Menilik Potensi Film Dokumenter Musik di Indonesia, Benarkah Selalu Sepi?
05 August 2024 |
16:54 WIB
Kemunculan film dokumenter musik, yang mengangkat kehidupan di balik layar musisi, menjadi warna menarik di dunia sinema Indonesia beberapa waktu ke belakang. Konsep ini cukup menyegarkan tontonan film bioskop di tengah pandemi genre horor yang masih terjadi.
Hingga pertengahan tahun ini, setidaknya ada dua dokumenter musik yang dirilis. Pertama adalah film Harta Tahta Raisa produksi Imajinari. Film ini mengungkap kisah perjuangan Raisa di balik panggung, terutama ketika dia akhirnya menjadi penyanyi perempuan pertama yang bisa konser di Gelora Bung Karno.
Kedua, ada film All Access to Rossa 25 Shining Years. Film produksi Sinemaku Pictures ini mengangkat kisah Rossa dalam meniti karier di industri musik selama 25 tahun terakhir.
Baca juga: Cerita Rossa yang Ingin Terlihat Jujur Dalam Film Dokumenternya
Sebenarnya, ada satu film bertema musik juga yang dirilis tahun ini, yakni Glenn Fredly The Movie. Namun, film yang disutradarai Lukman Sardi itu memilih genre drama, bukan dokumenter.
Pengamat film nasional Shandy Gasella mengatakan film dokumenter musik tampak cukup baru di Indonesia, tetapi sudah lazim di luar negeri. Di beberapa negara besar, dari Amerika Serikat hingga Eropa, banyak sineas yang mengulik kehidupan figur musisi.
Di luar negeri, film-film yang mengangkat figur musisi cukup banyak dan konsisten dibuat. Konsep ini sudah cukup hidup dan tentu saja memiliki jumlah penikmat yang besar.
“Film dokumenter musik di luar bisa hidup karena selain cerita, juga mereka didukung oleh pemasaran yang telah dibangun lama. Skala keterkenalannya pun global,” ucap Shandy kepada Hypeabis.id.
Di Indonesia, kata Shandy, dokumenter kerap dibuat dengan alasan idealisme saja. Pasalnya, jika alasannya bisnis, saat ini masih terlalu sedikit contoh film dokumenter sukses secara komersial. Sebelum dokumenter Rossa dan Raisa muncul, lebih dari satu dekade lalu telah rilis film Noah: Awal Semula. Film tersebut mengisahkan perjalanan grup band Noah yang sebelumnya bernama Peterpan.
Menurut catatannya, saat ini dokumenter musik tersebut masih menjadi yang paling laku di Indonesia hingga hari ini. Namun, itu pun angka penontonnya masih di sekitar 60.000. Cukup jauh jika dibandingkan dengan film genre drama. Oleh karena itu, tak mengherankan jika film Harta Tahta Raisa juga kemarin hanya meraup sekitar 11.000 penonton.
Kini, pertaruhan di film dokumenter Rossa, apakah akan lebih baik atau justru tidak. “Ketika ditanya apakah perilisan dokumenter Raisa dan Rossa yang berdekatan ini menunjukkan akan ada tren, rasanya tidak. Perilisan film keduanya di waktu berdekatan hanyalah kebetulan belaka,” imbuhnya.
Menurut Shandy, sepanjang sejarah industri film Indonesia, baik eksibitor maupun penonton secara umum, terlihat belum terlalu ramah dengan kehadiran film dokumenter. Ini yang membuat film dengan format tersebut masih belum begitu masif.
Eksibitor selalu memberi jatah jadwal pemutaran yang sangat terbatas bagi dokumenter. Jika penonton antusias pun, mereka harus buru-buru pergi ke bioskop karena mungkin jaraknya jauh dari tempat tinggal mereka. Sebab, dokumenter kerap hanya diputar di tempat yang terbatas. Makanya, kesempatan film dokumenter untuk bertemu penonton amatlah kecil.
Menurut Shandy, saat ini industri dan pasarnya belum terlalu siap dengan film dokumenter, sekali pun itu mengangkat kisah penyanyi terkenal. “Bahkan, film-film konser musisi luar negeri pun, yang dibuat dengan skala produksi amat besar, ketika tayang di bioskop Indonesia selalu ditayangkan terbatas. Penontonnya tak pernah besar,” jelasnya.
Menurutnya, masih butuh waktu yang panjang dan dukungan dari ekosistem yang tepat agar genre ini bisa berkembang. Sebab, selama ini, Shandy merasa film dokumenter musisi di Indonesia kerap dibuat hanya untuk bersenang-senang saja.
Baca juga: Review Film Harta Tahta Raisa: Perjalanan Penuh Emosi dalam Mengejar Mimpi
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Hingga pertengahan tahun ini, setidaknya ada dua dokumenter musik yang dirilis. Pertama adalah film Harta Tahta Raisa produksi Imajinari. Film ini mengungkap kisah perjuangan Raisa di balik panggung, terutama ketika dia akhirnya menjadi penyanyi perempuan pertama yang bisa konser di Gelora Bung Karno.
Kedua, ada film All Access to Rossa 25 Shining Years. Film produksi Sinemaku Pictures ini mengangkat kisah Rossa dalam meniti karier di industri musik selama 25 tahun terakhir.
Baca juga: Cerita Rossa yang Ingin Terlihat Jujur Dalam Film Dokumenternya
Sebenarnya, ada satu film bertema musik juga yang dirilis tahun ini, yakni Glenn Fredly The Movie. Namun, film yang disutradarai Lukman Sardi itu memilih genre drama, bukan dokumenter.
Pengamat film nasional Shandy Gasella mengatakan film dokumenter musik tampak cukup baru di Indonesia, tetapi sudah lazim di luar negeri. Di beberapa negara besar, dari Amerika Serikat hingga Eropa, banyak sineas yang mengulik kehidupan figur musisi.
Di luar negeri, film-film yang mengangkat figur musisi cukup banyak dan konsisten dibuat. Konsep ini sudah cukup hidup dan tentu saja memiliki jumlah penikmat yang besar.
“Film dokumenter musik di luar bisa hidup karena selain cerita, juga mereka didukung oleh pemasaran yang telah dibangun lama. Skala keterkenalannya pun global,” ucap Shandy kepada Hypeabis.id.
Di Indonesia, kata Shandy, dokumenter kerap dibuat dengan alasan idealisme saja. Pasalnya, jika alasannya bisnis, saat ini masih terlalu sedikit contoh film dokumenter sukses secara komersial. Sebelum dokumenter Rossa dan Raisa muncul, lebih dari satu dekade lalu telah rilis film Noah: Awal Semula. Film tersebut mengisahkan perjalanan grup band Noah yang sebelumnya bernama Peterpan.
Menurut catatannya, saat ini dokumenter musik tersebut masih menjadi yang paling laku di Indonesia hingga hari ini. Namun, itu pun angka penontonnya masih di sekitar 60.000. Cukup jauh jika dibandingkan dengan film genre drama. Oleh karena itu, tak mengherankan jika film Harta Tahta Raisa juga kemarin hanya meraup sekitar 11.000 penonton.
Kini, pertaruhan di film dokumenter Rossa, apakah akan lebih baik atau justru tidak. “Ketika ditanya apakah perilisan dokumenter Raisa dan Rossa yang berdekatan ini menunjukkan akan ada tren, rasanya tidak. Perilisan film keduanya di waktu berdekatan hanyalah kebetulan belaka,” imbuhnya.
Butuh Waktu Konsep Film Dokumenter Berkembang
Menurut Shandy, sepanjang sejarah industri film Indonesia, baik eksibitor maupun penonton secara umum, terlihat belum terlalu ramah dengan kehadiran film dokumenter. Ini yang membuat film dengan format tersebut masih belum begitu masif.Eksibitor selalu memberi jatah jadwal pemutaran yang sangat terbatas bagi dokumenter. Jika penonton antusias pun, mereka harus buru-buru pergi ke bioskop karena mungkin jaraknya jauh dari tempat tinggal mereka. Sebab, dokumenter kerap hanya diputar di tempat yang terbatas. Makanya, kesempatan film dokumenter untuk bertemu penonton amatlah kecil.
Menurut Shandy, saat ini industri dan pasarnya belum terlalu siap dengan film dokumenter, sekali pun itu mengangkat kisah penyanyi terkenal. “Bahkan, film-film konser musisi luar negeri pun, yang dibuat dengan skala produksi amat besar, ketika tayang di bioskop Indonesia selalu ditayangkan terbatas. Penontonnya tak pernah besar,” jelasnya.
Menurutnya, masih butuh waktu yang panjang dan dukungan dari ekosistem yang tepat agar genre ini bisa berkembang. Sebab, selama ini, Shandy merasa film dokumenter musisi di Indonesia kerap dibuat hanya untuk bersenang-senang saja.
Baca juga: Review Film Harta Tahta Raisa: Perjalanan Penuh Emosi dalam Mengejar Mimpi
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.