Ilustrasi makan berlebihan (Sumber gambar: Helena Lopes/Unsplash)

Apa Itu Emotional Eating yang Disebut Sebagai Efek Stres & Depresi?

30 July 2024   |   08:13 WIB
Image
Indah Permata Hati Jurnalis Hypeabis.id

Dalam kehidupan, manusia tak bisa lepas dari situasi yang melibatkan emosi. Oleh karena itu, mengelola emosi sebagai elemen yang kompleks menjadi sangat penting, seperti mengelola rasa sedih, bahagia, takut, dan lainnya. Diperlukan waktu dan pemikiran yang tepat agar emosi dapat dikelola dengan baik.
 
Tanpa memahami emosi sendiri, manusia cenderung tak mampu menghadapi masalahnya. Akibatnya, bentuk pelarian dan penyembunyian dari masalah pun terjadi. Salah satunya melalui emotional eating. Dalam buku Eat Q: Unlock the Weight-Loss Power of Emotional Intelligence, psikolog klinis Susan Albers menjelaskan bahwa emotional eating adalah cara individu untuk mengatasi atau mengalihkan perhatian dari perasaan yang tidak nyaman.

Baca juga: Ajarkan Anak Kelola Emosi dengan 4 Cara Ini
 
Makan secara emosional ini tidak memiliki hubungan dengan kebutuhan fisik tubuh, melainkan respons manusia terhadap stres, rasa sepi, bahkan bosan. Untuk mengatasinya, diperlukan pengembangan kecerdasan emosional yang dimulai dari memahami masalah di balik pemicu makan tak terkontrol itu.
 
Emotional Healing and Emotional Eating Coach,
Nina Nikicio mengatakan bahwa makanan kerap menjadi pelarian emosional karena aksesnya yang mudah. Banyak dari kita mengaitkan makanan dengan perasaan bahagia seperti memakan kue pada saat ulang tahun atau permen ketika merasa sedih.

Menurut Nina, bagaimana kultur dan latar belakang keluarga sejak kecil juga membantu mewujudkan kebiasaan-kebiasaan hingga dewasa. “Ini menunjukkan bagaimana emosi kita bisa sangat terkait dengan makanan. Makanan tidak hanya memuaskan rasa lapar, tetapi juga memengaruhi suasana hati melalui berbagai indera rasa, aroma, dan tekstur,” kata Nina.
 
Oleh karena itu, penting untuk memahami bahwa pola makan bisa jadi cerminan dari perasaan yang dialami. Nina menjelaskan, langkah untuk melepas masalah ini dimulai dari menyadari dan mengakui.

Mengakui adanya masalah adalah langkah pertama untuk memperbaiki emotional eating. Menurutnya, saat manusia tak memahami dengan jelas tentang apa yang dirasakan, maka sulit untuk menemukan solusi yang tepat. 
 
“Jika kita terus menyangkal atau mengabaikan masalah, kita juga terus menggunakan makanan sebagai pelarian sementara. Bahayanya, siklusnya bisa enggak putus kalau terus menerus tidak sadar,” katanya.

Nina menyimpulkan bahwa kunci dari mengentaskan emotional eating adalah menyadari, mengakui, dan melepaskan.
 
Penyembuhan emosional adalah proses yang memerlukan waktu dan kesabaran. Saat kita mulai sadar dan mengakui masalah, Nina menyebut solusi akan datang perlahan. Dia juga menyarankan untuk menerapkan metode journaling dengan menuliskan perasaan secara detail dalam guratan buku. “Mengakui dan menerima emosi artinya kita membuka diri untuk proses penyembuhan,” tegasnya.

 
Dampak Kesehatan Fisik

Ilustrasi makan berlebihan (Sumber gambar: Artem Labunsky/Unsplash)

Ilustrasi makan berlebihan (Sumber gambar: Artem Labunsky/Unsplash)


Di antara banyaknya kasus makan karena perilaku emosional, tanpa disadari manusia bisa berujung pada masalah kesehatan fisik yang saling terkait. Bentuk pelarian dari masalah dengan cara banyak makan mengartikan manusia tak bisa mengontrol dirinya yang bisa menyebabkan masalah obesitas dan risiko penyakit.
 
Kasus gangguan kesehatan mental dan stres yang mendera anak muda juga beriringan dengan kenaikan kasus obesitas yang mencapai 28,7 persen di kalangan usia produktif mulai dari 18 tahun. Dokter Spesialis Gizi Klinik Bamed, Maryam menjelaskan bahwa naiknya prevalensi obesitas di seluruh dunia saat ini diakibatkan oleh multifaktor.
 
Oleh karena itu, dunia medis menerapkan berbagai tatalaksana untuk kasus-kasus obesitas. Salah satunya adalah dengan menggandeng praktisi kejiwaan agar bisa membantu proses emosional pasien.

Pasalnya, mereka akan melewati berbagai tantangan untuk mengubah gaya hidup secara keseluruhan, termasuk pola makan, beraktivitas fisik, bahkan jam tidur, dan manajemen stress. “Manusia memproduksi hormon ghrelin yang bisa meningkatkan rasa cepat lapar,” katanya.
 
Rasa cepat lapar atau craving ini juga berhubungan dengan sisi emosional dan psikologi manusia. Untuk itu, diperlukan pola hidup yang seimbang untuk mengatur keseimbangan antara kesehatan fisik dan jiwa dalam menjaga raga.

Baca juga: Kekerasan Emosional dalam Sebuah Hubungan, Sering Terjadi Tanpa Disadari

Maryam menjelaskan, manusia baiknya tak tergoda dengan rasa lapar yang dapat dilakukan dengan cara membuat jadwal yang sesuai dengan jam makan pada waktu-waktu tertentu. Misal pukul 08.00 untuk sarapan, pukul 12.00 untuk makan siang, pukul 19.00 untuk makan malam, serta membuat jadwal snacking terencana di antaranya.
 
Editor: Fajar Sidik 

SEBELUMNYA

Duh, Orang Indonesia Doyan Minuman Kemasan Berpemanis, Apa Dampaknya?

BERIKUTNYA

Sisi Lain Keindahan Danau Batur, Telaga Lepas di Timur Laut Ubud Bali

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: