seniman yang menjadi peserta mengekspresikan isu tentang perundungan dan juga intoleransi.
Lukisan berjudul Dunia Kecilku terpampang menjadi salah satu dari banyak karya yang ada dalam pameran Speak Up On Bullying and Intolerance. Karya dengan medium akrilik di atas kanvas berukuran 11,5 cm x 11,5 cm ini merupakan ciptaan seniman cilik Meli Amelia dari Banten.
Baca juga: Yayasan Kids Biennale Indonesia Gelar Pameran Speak Up On Bullying and Intolerance
Lukisan dari seniman yang baru berusia 11 tahun dengan kondisi kebutuhan khusus itu menggambarkan seorang anak di depan rumah dengan dikelilingi oleh alam yang penuh dengan warna dan kupu-kupu yang berterbangan.
Langit biru yang cerah dan matahari bersinar memberikan suasana yang damai dan ceria. Sang seniman menggambarkan setiap elemen yang ada dalam lukisan, seperti rumah, pohon, dan serangga dengan gaya yang ekspresif.
Penggunaan warna-warna cerah dan kontras menciptakan rasa bahagia dan damai bagi siapa saja yang melihatnya. Tidak hanya itu, lukisan itu juga memperlihatkan suasana kehidupan sehari-hari yang sederhana dan sangat berarti bagi sang pelukis.
Meli menggoreskan garis-garis tebal dalam lukisannya sehingga membuat efek visual yang kuat. Tidak hanya itu, beragam warna merah, hijau, dan biru yang dominan juga menciptakan keseimbangan antara elemen manusia dan alam.
Dari lukisan itu, pencinta karya seni dapat melihat bahwa sang seniman dengan kondisi tunarungu menggambarkan dunia yang penuh dengan keajaiban dan keceriaan. Karya ini mencerminkan pandangan Meli yang optimistis dan imajinatif terhadap lingkungan di sekitar.
Lebih dari itu, Meli juga mencoba mengajak penikmat seni merasakan keindahan dalam kesederhanaan dan melihat dunia melalui mata anak-anak yang penuh rasa ingin tahu dan kebahagiaan.
Di bagian lainnya, pameran ini juga menampilkan karya kakak beradik bernama Abiputra Prasetyo dan Adelia Putri Prasetyo yang mengidap diseleksia. Sang kakak yang berumur 14 tahun membuat permainan dan sang adik yang baru berusia 9 tahun membuat jurnal.
Keduanya berkolaborasi membuat karya berjudul Anti Bullying, an Airplane Game Play. Dalam permainan tersebut, para pencinta seni akan diajak mengoperasikan sebuah pesawat untuk menghancurkan awan hitam berpetir dengan beragam kata tidak baik, seperti bad, stupid, dan sebagainya.
Kurator Gie Sanjaya mengungkapkan bahwa karya berjudul Dunia Kecilku menunjukkan bahwa anak yang berada di area Banten dengan kebutuhan khusus mampu berkreasi. Sementara itu, karya Anti Bullying, an Airplane Game Play merupakan cara seniman merespons isu perundungan dan toleransi dengan cara yang berbeda.
Kedua karya itu hanya satu dari banyak karya lainnya yang ada dalam pameran ini. Selain Dunia Kecilku yang berupa lukisan dan Anti Bullying, dan Airplane Game Play, pameran yang berlangsung sampai 10 Agustus 2024 itu juga menyajikan beragam karya dari anak dan remaja dengan kebutuhan khusus, neurodivergen, dan difabel.
Pada pameran ini, para anak seniman merespons isu perundungan dan juga intoleran. Tidak hanya itu, beberapa di antara peserta adalah korban dari perudungan dan intolerasi. Selain lukisan, jurnal, dan video, mereka juga membuat komik atau karya lainnya.
Gie mengungkapkan bahwa penyelenggara membebasakan para seniman untuk berkreasi membuat karya. Dengan begitu, karya yang dihasilkan adalah murni ekspresi mereka sebagai anak-anak – termasuk dalam pemilihan warna.
“Karya mereka ekspresif dan tidak mendapatkan pembatasan, sehingga mereka bebas dalam berkarya. Mereka bebas mau membuat tema apa, dengan medium apa, dan sebagainya,” katanya.
Pameran yang menampilkan karya dari 54 orang anak dan remaja berkebutuhan khusus, difabel, dan neurodivergen itu merupakan bagian dari Road to Kids Bieannale yang akan diadakan pada tahun depan.
Wanita yang juga menjadi salah satu pendiri Yayasan Kids Biennale Indonesia itu berharap pameran yang terselenggara tidak sekadar kegiatan senang-senang saja. “Namun, justru adalah advokasi, critism, dan menjadi perubahan, agen perubahan melalui anak-anak dan remaja,” ujar Gie.
Dalam catatan kuratorialnya, dia mengatakan pameran Speak Up On Bullying and Intolerance hadir sebagai platform yang menyentuh dan kuat yang memperjuangkan suara individu muda yang terkena dampak selain menyoroti isu yang tersebar luas.
Seni dapat menjadi media ekspresi dan penyembuhan. Selain itu, seni juga memiliki kapasitas yang tidak dapat tertandingi untuk menyampaikan pesan yang tidak dapat diungkapkan dalam rangka menyembuthkan luka yang tidak bisa diucap lewat kata-kata.
Tidak hanya itu, seni juga dapat digunakan untuk menyatukan beragam pengalaman ke dalam sebuah narasi kolektif. “Pameran ini memanfaatkan kekuatan transformatif seni untuk memberikan suara bagi mereka yang dibungkam oleh penindasan dan intoleransi,” tulisnya.
Pameran ini juga menggarisbawahi betapa penting kehadiran komunitas dan solidaritas dalam mengatasi penindasan dan intoleransi. Dengan menyatukan beragam suara dan pengalaman, ajang ini bertujuan menciptakan rasa tanggung jawab dan pemberdayaan kolektif.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Lukisan berjudul Dunia Kecilku terpampang menjadi salah satu dari banyak karya yang ada dalam pameran Speak Up On Bullying and Intolerance. Karya dengan medium akrilik di atas kanvas berukuran 11,5 cm x 11,5 cm ini merupakan ciptaan seniman cilik Meli Amelia dari Banten.
Baca juga: Yayasan Kids Biennale Indonesia Gelar Pameran Speak Up On Bullying and Intolerance
Lukisan dari seniman yang baru berusia 11 tahun dengan kondisi kebutuhan khusus itu menggambarkan seorang anak di depan rumah dengan dikelilingi oleh alam yang penuh dengan warna dan kupu-kupu yang berterbangan.
Salah satu karya dalam pameran Speak Up On Bullying and Intolerance (Sumber gambar: Hypeabis.id/ Yudi Supriyanto)
Langit biru yang cerah dan matahari bersinar memberikan suasana yang damai dan ceria. Sang seniman menggambarkan setiap elemen yang ada dalam lukisan, seperti rumah, pohon, dan serangga dengan gaya yang ekspresif.
Penggunaan warna-warna cerah dan kontras menciptakan rasa bahagia dan damai bagi siapa saja yang melihatnya. Tidak hanya itu, lukisan itu juga memperlihatkan suasana kehidupan sehari-hari yang sederhana dan sangat berarti bagi sang pelukis.
Meli menggoreskan garis-garis tebal dalam lukisannya sehingga membuat efek visual yang kuat. Tidak hanya itu, beragam warna merah, hijau, dan biru yang dominan juga menciptakan keseimbangan antara elemen manusia dan alam.
Dari lukisan itu, pencinta karya seni dapat melihat bahwa sang seniman dengan kondisi tunarungu menggambarkan dunia yang penuh dengan keajaiban dan keceriaan. Karya ini mencerminkan pandangan Meli yang optimistis dan imajinatif terhadap lingkungan di sekitar.
Lebih dari itu, Meli juga mencoba mengajak penikmat seni merasakan keindahan dalam kesederhanaan dan melihat dunia melalui mata anak-anak yang penuh rasa ingin tahu dan kebahagiaan.
Di bagian lainnya, pameran ini juga menampilkan karya kakak beradik bernama Abiputra Prasetyo dan Adelia Putri Prasetyo yang mengidap diseleksia. Sang kakak yang berumur 14 tahun membuat permainan dan sang adik yang baru berusia 9 tahun membuat jurnal.
Keduanya berkolaborasi membuat karya berjudul Anti Bullying, an Airplane Game Play. Dalam permainan tersebut, para pencinta seni akan diajak mengoperasikan sebuah pesawat untuk menghancurkan awan hitam berpetir dengan beragam kata tidak baik, seperti bad, stupid, dan sebagainya.
Kurator Gie Sanjaya mengungkapkan bahwa karya berjudul Dunia Kecilku menunjukkan bahwa anak yang berada di area Banten dengan kebutuhan khusus mampu berkreasi. Sementara itu, karya Anti Bullying, an Airplane Game Play merupakan cara seniman merespons isu perundungan dan toleransi dengan cara yang berbeda.
Kedua karya itu hanya satu dari banyak karya lainnya yang ada dalam pameran ini. Selain Dunia Kecilku yang berupa lukisan dan Anti Bullying, dan Airplane Game Play, pameran yang berlangsung sampai 10 Agustus 2024 itu juga menyajikan beragam karya dari anak dan remaja dengan kebutuhan khusus, neurodivergen, dan difabel.
Pada pameran ini, para anak seniman merespons isu perundungan dan juga intoleran. Tidak hanya itu, beberapa di antara peserta adalah korban dari perudungan dan intolerasi. Selain lukisan, jurnal, dan video, mereka juga membuat komik atau karya lainnya.
Gie mengungkapkan bahwa penyelenggara membebasakan para seniman untuk berkreasi membuat karya. Dengan begitu, karya yang dihasilkan adalah murni ekspresi mereka sebagai anak-anak – termasuk dalam pemilihan warna.
“Karya mereka ekspresif dan tidak mendapatkan pembatasan, sehingga mereka bebas dalam berkarya. Mereka bebas mau membuat tema apa, dengan medium apa, dan sebagainya,” katanya.
Pameran yang menampilkan karya dari 54 orang anak dan remaja berkebutuhan khusus, difabel, dan neurodivergen itu merupakan bagian dari Road to Kids Bieannale yang akan diadakan pada tahun depan.
Wanita yang juga menjadi salah satu pendiri Yayasan Kids Biennale Indonesia itu berharap pameran yang terselenggara tidak sekadar kegiatan senang-senang saja. “Namun, justru adalah advokasi, critism, dan menjadi perubahan, agen perubahan melalui anak-anak dan remaja,” ujar Gie.
Dalam catatan kuratorialnya, dia mengatakan pameran Speak Up On Bullying and Intolerance hadir sebagai platform yang menyentuh dan kuat yang memperjuangkan suara individu muda yang terkena dampak selain menyoroti isu yang tersebar luas.
Seni dapat menjadi media ekspresi dan penyembuhan. Selain itu, seni juga memiliki kapasitas yang tidak dapat tertandingi untuk menyampaikan pesan yang tidak dapat diungkapkan dalam rangka menyembuthkan luka yang tidak bisa diucap lewat kata-kata.
Tidak hanya itu, seni juga dapat digunakan untuk menyatukan beragam pengalaman ke dalam sebuah narasi kolektif. “Pameran ini memanfaatkan kekuatan transformatif seni untuk memberikan suara bagi mereka yang dibungkam oleh penindasan dan intoleransi,” tulisnya.
Pameran ini juga menggarisbawahi betapa penting kehadiran komunitas dan solidaritas dalam mengatasi penindasan dan intoleransi. Dengan menyatukan beragam suara dan pengalaman, ajang ini bertujuan menciptakan rasa tanggung jawab dan pemberdayaan kolektif.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.