SDM yang unggul penting agar Indonesia bisa bersaing dengan negara lain (Sumber gambar/ilustrasi: pexels/ Emily Ranquist)

Hypereport: Butuh Komitmen Membenahi Tata Kelola Pembiayaan Untuk Pendidikan Tinggi

29 July 2024   |   18:23 WIB
Image
Yudi Supriyanto Jurnalis Hypeabis.id

Pendidikan merupakan aspek penting bagi kehidupan manusia dan juga daya saing negara, di mana angka lulusan perguruan tinggi menjadi indikator utama. Sayangnya, biaya kuliah yang mahal menjadi salah satu 'tembok' yang membatasi akses warga dalam mengenyam pendidikan di dunia kampus.

Kondisi itu membuat banyak masyarakat tidak mampu menempuh perguruan tinggi lantaran faktor biaya. Kondisi mahalnya biaya pendidikan di jenjang perguruan tinggi ini pun harus segera dirumuskan solusinya.

Pemerintah dan para pemangku kebijakan di sektor terkait harus turun tangan dalam menerapkan tata kelola penyelenggaran pendidikan tinggi agar dapat diakses lebih luas oleh masyarakat dengan biaya yang terjangkau.

Baca juga: Hypereport: Cerita Inspiratif Sukses Kuliah di Universitas Terbaik Dunia dengan Beasiswa

Menurut Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia Cecep Darmawan, biaya pendidikan yang tinggi di jenjang perguruan tinggi dapat terjadi karena banyak faktor. Pertama, perhitungan biaya operasional yang belum komprehensif dibandingkan dengan skema pembiayaan perguruan tinggi negeri dari APBN.

Pada saat ini, dana APBN dari pemerintah belum memenuhi kebutuhan biaya operasional. Sebagai contoh, biaya operasional salah satu kampus perguruan tinggi negeri di Jakarta bisa mencapai triliunan rupiah per tahun.

Di satu sisi bantuan dari pemerintah untuk perguruan tinggi negeri masih relatif kecil. Di sisi lain, kampus juga mendapatkan tuntutan untuk menjadi lembaga perguruan tinggi kelas dunia atau world class university.

Kondisi tersebut membuat pengelola perguruan tinggi negeri memutar otak agar dapat memenuhi biaya operasional dan juga menjadi lembaga kelas dunia. Salah satu di antaranya menaikkan uang kuliah tunggal (UKT) yang harus dibayarkan oleh mahasiswa setiap semester.

Selain UKT, perguruan tinggi negeri juga kerap mencari pemasukan dengan cara lainnya yang legal, seperti dari hasil riset, inovasi, hak paten, dan sebagainya yang bisa menjadi income generating. Namun, dia melihat bahwa sejauh ini belum seluruh perguruan tinggi negeri mampu melakukannya dengan baik.

Dengan begitu, inflasi biaya pendidikan di perguruan tinggi yang terjadi tidak semata-mata karena faktor ekonomi, tapi bertumpu pada faktor kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah.

Dia menilai bahwa skema bantuan dari pemerintah merupakan cara agar inflasi biaya pendidikan di perguruan tinggi dapat terkendali. “Semakin besar [bantuan dari pemerintah], semakin baik,” ujarnya kepada Hypeabis.id.

Baca juga: Hypereport: Merancang Model Pinjaman Biaya Pendidikan Ideal di Indonesia

Pos angggaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 untuk fungsi pendidikan mencapai Rp665 triliun. Dari total itu, Kemendikbudristek hanya mendapatkan 15 persen atau sekitar Rp98 triliun. Dia mengingatkan, jumlah yang diperoleh kementerian itu juga hanya 3 persen dari total APBN secara keseluruhan.

Dia pun membenarkan bahwa kenyataan mahasiswa kesulitan dan terlambat membayar uang kuliah karena tingginya UKT yang harus dibayar. Untuk itu, dibutuhkan pemetaan yang komprehensif tentang masalah tersebut.

Cecep menilai bahwa ide awal penerapan UKT tidak jelek, lantaran mahasiswa akan membayar sesuai dengan kemampuan dan menggunakan hitungan yang berkeadlian. Orang tua dengan penghasilan tertentu akan membayar UKT dengan yang sesuai dengan rumusan yang ditetapkan.

UKT menciptakan klaster-klaster tertentu bagi mahasiswa sesuai dengan kemampuan ekonominya. Menurutnya, mahasiswa yang tidak mampu seharusnya hanya membayar uang kuliah yang lebih kecil jika dibandingkan dengan mahasiswa dari keluarga mampu.

Dia mengungkapkan bahwa kasus mahasiswa yang mengundurkan diri karena tidak mampu membayar UKT seharusnya tidak boleh terjadi. “Itu tanggung jawab perguruan tinggi,” katanya.

Mahasiswa yang benar-benar tidak mampu secara ekonomi masih memiliki banyak skema pendanaan dan bantuan. Dengan kata lain, perguruan tinggi harus kreatif dalam menyiapkan solusinya sehingga mahasiswa potensial yang berhasil masuk perguruan tinggi dapat menyelesaikan studinya hingga meraih gelar.


Polemik Pinjol Untuk UKT

Terkait skema pendanaan, dia mengingatkan bahwa pinjaman online bukanlah solusi, bahkan menyalahi aturan karena pinjaman itu berbunga mahal. Padahal, aturan menyebutkan bahwa pinjaman pendidikan tidak boleh berbunga.

Adapun, pemberi pinjaman uang kuliah, atau di berbagai negara disebut sebagai student loan, dapat diselenggarakan pemerintah atau pihak lain yang mendapat penjaminan dari pemerintah. Sementara itu, mahasiswa yang masuk dalam perguruan tinggi juga dapat memanfaatkan berbagai beasiswa yang tersedia.

Jadi, penyediaan biaya kuliah yang terjangkau menjadi tangung jawab negara agar lebih banyak lagi warga masyarakat yang dapat mengakses pendidikan di perguruan tinggi, sehingga lebih banyak lagi warga negata yang memiliki skill, keterampilan, dan wawasan dari lulusan kampus.

Baca juga: Hypereport: 7 Universitas di Dunia Tawarkan Beasiswa Penuh Kuliah & Biaya Hidup Gratis

Negara juga akan lebih cepat maju jika lebih banyak lagi warganya yang masuk kelompok sumber daya manusia (SDM) unggul. Pada saat ini, data anak-anak sekolah lanjutan tingkat atas yang masuk perguruan tinggi masih sangat rendah, yakni hanya 31 persen.

Kondisi itu berarti 69 persen anak Indonesia hanya lulus jenjang sekolah lanjutan tingkat atas (SMA), yang tidak menyenyam studi di perkuliahan. Sebagian di antaranya masuk ke dunia kerja, dan sebagian besarnya tidak bekerja.

Selain itu, dia mengungkapkan bahwa rata-rata lama sekolah masyarakat Indonesia secara keseluruhan hanya 8,7-8,8 tahun atau menjelang 9 tahun. Dengan begitu, masyarakat Indonesia kebanyakan hanya lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP) jika mengacu terhadap ratadata -rata pendidikan tersebut.

Menurutnya, Indonesia tidak akan mengalami perubahan jika tidak ada terobosan dalam kebijakan di sektor pedidikan. “Kalau belum ada terobosan kebijakan, kita begini-begini saja. Selalu tertinggal dan tersalip negara lain lebih memprioritaskan dalam menyiapkan SDM unggul,” tegasnya.

Cecep mendorong pemerintah agar dapat menaikkan angka rata-rata lama sekolah masyarakat. selain menggratiskan pendidikan jenjang sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, pemerintah juga perlu membuat pendidikan tingkat sekolah menengah atas (SMA) menjadi gratis.

Untuk memacu SDM unggul lulusan perguruan tinggi, daya tampung beasiswa kuliah pun harus diperbanyak agar angka partisipasi di pendidikan tinggi tidak terhambat masalah biaya kuliah. Tidak hanya itu, dia menilai bahwa politik anggaran yang berpihak dan kebijakan pendidikan yang konsisten juga menjadi faktor penting dalam meningkatkan rata-rata lama sekolah masyarakat Indonesia.


Butuh Perubahan Tata Kelola

Pada saat ini, kebijakan pemerintah terkait UKT menjadi perhatian banyak pihak. Pengamat pendidikan Indra Charismiadji menilai bahwa tugas pemerintah bukan jualan lantaran layanan pendidikan tidak diperdagangkan.

Para pengelola negara harus memahami bahwa mereka memiliki tugas untuk mencerdaskan bangsa, sehingga harus berpikir cara untuk melakukannya dan bukan sekadar punya kampus atau mengelolanya. “Ujungnya itu harus mencerdaskan bangsa,” kataya.

Selain itu, Pasal 26 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia mengatakan bahwa pendidikan adalah hak asasi. Dengan kata lain, pendidikan adalah hak yang melekat dalam diri manusia.

Dengan begitu, dia menilai bahwa akses terhadap pendidikan tinggi harus berdasarkan meritokrasi, sehingga mengacu kepada prestasi, kinerja, dan bukan finansial.

“Jadi kalau seperti kejadian sekarang di Indonesia, di mana hanya orang kaya yang bisa mengakses layanan pendidikan tinggi, ya sebetulnya pemerintah Indonesia sudah melanggar hak asasi manusia,” ujarnya.


Pada saat ini, dia mengatakan bahwa biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh keluarga untuk menyekolahkan anak di perguruan tinggi tidak sebanding dengan pendapatan per kapita banyak golongan masyarakat menengah Indonesia. Kondisi ini kerap membuat mereka kesulitan mengakses pendidikan tinggi. 

Dengan begitu, perubahan cara tata kelola dan pola pikir tentang layanan pendidikan di jenjang perguruan tinggi penting untuk mengatasi kenaikan biaya kuliah di dalam negeri.

Dia berharap bahwa pemimpin yang baru perlu memiliki kesadaran bahwa pembangunan manusia Indonesia harus dibenahi secara masif lantaran perbaikian yang diperlukan tidak bisa dilakukan sepotong-sepotong.

Political will dari pemerintah menjadi langkah pertama dan utama dalam melakukan pembenahan ini. Setelah itu, pemerintah mencari “penyakit” yang selama ini ada dalam pendidikan di Indonesia dan mengobatinya dengan tepat.

Baca juga: Hypereport: Dilema Kampus dalam Polemik UKT & Tuntutan Peningkatan Mutu Pendidikan

Dia menuturkan bahwa pada saat ini belum bisa dalam tahap menilai jika kekuragan anggaran untuk biaya pendidikan di dalam negeri. Menurutnya, bisa saja anggaran yang terjadi selama ini mengalam pemborosan sehingga biaya kuliah lebih mahal lantaran ada perguruan tinggi swasta yang memiliki uang kuliah lebih murah jika dibandingkan dengan perguruan tinggi negeri.

Meskipun begitu, dia menambahkan bahwa bukan berarti tidak menutup kemungkinan anggaran fungsi pendidikan sebesar 20 persen dari APBN tidak cukup setelah dipelajari. “Kita nanti berpikir ulang bagaimana polanya,” ujarnya.

Dia mengingatkan bahwa dampak biaya pendidikan yang mahal di jenjang perguruan tinggi akan membuat orang yang terdidik kian sedikit, tidak ada inovasi baru, riset, pengembangan ilmu pengetahuan, dan teknologi baru. “Akhirnya impian Indonesia emas menjadi Indonesia lemas,” katanya.

Editor: Fajar Sidik

SEBELUMNYA

Tapak Tilas Karier Robert Downey Jr. dengan Marvel, dari Miliarder Jenius Kini Jadi Supervillain

BERIKUTNYA

7 Penyebab Gagal Ginjal yang Sering Dianggap Remeh

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: