Ilustrasi keluarga dengan pola asuh yang tepat. (Sumber gambar: Freepik/Tirachardz)

Psikolog Bagikan Strategi Pola Asuh Efektif untuk Perkembangan Optimal Anak

29 July 2024   |   07:00 WIB
Image
Desyinta Nuraini Jurnalis Hypeabis.id

Pola asuh (parenting) sangat mempengaruhi aspek psikologis  dan perkembangan anak. Cara bagaimana orang tua maupun pengasuh memperlakukan, mendidik, membimbing, mendisiplinkan, serta melindungi ini memang tidak selalu sama dan kerap menyesuaikan kebutuhan zaman. 

Mungkin generasi X yang lahir pertengahan 1960an dan awal 1980an mayoritas mengalami pola asuh otoriter. Begitu pula generasi Y  yang lahir antara 1980 dan 1995 dan kerap disebut sebagai Milenial. Pola asuh ini menekankan aturan ketat dan harus dipatuhi saat mendidik anaknya. Namun, orang tua tidak menjelaskan alasan mengapa aturan tersebut wajib dilaksanakan.

Baca juga: 5 Dampak Negatif Eggshell Parenting untuk Tumbuh Kembang Anak

Anindya Dewi Paramita, psikolog Anak di Lenting dan psych.edu mengatakan sejatinya setiap pola asuh memiliki sisi positif dan negatif. Tetapi, ada dua hal dari pengasuhan yang penting diketahui dan diterapkan para orang tua. 

Pertama, yaitu komponen kehangatan atau kedekatan, terlepas dari teori maupun istilah parenting yang muncul di tengah masyarakat saat ini. Tidak jarang orang tua bisa ‘ngobrol’ dengan anaknya tetapi seakan jauh. Jika ada kehangatan, hal ini bisa memunculkan rasa dekat antara orang tua dan anak terutama saat berkomunikasi. 

Untuk membangun kedekatan ini, orang tua harus membiasakan interaksi dengan anaknya. Namun yang kerap kali menjadi kendala, orang tua bekerja dan membuat waktu bersama anak menjadi terbatas. Nah, pada situasi ini, orang tua perlu mengupayakan interaksi yang berkualitas di tengah kuantitas yang terbatas untuk membangun kehangatan dan kedekatan.

Hal kedua yang wajib diterapkan orang tua yakni kontrol terhadap anak. Bukan berarti ayah atau ibu melakukan kendali secara utuh, melainkan bisa menciptakan struktur, pola yang baik, dan rutinitas untuk anak agar bisa belajar banyak hal di rumah. 

Psikolog yang kerap disapa Mita ini menyampaikan bahwa struktur diperlukan agar anak, terutama yang masih balita maupun duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), bisa mengenal hidup teratur, punya aturan, dan mencari cara untuk mengikuti aturan tersebut. 

Ketika anak sudah terbiasa dengan struktur ini, mereka akan menerapkannya di luar rumah. Dengan adanya peran kontrol, orang tua bisa membentuk struktur dan rutinitas yang memang dibutuhkan sama anak dengan porsi sesuai.

“Kembali lagi, porsinya seberapa, biasanya nanti bisa dikawinkan dengan value yang dipegang orang tua. Bisa bicara dari sisi agama, nilai-nilai pegangan orang tua, kemudian dikawinkan jadi lah gaya pengasuhan,” jelas Mita kepada Hypeabis.id beberapa waktu lalu.

Mita berpendapat pola asuh juga sangat dipengaruhi oleh latar belakang keluarga, dan tidak bisa diterapkan sama persis antara orang tua satu dan lainnya. Lantas bagaimana jika orang tua tidak menerapkan pola asuh yang tepat?

Mita menerangkan nantinya ada kebutuhan anak yang tidak terpenuhi atau kebutuhan berkembang yang tidak terfasilitasi. Misal, orang tua terlalu otoriter, artinya semua sudah diatur, ditetapkan, dan wajib dipenuhi. Anak tidak punya kesempatan belajar mengemukakan pendapat dan mengekspresikan keinginan secara bebas. 

Pun bila terlalu memanjakan. Meski menjadi bentuk kasih sayang, anak yang terlalu manja kerap tidak bisa mengatasi tugas yang datang kepadanya dan justru menjadi masalah baru di ketika mereka ada di lingkungan sosial. 

“Jadi muncul masalah baru, bentuknya bisa masalah perilaku, masalah emosi, masalah kemandirian, dia kesulitan menyelesaikan masalah sehari-hari,” jelasnya. 

Menurut Mita, orang tua perlu menyesuaikan pola pengasuhannya dengan tahapan perkembangan anak, kebutuhan anak, dan nilai yang diterapkan. Perlu ada diskusi terbuka jika ternyata pola asuh yang diterapkan terbilang tidak tepat.

“Kalau enggak bisa dilakukan sendiri, ya bisa libatkan profesional. Sangat memungkinkan untuk bisa disesuaikan kembali dan dikalibrasi lagi antara orang tua, supaya jadi ketemu dan matching,” tambahnya.

Namun yang pasti, selaiknya orang tua harus membiasakan hadirnya komunikasi bersama anak. Selain itu, orang tua harus memberikan contoh yang baik di hadapan anaknya, terutama yang masih usia balita maupun batita karena mereka kerap meniru apa yang dilihatnya.


Waspada Mom Shaming

Sebanyak 72 persen ibu mengalami mom shaming dari keluarga dan orang terdekat. Hal ini terungkap dalam studi terbaru dari Health Collaborative Center (HCC) yang melibatkan 892 responden ibu dengan masa penelitian Maret-Mei 2024.

Mom shaming merupakan tindakan mengkritik atau mempermalukan seorang ibu terkait cara dia membesarkan anaknya. Hal ini memberikan dampak kesehatan menta, fisik, dan sosial ibu. 

Peneliti Utama dan Ketua HCC dr. Ray Wagiu Basrowi menyebut topik mom shaming paling utama yaitu terkait metode pengasuhan. Alhasil, sebanyak 60 persen ibu terpaksa mengganti pola asuh dan parenting mereka untuk mengikuti kritik dari pelaku mom shaming.

“Ibu yang mengalami mom shaming takluk dengan kritik dan mengorbankan pola asuh yang mungkin saja sudah baik [ideal],” ungkap Ray

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News

Editor: Nirmala Aninda

SEBELUMNYA

Cek Spesifikasi Mobil Listrik Terbaru Hyundai All-new Kona Electric

BERIKUTNYA

Rekomendasi Smart Door Lock Anti Bobol, Punya Fitur Alarm Sampai Pemantauan Jarak Jauh

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: