Masyarakat Bali. (Sumber foto: Pexels/Danang DKW)

Sosiolog Minta Bali Benahi dan Perketat Pariwisata untuk Jaga Citra Wisata

15 July 2024   |   16:57 WIB
Image
Prasetyo Agung Ginanjar Jurnalis Hypeabis.id

Kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia terus meningkat seiring berkembangnya infrasruktur pariwisata di Tanah Air. Direktorat Jenderal Imigrasi mencatatkan kedatangan warga negara asing (WNA) sebanyak 5.086.765 orang sepanjang periode Januari-Juni 2024.

Artinya, jumlah tersebut meningkat sebanyak 7,28 persen dibandingkan periode yang sama di tahun 2023. Namun di tengah peningkatan kunjungan, sejumlah daerah juga menghadapi masalah ketika nilai-nilai budaya lokal diabaikan oleh para turis asing, khususnya di Bali. 

Baca juga: Ini Syarat agar Target 17 Juta Kunjungan Turis Asing pada 2024 Tercapai

Beberapa waktu terakhir, para investor juga banyak yang mengembangkan tempat wisata tanpa memperhatikan budaya lokal. Padahal, tombak wisata harusnya tetap mengedepankan budaya lokal untuk dapat terus menarik minat wisatawan, terutama mancanegara. 

Sosiolog Universitas Nasional, Sigit Rochadi, menuturkan dampak sosial ekonomi terhadap pariwisata terjadi tidak hanya di Indonesia saja, tetapi juga luar negeri. Belum lama ini misalnya, masyarakat Barcelona mulai mengusir turis asing karena negara tersebut sudah mulai overtourism atau kelebihan turis.

Indonesia, khususnya Bali memang belum menghadapi persoalan serumit negara-negara maju seperti Spanyol, Portugal, Perancis. Namun, kehadiran para wisatawan yang datang ke sana justru kerap merusak nilai-nilai budaya masyarakat Bali, yang mengandalkan wisata religi dan wisata budaya.

Menurut Sigit, rusaknya citra wisata Bali bukan hanya dari kejahatan atau kriminalitas seperti narkoba, prostitusi, atau overstay. Melainkan para wisatawan asing yang membuat konten di media sosial mereka yang cenderung menunjukkan terjadinya dekadensi moralitas masyarakat setempat.

Sigit menjelaskan, jika kejadian ini terjadi terus-menerus, maka nilai-nilai budaya yang selama ini menjadi 'jualan' masyarakat Bali semakin tergerus. Bahkan, tak jarang wisatawan asing juga memasuki tempat-tempat yang dianggap sakral, tanpa mau mengenakan atribut-atribut masyarakat setempat.

"Mereka juga sering diving di tempat-tempat yang dianggap sakral, sehingga terjadi kecelakaan atau peristiwa-peristiwa yang tidak diinginkan. Jadi, otoritas Bali harus menegakkan aturan tersebut,"katanya.

Terkait wisatawan yang tidak berkualitas, momen tersebut biasanya terjadi secara musiman. Salah satunya dari wisatawan asal Australia, yang pada bulan-bulan tertentu cenderung tinggal di Bali dalam waktu lama. Ihwal kedatangan mereka selain berlibur, juga untuk menghindari tingginya biaya hidup di negara asal.

"Ini biasanya dilakukan dengan tidak menyewa tempat tinggal yang layak. Jadi mereka rela tidur di tempat-tempat seadanya. Nah, ini juga merusak pemandangan, merusak ketertiban, merusak lingkungan pariwisata Bali," imbuhnya.

Otoritas Bali menurutnya memiliki pekerjaan berat. Sebab, mayoritas wisatawan yang datang ke Bali cenderung menjadikan Indonesia sebagai pariwisata yang bebas dengan konsep '4S' yakni Sun, Sea, Sand, and Sex. Di sinilah menurut Sigit perlu dilakukan tindakan tegas tanpa merasa takut apakah mereka akan datang lagi atau tidak ke Bali.

Sigit menjelaskan, masyarakat di Bali sebenarnya memiliki linearitas aturan tertulis dan tidak tertulis. Hanya saja, saat ini banyak orang Indonesia datang dan mencari pendapatan di sana tetapi tidak tahu tentang budaya Bali. Oleh karena itu konsep tentang banjar dinas dan banjar adat perlu lagi ditinjau ulang.

Sementara itu, dari segi investasi, para investor menurut Sigit juga hanya melihat pariwisata Bali dari dari perspektif ekonomi semata. Alih-alih mengedepankan tradisi masyarakat lokal, mereka justru membangun restoran, hunian, hingga cafe tapa melihat hukum adat atau awik-awik yang ada di Bali.

Penyebab kejadian ini menurutnya kerap terjadi di daerah banjar dinas yang pengawasannya kurang, karena didominasi warga pendatang.  Dari sinilah para investor akhirnya dengan leluasa dapat mendirikan bangunan atau menebang pohon yang dianggap sakral oleh masyarakat setempat.

"Jadi aturan tetap harus ditegakkan, baik aturan tertulis maupun aturan tidak tertulis, khususnya yang berkaitan dengan menjaga keluhungan nilai-nilai budaya masyarakat Bali," jelasnya.

Baca juga: Ibu Kota Pindah ke IKN, Pariwisata Jakarta Perlu Rebranding

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News

Editor: Nirmala Aninda

SEBELUMNYA

Tren Olahraga Panahan, dari Prestasi hingga Rekreasi dan Gaya Hidup

BERIKUTNYA

Studi: Game Bikin Pelajaran Matematika & Statistik Lebih Mudah Dipahami 

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: