Ancam Kebebasan Berpendapat, Pengamat Minta RUU Penyiaran Direvisi
22 June 2024 |
14:30 WIB
Revisi Undang-Undang Penyiaran menyulut kegaduhan dalam beberapa waktu terakhir. Jika disahkan regulasi ini tidak hanya dinilai mengancam kebebasan pers, melainkan juga para pekerja di sektor kreatif seperti industri perfilman, kesenian, hingga konten kreator.
Selain membatasi informasi publik, draf rancangan Undang-undang ini ditengarai kan membatasi keberagaman konten di ruang digital. Salah satunya adalah pasal 50 B Ayat (2) dalam RUU Penyiaran dinilai akan mengancam kebebasan pers.
Dalam pasal tersebut dimuat Standar Isi Siaran (SIS) yang salah satu poinnya adalah huruf c, yang melarang penayangan eksklusif jurnalisme investigasi. Namun, pelarangan ini tumpang tindih dengan Pasal 4q UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Baca Juga: Revisi UU Penyiaran Dinilai Mengancam Kreativitas Sineas
Manajer Advokasi Koalisi Seni, Hafez Gumay mengatakan, sejumlah pasal dalam draf revisi UU Penyiaran berpeluang mengancam kebebasan pekerja kreatif untuk berkarya. Terlebih, bagi mereka yang selama ini memilih platform digital sebagai kanal distribusi utama.
Koalisi Seni menemukan setidaknya tiga permasalahan utama dari RUU Penyiaran. Salah satunya adalah lahirnya lembaga sensor baru yang mengancam kebebasan seniman untuk berkarya akibat perluasan tugas dan wewenang dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Sebelumnya, UU Penyiaran 2002 mengatur tugas KPI sebagai lembaga pengawas yang berwenang untuk memberi sanksi administratif bagi lembaga penyiaran yang tidak mematuhi teguran KPI berdasarkan laporan masyarakat. Namun, dalam Pasal 1 angka 9 RUU Penyiaran yang baru, KPI didefinisikan sebagai lembaga yang tidak hanya memiliki tugas mengawasi, mengatur isi siaran dan konten siaran.
Selain itu, ada dua kewenangan KPI yang menurutnya berpotensi disalahgunakan untuk membungkam pekerja kreatif. Pertama, kewenangan KPI untuk menyusun dan menetapkan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Isi Siaran (SIS). Kedua, kewenangan KPI untuk mengeluarkan surat tanda lulus kelayakan isi siaran yang didasarkan pada P3 dan SIS.
"Dengan kata lain, KPI kini akan memiliki kewenangan untuk menentukan mana isi siaran yang dapat disiarkan dan tidak dapat disiarkan. Kewenangan baru ini akan membuat KPI menjadi lembaga sensor baru layaknya Lembaga Sensor Film (LSF) untuk perfilman," katanya.
Perluasan kewajiban sensor mandiri yang diterapkan pada platform digital, menurut Hafiz juga akan berdampak pada seniman yang karyanya mengeksplorasi tema yang tidak bisa diterima di radio dan televisi. Padahal, bila dibandingkan dengan radio dan televisi yang mengandalkan jam tayang, platform digital memiliki mekanisme untuk menyaring penonton.
Di samping itu, platform digital juga telah mencantumkan peringatan yang lebih spesifik dari sekadar kategori usia di awal tayangan. Beberapa di antaranya termasuk peringatan pemicu trauma terhadap adegan kekerasan dan peringatan terhadap kelompok difabel yang sensitif terhadap cahaya.
Melihat berbagai permasalahan tersebut, Hafiz menyarankan tiga usulan agar RUU Penyiaran dapat menjadi peraturan yang sejalan dengan semangat pemenuhan kebebasan berkesenian. Pertama, mengubah naskah RUU Penyiaran secara keseluruhan guna menghilangkan pengaturan anti kebebasan berkesenian dalam UU Penyiaran 2002.
Kedua, mengubah pendekatan sensor menjadi klasifikasi usia yang disertai peningkatan literasi penonton guna membentuk masyarakat yang dewasa dalam memilih dan menilai siaran yang layak. Ketiga, melibatkan seluruh pemangku kepentingan, termasuk seniman, dalam pembahasan RUU Penyiaran guna memastikan aturan yang dihasilkan ditujukan demi kepentingan publik.
Lebih lanjut dia menjelaskan, penyiaran sebagai salah satu kanal utama untuk mendistribusikan berbagai ekspresi dan ide pemikiran seharusnya juga bisa menjadi ruang komunikasi dan pertukaran gagasan yang sehat. "Penyiaran jangan sampai dikuasai oleh segelintir pihak guna menjadikannya sarana mengontrol opini masyarakat," katanya.
Baca Juga: Hypereport: Musik Pop & Kreativitas Musisi Muda Meraih Sorotan di Belantika Musik Digital
Editor: M. Taufikul Basari
Selain membatasi informasi publik, draf rancangan Undang-undang ini ditengarai kan membatasi keberagaman konten di ruang digital. Salah satunya adalah pasal 50 B Ayat (2) dalam RUU Penyiaran dinilai akan mengancam kebebasan pers.
Dalam pasal tersebut dimuat Standar Isi Siaran (SIS) yang salah satu poinnya adalah huruf c, yang melarang penayangan eksklusif jurnalisme investigasi. Namun, pelarangan ini tumpang tindih dengan Pasal 4q UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Baca Juga: Revisi UU Penyiaran Dinilai Mengancam Kreativitas Sineas
Manajer Advokasi Koalisi Seni, Hafez Gumay mengatakan, sejumlah pasal dalam draf revisi UU Penyiaran berpeluang mengancam kebebasan pekerja kreatif untuk berkarya. Terlebih, bagi mereka yang selama ini memilih platform digital sebagai kanal distribusi utama.
Koalisi Seni menemukan setidaknya tiga permasalahan utama dari RUU Penyiaran. Salah satunya adalah lahirnya lembaga sensor baru yang mengancam kebebasan seniman untuk berkarya akibat perluasan tugas dan wewenang dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Sebelumnya, UU Penyiaran 2002 mengatur tugas KPI sebagai lembaga pengawas yang berwenang untuk memberi sanksi administratif bagi lembaga penyiaran yang tidak mematuhi teguran KPI berdasarkan laporan masyarakat. Namun, dalam Pasal 1 angka 9 RUU Penyiaran yang baru, KPI didefinisikan sebagai lembaga yang tidak hanya memiliki tugas mengawasi, mengatur isi siaran dan konten siaran.
Selain itu, ada dua kewenangan KPI yang menurutnya berpotensi disalahgunakan untuk membungkam pekerja kreatif. Pertama, kewenangan KPI untuk menyusun dan menetapkan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Isi Siaran (SIS). Kedua, kewenangan KPI untuk mengeluarkan surat tanda lulus kelayakan isi siaran yang didasarkan pada P3 dan SIS.
"Dengan kata lain, KPI kini akan memiliki kewenangan untuk menentukan mana isi siaran yang dapat disiarkan dan tidak dapat disiarkan. Kewenangan baru ini akan membuat KPI menjadi lembaga sensor baru layaknya Lembaga Sensor Film (LSF) untuk perfilman," katanya.
Perlu Direvisi
Perluasan kewajiban sensor mandiri yang diterapkan pada platform digital, menurut Hafiz juga akan berdampak pada seniman yang karyanya mengeksplorasi tema yang tidak bisa diterima di radio dan televisi. Padahal, bila dibandingkan dengan radio dan televisi yang mengandalkan jam tayang, platform digital memiliki mekanisme untuk menyaring penonton.
Di samping itu, platform digital juga telah mencantumkan peringatan yang lebih spesifik dari sekadar kategori usia di awal tayangan. Beberapa di antaranya termasuk peringatan pemicu trauma terhadap adegan kekerasan dan peringatan terhadap kelompok difabel yang sensitif terhadap cahaya.
Melihat berbagai permasalahan tersebut, Hafiz menyarankan tiga usulan agar RUU Penyiaran dapat menjadi peraturan yang sejalan dengan semangat pemenuhan kebebasan berkesenian. Pertama, mengubah naskah RUU Penyiaran secara keseluruhan guna menghilangkan pengaturan anti kebebasan berkesenian dalam UU Penyiaran 2002.
Kedua, mengubah pendekatan sensor menjadi klasifikasi usia yang disertai peningkatan literasi penonton guna membentuk masyarakat yang dewasa dalam memilih dan menilai siaran yang layak. Ketiga, melibatkan seluruh pemangku kepentingan, termasuk seniman, dalam pembahasan RUU Penyiaran guna memastikan aturan yang dihasilkan ditujukan demi kepentingan publik.
Lebih lanjut dia menjelaskan, penyiaran sebagai salah satu kanal utama untuk mendistribusikan berbagai ekspresi dan ide pemikiran seharusnya juga bisa menjadi ruang komunikasi dan pertukaran gagasan yang sehat. "Penyiaran jangan sampai dikuasai oleh segelintir pihak guna menjadikannya sarana mengontrol opini masyarakat," katanya.
Baca Juga: Hypereport: Musik Pop & Kreativitas Musisi Muda Meraih Sorotan di Belantika Musik Digital
Editor: M. Taufikul Basari
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.