Ilustrasi pekerja seni. (Sumber gambar : Freepik)

Revisi UU Penyiaran Dinilai Mengancam Kreativitas Sineas

20 June 2024   |   09:00 WIB
Image
Desyinta Nuraini Jurnalis Hypeabis.id

Revisi UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menyulut kegaduhan dalam beberapa waktu terakhir. Regulasi ini dinilai tidak hanya mengancam kebebasan pers, namun juga kebebasan berkesenian. Termasuk mengancam kreativitas di sektor perfilman. 

Dalam revisi RUU Penyiaran, definisi penyiaran kini merambah ke ranah platform media digital, tidak menutup kemungkinan menyasar pada platform over the top (OTT). Perluasan sensor juga menjadi lebih spesifik dari sekadar kategori usia. 

Baca juga: Menilik Proses Kreatif di Balik Sinematografi Bawah Air Memukau ala Sineas Rich Rifici

Melalui revisi RUU Penyiaran ini, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pun menjadi lembaga yang ‘superior’ untuk menentukan laik atau tidaknya isi siaran dan konten siaran, termasuk di platform digital. Menurut kritikus film Hikmat Darmawan meluasnya definisi penyiaran dan wewenang KPI cenderung membatasi kreativitas pembuat konten, termasuk para sineas di industri perfilman.

“Bagi sineas merupakan tambahan pembatasan,” ujarnya kepada Hypeabis.id beberapa waktu lalu.

Pembatasan memang menjadi kebutuhan dalam pengelolaan negara, tetapi Hikmat berpendapat, pemerintah harus memberikan ruang pada respons yang demokratis. Bicara kreativitas kreator,  terkadang ada creative chaos dan memicu ketegangan. Namun selalu ada ruang dialog agar ketegangan itu tetap dalam koridor pertumbuhan masyarakat secara demokratik. 

Dia menyebut dahulu pernah ada pemberian standar dari pemerintah bahwa film yang dianggap wajah Indonesia adalah film bermutu. Adapun yang dianggap bermutu adalah film kultural dan edukatif. 

Tidak jauh berbeda dengan saat ini bahwa konten harus lebih edukatif ketimbang menghibur. Namun bicara penyiaran, selalu ada pengaturan yang lebih ketat di televisi ketimbang di bioskop, apalagi dalam konteks film festival. "Selalu ada ruang dialog untuk menegosiasikan batas-batas isi atau konten yang akan di disiarkan."

Hal ini menurutnya juga perlu dijamin pada ranah platform digital jikalau RUU penyiaran ini menjadi undang-undang. Kendati demikian, dia tidak sepakat jika melalui revisi RUU Penyiaran ini, KPI menjadi lembaga yang superbody dengan kewenangan sangat luas dan menyasar segala aspek secara detail.

“Hal itu bukan situasi yang sehat atau yang kita inginkan karena akan menghambat kemajuan budaya,” imbuhnya.

Hikmat khawatir beberapa pasal yang ada di RUU Penyiaran justru bertentangan dengan UU Pemajuan Budaya. Artinya regulasi tersebut tidak menghiraukan pemajuan budaya sesuai amanat undang-undang.

Rincian pasal yang memuat ‘dosa-dosa’ baru seperti dilarangnya tayangan memuat rokok, kekerasan, kebebasan berpolitik, eksploitasi manusia, tentu memengaruhi proses kreativitas sineas nantinya. Sebab, terkadang mereka harus menggambarkan fenomena ini untuk mencapai efek dramatik dalam film yang dibuat.

“KPI jadinya menegakkan sebuah nilai tertentu yang kemudian bahkan jadi tumpang tindih dengan lembaga-lembaga yang lain kalau terlalu besar, banyak, dan luas jangkauan kewenangannya,” tutur Hikmat.

Selain itu, dia menilai sejumlah isi revisi RUU Penyiaran sejatinya bisa diakomodasi di dalam aturan asosiasi atau kode etik, tidak perlu dibawa ke ranah undang-undang. Jika dipaksakan, beleid ini menjadi berlebihan dan bukan sebuah regulasi yang sehat. 

Ada banyak rincian yang diperlakukan sebagai sebuah norma yang mutlak. Akan menjadi repot nantinya karena nilai yang ada di masyarakat selalu berkembang dan perkembangan tersebut didorong oleh kemajuan seni budayanya, keberanian untuk berdialektika, serta bersedia untuk berproses dengan pandangan-pandangan yang berlawanan. 

Jika hanya satu nilai yang dijunjung tinggi, misal kekeluargaan yang konservatif, Hikmat menilai akan menjadi tidak seimbang dan merugikan kebudayaan. “Jadi stunting ya kebudayaan kita kalau terlalu begitu,” tegasnya.

Terkait menyasarnya siaran di ranah platform digital seperti OTT, Hikmat yang pernah terlibat dalam pelatihan KPI menilai agak sulit untuk diterapkan, kecuali platform tersebut buatan lokal. Akan menjadi problematik jikalau jangkauannya menyasar OTT asing seperti Netflix maupun Prime Video. 

Bukan bermaksud tunduk atau melindungi pengaruh budaya asing, tetapi kalau aturannya sangat general, bisa berujung pada bentuk pemaksaan dan penghilangan ruang negosiasi atau ruang tumbuh. “Ruang diplomasi juga jadinya disempitkan atau dihilangkan. Saya kira problem kalau harus ke OTT,” tambahnya. 

Sementara itu, CEO Anantarupa Ivan Chen menilai revisi RUU Penyiaran memang berdampak pada user generated content di platform OTT dan sejenisnya. Namun, tidak berdampak pada pembatasan kreativitas sineas maupun animator.  "Untuk jenis konten film yang bersifat hiburan, diatur rating system, sedangkan yang diatur RUU lebih kepada konten-konten bebas dan investigatif," tambahnya.

Baca juga: Refleksi Hari Film Nasional dari 3 Sineas: Ekosistem Mulai Ideal, Tapi Perlu Terus Berbenah

Editor: Dika Irawan

SEBELUMNYA

Genhype Wajib Coba, iOS 18 Beta 1 Siap Dinikmati Pengguna iPhone

BERIKUTNYA

AI Ubah Wajah Industri Musik, Anang Hermansyah Desak Regulasi dan Perlindungan Hak Cipta

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: