Cek 5 Karya Perlawanan 'Terakhir' Sanggar Bumi Tarung dalam Pameran Sampai Batas Tarung
Menjadi pameran ke-5, ekshibisi ini diperkirakan bakal menjadi pameran terakhir Sanggar Bumi Tarung. Sebab, sebagian besar pelukis anggota sanggar berhaluan kiri itu sudah meninggal. Kini, Sanggar Bumi Tarung hanya menyisakan dua anggota, yakni Misbach Tamrin (83), dan Gumelar (81).
Sanggar Bumi Tarung merupakan sebuah komunitas perupa yang didirikan pada 1961 di Gampingan, Yogyakarta. Para anggotanya terdiri dari mahasiswa-mahasiswa ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia), seperti Amrus Natalsya, Misbach Tamrin, Djoko Pekik, NG Sembiring, Isa Hassanda, dan perupa lainnya.
Baca juga: Pameran Seni Sanggar Bumi Tarung Resmi Dibuka di Galeri Nasional
Secara organisasi, Sanggar Bumi Tarung disebut berkaitan dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Oleh karena itu, setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965, anggota-anggota sanggar tersebut ditangkap dan dipenjarakan karena dianggap terkait dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Sesuai dengan ideologi yang mereka yakini, mayoritas karya pelukis anggota sanggar itu bercorak realis, dan mengisahkan tentang rakyat kecil yang terpinggirkan. Sebelum berkarya, para anggota Sanggar Bumi Tarung kerap melakukan metode turun ke bawah (turba) untuk melihat secara langsung kondisi masyarakat.
"Amrus Natalsya sebagai pendiri Sanggar Bumi Tarung pernah mengatakan pada saya setelah [kami] bebas dari tahanan. Kalau kawan-kawan tidak melukiskan pengalaman penderitaan [rakyat] pada masa rezim orde baru, lebih baik jadi kambing saja," kata Misbach Tamrin.
Lantas, seperti apa saja karya-karya pada pameran 'terakhir' Sanggar Bumi Tarung di Galeri Nasional Indonesia? Dihimpun Hypeabis.id selama mengunjungi pameran, berikut 5 di antaranya yang pantang untuk dilewatkan.
1. Diskusi dalam Sanggar Bumi Tarung
Karya Diskusi dalam Bumi Tarung (cat minyak pada kanvas, 150x200 cm) (sumber gambar: Hypeabis.id/Prasetyo Agung Ginanjar)
Keunikan lain dari lukisan ini adalah adanya latar belakang karya-karya dari anggota sanggar yang mewarnai sejarah seni rupa Indonesia. Beberapa di antaranya seperti lukisan Berburu Celeng (1998) dari Djoko Pekik, lukisan Peristiwa Jengkol (1961) karya Amrus Natalsya, dan potret-potret peristiwa keseharian masyarakat yang dilukis oleh mereka.
2. Perkampungan Petani
Perkampungan Petani merupakan lukisan kayu karya Amrus Natalsya. Namun, alih-alih hanya melukis, dalam karya berdimensi 84x245 cm itu, Amrus juga memahat kayu tersebut sehingga menghadirkan relief yang unik, yaitu menggambarkan suasana di pedesaan dengan suasana yang guyub, dan masyarakat saling bergotong royong.Lukisan kayu Perkampungan Petani karya Amrus Natalsya (sumber gambar: Hypeabis.id/Prasetyo Agung Ginanjar)
Dari era pengkaryaan, lukisan kayu Amrus dimulai pada 1973 setelah dia bebas dari penjara. Ihwal pembuatan karya ini terjadi saat karya-karya patung dan lukisannya takut dikoleksi publik lantaran berstatus sebagai eks tapol. Namun, di sinilah Amrus justru menemukan ciri khas karya-karya lukisannya yang bergaya pecinan.
3. Kerja dan Matahari
Kerja dan Matahari merupakan karya Misbach yang menggambarkan kegiatan para tahanan politik saat dipaksa membangun jalan di Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan. Dibuat pada 2016, lukisan menggunakan media cat minyak pada kanvas berukuran 100x140 cm itu menampilkan kenangannya saat menjadi tapol selama 13 tahun tanpa pengadilan.Karya berjudul Kerja dan Matahari (cat minyak pada kanvas, 100x140 cm, 2016) (sumber gambar: Hypeabis.id/Prasetyo Agung Ginanjar)
"Setelah itu saya lebih banyak diminta untuk membuat karya-karya yang nantinya dijual keluar. Hasilnya dibagi antara aparat yang menahan kami dengan saya, untuk beli gula, rokok, dan sebagainya," katanya.
4. Pasar Ikan di Pantai
Karya Amrus Natalsya berjudul Pasar Ikan di Pantai (cat minyak pada kanvas, 130x190 cm, 2020) (sumber gambar: Hypeabis.id/Prasetyo Agung Ginanjar)
Selama hidupnya (1933-2024), Amrus memang banyak menggambar suasana kerakyatan, khususnya lukisan yang bertema pasar. Beberapa di antaranya adalah Pasar di Pantai (2010) yang dibuat menggunakan teknik tatah di atas kayu, kemudian Pasar di Tepi kali Cisadane (2004), Pasar Jembatan Besi (2005), dan masih banyak lagi.
5. Pak Moyo Berkisah di Bawah Purnama
Ini merupakan lukisan karya Misbach Tamrin saat melakukan aksi turba di Pantai Trisik, Kulon Progo, Yogyakarta pada 1963. Saat itu, dia datang bersama seniman-seniman sesama anggota Sanggar Bumi Tarung untuk mencerap secara langsung apa yang terjadi di masyarakat, untuk kemudian dibuat sebagai inspirasi karya.Lukisan berjudul Pak Moyo Berkisah di Bawah Purnama. (sumber gambar: Hypeabis.id/Prasetyo Agung Ginanjar)
Baca juga: Pameran Betawi Punyé Gayé Bakal Hadirkan Lukisan Pergumulan Budaya di Jakarta
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.