Waspada, Polusi Berdampak Negatif pada Kesehatan Mental
22 July 2024 |
22:30 WIB
Polusi udara di wilayah Jabodetabek kembali memburuk pada awal Juli 2024. Di jantung kota bisnis ini, konsentrasi PM2.5 yang tinggi mencapai 82 mikrometer/meter kubik (μg/m3) pada Jumat (5/7/2024) pukul 08.00 WIB. Konsentrasi tersebut membuat Jakarta berada pada tingkat kategori udara tidak sehat. Hal ini sempat menempatkan Jakarta kembali menduduki deretan kota paling berpolusi di dunia versi IQAir pada awal Juli lalu.
Dampak buruk dari polusi udara ini tidak hanya berdampak pada kesehatan fisik, terutama pada sistem pernapasan, tetapi juga berpotensi memengaruhi kesehatan mental masyarakat.
Baca juga: Anak Juga Bisa Stres, Cek Gejala & Cara Mengawal Kesehatan Mental Si Kecil
Psikolog Klinis A. Kasandra Putranto menyebutkan, polusi udara merupakan salah satu dari subfaktor lingkungan fisik yang menganggu kesehatan fisik dan mental sekaligus. “Lingkungan yang tidak sehat dan tidak nyaman inilah yang dapat berpengaruh juga pada kesehatan mental, termasuk menyebabkan tingkat stres yang tinggi,” kata Kasandra.
Menurut Kasandra, polusi yang cenderung terjadi di kota-kota besar bisa menjadi masalah krusial ketika keadaan seperti kebisingan dan kepadatan lalu lintas terjadi. Bahkan, kondisi tersebut bisa mendorong stres di kalangan masyarakat kota.
Karena kesehatan fisik dan mental sering terkait dan saling mempengaruhi, keduanya bisa menimbulkan dampak satu sama lain. Kasandra menjelaskan, misalnya dengan kesehatan mental yang buruk maka dampak negatif akan terjadi pada kesehatan fisik, pun dengan sebaliknya.
Selama ini, sosialisasi terkait bahaya polusi hanya menyentuh aspek kesehatan fisik. Padahal solusi yang mempengaruhi fisik bisa berujung pada kesehatan mental. Masih banyak yang belum menyadari bahwa kualitas udara yang buruk juga berhubungan dengan masalah kesehatan mental.
Sebuah studi yang diungkap dalam kolaborasi lembaga riset Nafas dan Halodoc menunjukkan bahwa peningkatan polusi PM2.5 sebesar 10 μg/m3 dapat meningkatkan risiko penyakit pernapasan hingga 34%. Lebih lanjut, penelitian yang diterbitkan di PubMed Central menunjukkan bahwa paparan polusi udara dapat mengurangi tingkat kebahagiaan seseorang dan meningkatkan gejala depresi. Studi lain dari jurnal Environmental Pollution menegaskan bahwa paparan jangka panjang terhadap PM2.5 berhubungan dengan peningkatan risiko depresi.
Sebagaimana diketahui, PM2.5 sendiri adalah partikel polusi udara yang sangat kecil dan berbahaya karena dapat langsung masuk ke dalam paru-paru tanpa disaring tubuh. Psikolog Halodoc Patricia Elfira Vinny menjelaskan, paparan polusi udara jangka panjang dapat menyebabkan gangguan kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, bahkan demensia.
Kalangan berisiko seperti anak-anak dan remaja perlu menjadi perhatian. Apabila mereka terus menerus terpapar polusi udara saat masa perkembangan, maka mereka bisa menjadi lebih rentan terhadap masalah kesehatan mental yang serius di masa depan.
Kondisi gangguan kesehatan mental dapat diperburuk dengan faktor-faktor psikososial, termasuk kemacetan dan polusi. Hal ini membuat masyarakat lebih rentan terhadap gangguan kesehatan mental yang menyebabkan stres. “Risiko ini akan menjadi jauh lebih mungkin dialami oleh masyarakat yang tinggal di kawasan metropolitan. Hal ini karena penduduk di kota metropolitan cenderung memiliki kondisi psikososial yang lebih kompleks,” kata Patricia.
Data dari Kementerian Kesehatan RI menunjukkan bahwa 1 dari 10 orang di Indonesia telah mengalami gangguan kesehatan mental. Gangguan kesehatan mental yang mungkin dialami masyarakat termasuk penurunan kemampuan berkonsentrasi, rasa tidak tenang, kesulitan membuat keputusan, dan gangguan tidur.
Studi dari National Bureau of Economic Research menunjukkan bahwa polusi udara juga dapat meningkatkan angka bunuh diri. Ditemukan data bahwa terjadi peningkatan 0,49% pada kasus bunuh diri harian setiap kenaikan 1 g/m3 PM2.5 harian.
Oleh karena tu, Patricia menekankan pentingnya untuk selalu memantau kondisi lingkungan, termasuk polusi udara agar masyarakat bisa mengambil tindakan lanjut dengan lebih tepat. Menjaga kesehatan fisik dengan menerapkan pola hidup sehat, memimalisir stres, dan menghindari kebiasaan yang dapat merugikan kesehatan juga perlu dilakukan untuk membuat kesehatan fisik dan mental berjalan seimbang.
Patricia juga menyarankan masyarakat untuk segera berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater jika seseorang merasakan gejala-gejala awal dari gangguan kesehatan mental, termasuk masyarakat perkotaan yang menjadi kelompok rentan.
Berkonsultasi penting dilakukan agar pasien mendapatkan diagnosis yang tepat dan penanganan yang sesuai, terutama di tengah kondisi lingkungan yang mempengaruhi kesehatan mental seperti polusi udara yang tinggi.
Baca juga: Warga Jabodetabek Berisiko Kena Masalah Mental Akibat Polusi Udara
Dengan meningkatnya kesadaran akan dampak polusi udara terhadap kesehatan fisik dan mental, diharapkan masyarakat dapat lebih proaktif dalam menjaga kesehatan mereka secara menyeluruh di tengah tantangan lingkungan yang semakin kompleks. Penyedia layanan medis juga diharapkan mampu memberikan akses yang lebih baik terhadap layanan kesehatan mental.
Editor: Fajar Sidik
Dampak buruk dari polusi udara ini tidak hanya berdampak pada kesehatan fisik, terutama pada sistem pernapasan, tetapi juga berpotensi memengaruhi kesehatan mental masyarakat.
Baca juga: Anak Juga Bisa Stres, Cek Gejala & Cara Mengawal Kesehatan Mental Si Kecil
Psikolog Klinis A. Kasandra Putranto menyebutkan, polusi udara merupakan salah satu dari subfaktor lingkungan fisik yang menganggu kesehatan fisik dan mental sekaligus. “Lingkungan yang tidak sehat dan tidak nyaman inilah yang dapat berpengaruh juga pada kesehatan mental, termasuk menyebabkan tingkat stres yang tinggi,” kata Kasandra.
Menurut Kasandra, polusi yang cenderung terjadi di kota-kota besar bisa menjadi masalah krusial ketika keadaan seperti kebisingan dan kepadatan lalu lintas terjadi. Bahkan, kondisi tersebut bisa mendorong stres di kalangan masyarakat kota.
Karena kesehatan fisik dan mental sering terkait dan saling mempengaruhi, keduanya bisa menimbulkan dampak satu sama lain. Kasandra menjelaskan, misalnya dengan kesehatan mental yang buruk maka dampak negatif akan terjadi pada kesehatan fisik, pun dengan sebaliknya.
Selama ini, sosialisasi terkait bahaya polusi hanya menyentuh aspek kesehatan fisik. Padahal solusi yang mempengaruhi fisik bisa berujung pada kesehatan mental. Masih banyak yang belum menyadari bahwa kualitas udara yang buruk juga berhubungan dengan masalah kesehatan mental.
Sebuah studi yang diungkap dalam kolaborasi lembaga riset Nafas dan Halodoc menunjukkan bahwa peningkatan polusi PM2.5 sebesar 10 μg/m3 dapat meningkatkan risiko penyakit pernapasan hingga 34%. Lebih lanjut, penelitian yang diterbitkan di PubMed Central menunjukkan bahwa paparan polusi udara dapat mengurangi tingkat kebahagiaan seseorang dan meningkatkan gejala depresi. Studi lain dari jurnal Environmental Pollution menegaskan bahwa paparan jangka panjang terhadap PM2.5 berhubungan dengan peningkatan risiko depresi.
Anak & Remaja Punya Risiko Besar
Ilustrasi anak (Sumber gambar: Atoms/Unsplash)
Kalangan berisiko seperti anak-anak dan remaja perlu menjadi perhatian. Apabila mereka terus menerus terpapar polusi udara saat masa perkembangan, maka mereka bisa menjadi lebih rentan terhadap masalah kesehatan mental yang serius di masa depan.
Kondisi gangguan kesehatan mental dapat diperburuk dengan faktor-faktor psikososial, termasuk kemacetan dan polusi. Hal ini membuat masyarakat lebih rentan terhadap gangguan kesehatan mental yang menyebabkan stres. “Risiko ini akan menjadi jauh lebih mungkin dialami oleh masyarakat yang tinggal di kawasan metropolitan. Hal ini karena penduduk di kota metropolitan cenderung memiliki kondisi psikososial yang lebih kompleks,” kata Patricia.
Data dari Kementerian Kesehatan RI menunjukkan bahwa 1 dari 10 orang di Indonesia telah mengalami gangguan kesehatan mental. Gangguan kesehatan mental yang mungkin dialami masyarakat termasuk penurunan kemampuan berkonsentrasi, rasa tidak tenang, kesulitan membuat keputusan, dan gangguan tidur.
Studi dari National Bureau of Economic Research menunjukkan bahwa polusi udara juga dapat meningkatkan angka bunuh diri. Ditemukan data bahwa terjadi peningkatan 0,49% pada kasus bunuh diri harian setiap kenaikan 1 g/m3 PM2.5 harian.
Oleh karena tu, Patricia menekankan pentingnya untuk selalu memantau kondisi lingkungan, termasuk polusi udara agar masyarakat bisa mengambil tindakan lanjut dengan lebih tepat. Menjaga kesehatan fisik dengan menerapkan pola hidup sehat, memimalisir stres, dan menghindari kebiasaan yang dapat merugikan kesehatan juga perlu dilakukan untuk membuat kesehatan fisik dan mental berjalan seimbang.
Patricia juga menyarankan masyarakat untuk segera berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater jika seseorang merasakan gejala-gejala awal dari gangguan kesehatan mental, termasuk masyarakat perkotaan yang menjadi kelompok rentan.
Berkonsultasi penting dilakukan agar pasien mendapatkan diagnosis yang tepat dan penanganan yang sesuai, terutama di tengah kondisi lingkungan yang mempengaruhi kesehatan mental seperti polusi udara yang tinggi.
Baca juga: Warga Jabodetabek Berisiko Kena Masalah Mental Akibat Polusi Udara
Dengan meningkatnya kesadaran akan dampak polusi udara terhadap kesehatan fisik dan mental, diharapkan masyarakat dapat lebih proaktif dalam menjaga kesehatan mereka secara menyeluruh di tengah tantangan lingkungan yang semakin kompleks. Penyedia layanan medis juga diharapkan mampu memberikan akses yang lebih baik terhadap layanan kesehatan mental.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.