Review Buku Desi Anwar, Memaknai & Mencerna Fungsi Benda Lewat The Book of Everyday Things
03 June 2024 |
20:30 WIB
Manusia hidup dikelilingi oleh benda. Mungkin ratusan ribu atau jutaan jumlahnya ada di rumah kita baik yang terpakai, disimpan, dipajang, hingga yang terlupakan. Coba tengok arloji di pergelangan tangan, bantal yang menjadi sandaran kepala, tumpukan buku di rak, atau sikat gigi di kamar mandi, semua adalah benda yang kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Mungkin kamu hanya memandang benda-benda tersebut sebagai pelengkap kehidupan. Ada yang menawarkan solusi kemudahan atas masalah yang dihadapi, beberapa benda memiliki nilai dari perjalanan hidup, dan tidak sedikit sebagai alat untuk menunjukkan status sosial serta mendapatkan rasa puas. Tanpa sadar kita terus mengumpulkannya, beberapa terkadang dibuang jika sudah tidak terpakai, tetapi tidak sedikit pula yang tersimpan baik sengaja maupun tidak.
Bisa dikatakan, sejak dilahirkan hingga menjemput kematian, manusia sangat ketergantungan terhadap benda. Namun, pernahkah kalian memikirkan dari mana asalnya, siapa penciptanya, dan mengapa benda ini diciptakan? Benarkah benda-benda ini dibutuhkan, lalu, apakah kehadiran benda-benda ini akan menjadi masalah bagi keberlangsungan hidup manusia di masa depan?
Baca Juga: 8 Buku Sastra yang Menarik untuk Jadi Bahan Diskusi di Sekolah
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang dihadirkan Desi Anwar dalam buku terbarunya, The Book of Everyday Things. Buku ini cukup unik karena mengulas benda yang ada di sekitar hidupnya. Bukan hanya benda, namun juga hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia.
Sebagai contoh Bantal, yang menjadi bab kedua dari awal buku ini. Desi pernah berada dalam masa pencarian bantal sebagai investasi untuk tidur sehat dan nyenyak. Semua bantal dicoba, mulai dari bahan memory foam, bulu angsa, poliester, lateks bergaransi, hingga berisi mirip remukan kacang kenari yang diracik pakar bantal di Jepang dengan harga yang mahal.
Kendati demikian, ragam bantal yang dicobanya tidak juga membawa Desi ke dalam kualitas tidur yang sempurna. Jurnalis senior ini pun mulai bertanya-tanya sejak kapan bantal dan variannya ini tercipta, dan apakah manusia benar-benar membutuhkan bantal untuk tidur. Hingga pada kesimpulan, dia hanya butuh waktu untuk berbaring memejamkan mata, alih-alih meributkan kenyamanan benda di bawah kepala. Alhasil, pencarian bantal sempurna selama ini terbilang sia-sia dan hanya menjadi tumpukan barang, saksi dari pemborosan.
Pada bab lain, Desi mengulas tentang kematian. Desi menegaskan Things tidak selalu benda tetapi berkaitan dengan kehidupan manusia. Dari seluruh spesies yang ada di Bumi, hanya manusia yang memikirkan tentang kematian, setelah apa kehidupan kematian, atau kemana jiwa ini akan pergi setelah ajal menjemput. Padahal tidak ada yang tahu persis apa yang terjadi setelah kita meninggal.
Sama seperti hubungan dengan benda yang lahir dari imajinasi dan kesepakatan antara manusia satu dengan lainnya, konsep kematian menurutnya juga hadir dari hayalan tersebut. Memang kehidupan setelah kematian ditulis dalam berbagai kitab suci, tetapi tidak ada yang menjamin kapan kematian itu akan tiba karena kerap hadir tiba-tiba.
Ketimbang mengurusi masa di balik kematian, membuat resah dan takut, menurut Desi akan lebih baik untuk fokus menciptakan kehidupan yang bahagia dengan penuh petualangan dan kegembiraan.
Buku ini memang cukup unik. Bukan saja tema tentang benda dan hal-hal di sekitar kita yang diangkat dengan cukup menarik, Desi selalu memberi referensi tentang sejarahnya dan pesan pada akhir subjudul yang dibuatnya. Pesan ini akan membuat pembaca berpikir kembali tentang proses kreatif pembuatan hingga laiknya keberadaan di balik benda atau hal yang dibahasnya.
Desi pun tidak membatasi pembacanya dalam menarik kesimpulan setelah membaca buku ini. Apakah setelah membaca jadi terbesit untuk mengusung hidup minimalis atau lebih menghargai benda yang ada di sekitar kita, menurut Desi, manusia memiliki cara berpikir dan kreativitasnya masing-masing.
The Book of Everyday Things memiliki 30 subjudul yang dikemas dalam sampul eye catching didominasi orange dan hijau. Setiap bagian pun menampilkan ilustrasi berwarna serupa, menggambarkan tema yang akan dibahas. Meskipun tulisannya terbilang cukup rapat dan kecil, tetapi pembaca tetap terhanyut untuk menuntaskannya hingga akhir. Buku ini nantinya akan diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris.
Baca Juga: Resensi Buku Puisi Akhirnya Kita Seperti Dedaun, Abstraksi Yudhistira Massardi dalam Memaknai Hidup
Editor: M. Taufikul Basari
Mungkin kamu hanya memandang benda-benda tersebut sebagai pelengkap kehidupan. Ada yang menawarkan solusi kemudahan atas masalah yang dihadapi, beberapa benda memiliki nilai dari perjalanan hidup, dan tidak sedikit sebagai alat untuk menunjukkan status sosial serta mendapatkan rasa puas. Tanpa sadar kita terus mengumpulkannya, beberapa terkadang dibuang jika sudah tidak terpakai, tetapi tidak sedikit pula yang tersimpan baik sengaja maupun tidak.
Bisa dikatakan, sejak dilahirkan hingga menjemput kematian, manusia sangat ketergantungan terhadap benda. Namun, pernahkah kalian memikirkan dari mana asalnya, siapa penciptanya, dan mengapa benda ini diciptakan? Benarkah benda-benda ini dibutuhkan, lalu, apakah kehadiran benda-benda ini akan menjadi masalah bagi keberlangsungan hidup manusia di masa depan?
Baca Juga: 8 Buku Sastra yang Menarik untuk Jadi Bahan Diskusi di Sekolah
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang dihadirkan Desi Anwar dalam buku terbarunya, The Book of Everyday Things. Buku ini cukup unik karena mengulas benda yang ada di sekitar hidupnya. Bukan hanya benda, namun juga hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia.
Sebagai contoh Bantal, yang menjadi bab kedua dari awal buku ini. Desi pernah berada dalam masa pencarian bantal sebagai investasi untuk tidur sehat dan nyenyak. Semua bantal dicoba, mulai dari bahan memory foam, bulu angsa, poliester, lateks bergaransi, hingga berisi mirip remukan kacang kenari yang diracik pakar bantal di Jepang dengan harga yang mahal.
Kendati demikian, ragam bantal yang dicobanya tidak juga membawa Desi ke dalam kualitas tidur yang sempurna. Jurnalis senior ini pun mulai bertanya-tanya sejak kapan bantal dan variannya ini tercipta, dan apakah manusia benar-benar membutuhkan bantal untuk tidur. Hingga pada kesimpulan, dia hanya butuh waktu untuk berbaring memejamkan mata, alih-alih meributkan kenyamanan benda di bawah kepala. Alhasil, pencarian bantal sempurna selama ini terbilang sia-sia dan hanya menjadi tumpukan barang, saksi dari pemborosan.
Pada bab lain, Desi mengulas tentang kematian. Desi menegaskan Things tidak selalu benda tetapi berkaitan dengan kehidupan manusia. Dari seluruh spesies yang ada di Bumi, hanya manusia yang memikirkan tentang kematian, setelah apa kehidupan kematian, atau kemana jiwa ini akan pergi setelah ajal menjemput. Padahal tidak ada yang tahu persis apa yang terjadi setelah kita meninggal.
Sama seperti hubungan dengan benda yang lahir dari imajinasi dan kesepakatan antara manusia satu dengan lainnya, konsep kematian menurutnya juga hadir dari hayalan tersebut. Memang kehidupan setelah kematian ditulis dalam berbagai kitab suci, tetapi tidak ada yang menjamin kapan kematian itu akan tiba karena kerap hadir tiba-tiba.
Ketimbang mengurusi masa di balik kematian, membuat resah dan takut, menurut Desi akan lebih baik untuk fokus menciptakan kehidupan yang bahagia dengan penuh petualangan dan kegembiraan.
Buku ini memang cukup unik. Bukan saja tema tentang benda dan hal-hal di sekitar kita yang diangkat dengan cukup menarik, Desi selalu memberi referensi tentang sejarahnya dan pesan pada akhir subjudul yang dibuatnya. Pesan ini akan membuat pembaca berpikir kembali tentang proses kreatif pembuatan hingga laiknya keberadaan di balik benda atau hal yang dibahasnya.
Desi pun tidak membatasi pembacanya dalam menarik kesimpulan setelah membaca buku ini. Apakah setelah membaca jadi terbesit untuk mengusung hidup minimalis atau lebih menghargai benda yang ada di sekitar kita, menurut Desi, manusia memiliki cara berpikir dan kreativitasnya masing-masing.
The Book of Everyday Things memiliki 30 subjudul yang dikemas dalam sampul eye catching didominasi orange dan hijau. Setiap bagian pun menampilkan ilustrasi berwarna serupa, menggambarkan tema yang akan dibahas. Meskipun tulisannya terbilang cukup rapat dan kecil, tetapi pembaca tetap terhanyut untuk menuntaskannya hingga akhir. Buku ini nantinya akan diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris.
Data Buku
- Judul: The Book of Everyday Things
- Penulis: Desi Anwar
- Desain isi : Mohammad Taufiq
- Desain sampul dan ilustrasi : Mohammad Taufiq
- Penerjemah : Sofia Mansoor
- Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
- Tahun Terbit: 2024
- Jumlah Halaman: 300 halaman
- ISBN:978-602-06-7592-3
Baca Juga: Resensi Buku Puisi Akhirnya Kita Seperti Dedaun, Abstraksi Yudhistira Massardi dalam Memaknai Hidup
Editor: M. Taufikul Basari
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.