Mencari Kebahagiaan di Dunia Materialistis ala Desi Anwar
13 May 2024 |
21:50 WIB
Manusia seringkali terperangkap dalam ilusi kebebasan hidup. Meskipun seringkali merasa bebas, kenyataannya, keberlangsungan hidup manusia sangat bergantung pada berbagai aspek, baik fisik maupun materi. Presenter dan jurnalis senior, Desi Anwar, melihat ironi hidup materialistis manusia yang sebenarnya terkekang waktu.
Dia memperkenalkan pandangannya tentang esensi hidup manusia dan tantangannya. Lewat buku terbarunya, The Book of Everyday Things, Desi mengajak kita untuk merenung tentang keberadaan manusia dalam konteks ketergantungan pada materi dan pencarian tak berkesudahan terhadap kekayaan material.
Baca juga: Profil Desi Anwar: Berawal dari Iseng Kirim Lamaran ke RCTI hingga Mendirikan Metro TV
Dalam sesi chit-chat dengan Hypeabis.id beberapa waktu lalu, Desi Anwar menggambarkan sebuah paradoks yang mendasari keberadaan manusia: kehidupan mereka yang diyakini sebagai penuh kebebasan, ternyata sangat bergantung pada hal-hal fisik.
"Apa yang sebenarnya mendorong kita untuk bertahan hidup? Kebutuhan materialistis atau kerakusan kita? This is what my book is about," ujarnya, Rabu (8/5/2024).
Pengamatan Desi menyoroti bahwa manusia cenderung menciptakan sistem yang berorientasi pada materi. Hal ini terlihat dalam upaya manusia untuk memenuhi kebutuhan materialistis, yang seringkali mengungguli kebutuhan spiritual dan hubungan yang lebih dalam dengan alam. Akibatnya, masyarakat modern, terutama kelas menengah, cenderung terjerat dalam siklus konsumerisme yang tidak berkesudahan.
Dalam kajian lebih lanjut, Desi menggambarkan dampak negatif dari sifat tamak dan konsumerisme yang meluas. Rumah-rumah dipenuhi dengan barang-barang yang pada akhirnya menjadi sampah karena keinginan untuk memiliki hal paling baru, paling canggih, atau sekadar validasi sosial.
Keresahannya yang dituangkan dalam buku The Book of Everyday Things mengajak pembaca untuk merenungkan kembali hal sederhana dalam kehidupan sehari-hari yang sering terlupakan. Buku ini tidak hanya sekadar kumpulan gagasan, tetapi juga merupakan refleksi mendalam tentang esensi keberadaan manusia dalam dunia yang penuh dengan kesibukan dan sifat konsumerisme.
Melalui narasi yang ringan, dia membawa pembaca untuk grounding, melihat keindahan dalam momen-momen kecil dan hubungan yang autentik dengan orang-orang di sekitar kita. Buku ini juga menyoroti perubahan dalam cara manusia berinteraksi dengan dunia sekitarnya, terutama dengan berkembangnya teknologi.
Setiap objek dan keberadaannya dalam hidup mengingatkan kita akan pentingnya kembali mengakar pada hubungan yang lebih dalam dengan diri sendiri dan alam, serta menemukan keseimbangan antara kebutuhan material dan spiritual dalam hidup.
Dia merenungkan tentang keunikan manusia yang tampaknya menjadi satu-satunya makhluk di Bumi yang terjebak dalam siklus keserakahan, yang pada gilirannya membentuk cara hidup dan pola pikir yang sangat berbeda dari makhluk lainnya.
Desi juga menyoroti bahwa sementara manusia mungkin memiliki kapasitas otak yang lebih besar daripada makhluk hidup lainnya, kebutuhan dasar dan alamiah mereka tetap sama. Hanya saja, manifestasinya berubah seiring dengan evolusi budaya dan teknologi.
"Pada akhirnya kita hidup dengan sistem reward. Beramal baik supaya diberi ganjaran pahala, semuanya jadi transaksional. Hidup dengan reward system – untuk saya cara hidup ini sangat mengganggu," tuturnya.
Dalam refleksi yang dia tuangkan ke buku, Desi mengajak pembaca untuk mempertimbangkan kembali cara kita hidup. Dia mengingatkan betapa pentingnya menjaga keseimbangan antara kebutuhan material dan spiritual, serta kembali menghargai koneksi alami kita dengan dunia di sekitar kita.
Manusia sering kali terjebak dalam siklus kerja keras untuk meraih materi, tanpa memperhitungkan pentingnya menikmati momen-momen kebersamaan dengan orang-orang di sekitar mereka. Ketika fokus hidup tertuju pada akumulasi kekayaan dan keinginan yang tidak terbatas, manusia cenderung kehilangan koneksi dengan momen sekarang dan kebahagiaan yang sebenarnya.
Melalui buku ini, Desi mengajak kita untuk merenung, apa yang sebenarnya membuat kita bahagia. Apakah itu materi menumpuk di sudut rumah, ataukah kehadiran orang-orang terdekat yang membawa kehangatan dan kebersamaan dalam hidup kita? Dalam refleksi ini, ia menekankan bahwa kebahagiaan sejati tidak bisa diukur dari seberapa banyak barang yang dimiliki, tetapi dari kualitas hubungan yang kita bangun dengan orang-orang di sekitar kita.
Dengan demikian, pesan yang disampaikan menjadi suatu pengingat bahwa dalam menjalani hidup yang singkat ini, penting untuk menghargai setiap momen dan kebersamaan yang kita miliki. Hidup bukanlah sekadar tentang mencari materi, tetapi juga tentang menemukan kebahagiaan dalam kesederhanaan dan kehadiran orang-orang yang mencintai kita.
"Manusia lupa bahwa hidup itu singkat, tapi tertanam mindset bahwa kita akan hidup selamanya. Manusia jadi serakah dan tidak pernah merasa cukup hingga lupa untuk living in the present, jadi lupa untuk enjoy the moment," katanya.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Dia memperkenalkan pandangannya tentang esensi hidup manusia dan tantangannya. Lewat buku terbarunya, The Book of Everyday Things, Desi mengajak kita untuk merenung tentang keberadaan manusia dalam konteks ketergantungan pada materi dan pencarian tak berkesudahan terhadap kekayaan material.
Baca juga: Profil Desi Anwar: Berawal dari Iseng Kirim Lamaran ke RCTI hingga Mendirikan Metro TV
Dalam sesi chit-chat dengan Hypeabis.id beberapa waktu lalu, Desi Anwar menggambarkan sebuah paradoks yang mendasari keberadaan manusia: kehidupan mereka yang diyakini sebagai penuh kebebasan, ternyata sangat bergantung pada hal-hal fisik.
"Apa yang sebenarnya mendorong kita untuk bertahan hidup? Kebutuhan materialistis atau kerakusan kita? This is what my book is about," ujarnya, Rabu (8/5/2024).
Presenter dan jurnalis senior Desi Anwar saat sesi wawancara dengan Hypeabis.id. (Sumber foto: Hypeabis.id/Eusebio Chrysnamurti)
Dalam kajian lebih lanjut, Desi menggambarkan dampak negatif dari sifat tamak dan konsumerisme yang meluas. Rumah-rumah dipenuhi dengan barang-barang yang pada akhirnya menjadi sampah karena keinginan untuk memiliki hal paling baru, paling canggih, atau sekadar validasi sosial.
Keresahannya yang dituangkan dalam buku The Book of Everyday Things mengajak pembaca untuk merenungkan kembali hal sederhana dalam kehidupan sehari-hari yang sering terlupakan. Buku ini tidak hanya sekadar kumpulan gagasan, tetapi juga merupakan refleksi mendalam tentang esensi keberadaan manusia dalam dunia yang penuh dengan kesibukan dan sifat konsumerisme.
Melalui narasi yang ringan, dia membawa pembaca untuk grounding, melihat keindahan dalam momen-momen kecil dan hubungan yang autentik dengan orang-orang di sekitar kita. Buku ini juga menyoroti perubahan dalam cara manusia berinteraksi dengan dunia sekitarnya, terutama dengan berkembangnya teknologi.
Setiap objek dan keberadaannya dalam hidup mengingatkan kita akan pentingnya kembali mengakar pada hubungan yang lebih dalam dengan diri sendiri dan alam, serta menemukan keseimbangan antara kebutuhan material dan spiritual dalam hidup.
Dia merenungkan tentang keunikan manusia yang tampaknya menjadi satu-satunya makhluk di Bumi yang terjebak dalam siklus keserakahan, yang pada gilirannya membentuk cara hidup dan pola pikir yang sangat berbeda dari makhluk lainnya.
The Book of Everyday Things karangan Desi Anwar. (Sumber foto: Hypeabis.id/Eusebio Chrysnamurti)
Desi juga menyoroti bahwa sementara manusia mungkin memiliki kapasitas otak yang lebih besar daripada makhluk hidup lainnya, kebutuhan dasar dan alamiah mereka tetap sama. Hanya saja, manifestasinya berubah seiring dengan evolusi budaya dan teknologi.
"Pada akhirnya kita hidup dengan sistem reward. Beramal baik supaya diberi ganjaran pahala, semuanya jadi transaksional. Hidup dengan reward system – untuk saya cara hidup ini sangat mengganggu," tuturnya.
Dalam refleksi yang dia tuangkan ke buku, Desi mengajak pembaca untuk mempertimbangkan kembali cara kita hidup. Dia mengingatkan betapa pentingnya menjaga keseimbangan antara kebutuhan material dan spiritual, serta kembali menghargai koneksi alami kita dengan dunia di sekitar kita.
Manusia sering kali terjebak dalam siklus kerja keras untuk meraih materi, tanpa memperhitungkan pentingnya menikmati momen-momen kebersamaan dengan orang-orang di sekitar mereka. Ketika fokus hidup tertuju pada akumulasi kekayaan dan keinginan yang tidak terbatas, manusia cenderung kehilangan koneksi dengan momen sekarang dan kebahagiaan yang sebenarnya.
Melalui buku ini, Desi mengajak kita untuk merenung, apa yang sebenarnya membuat kita bahagia. Apakah itu materi menumpuk di sudut rumah, ataukah kehadiran orang-orang terdekat yang membawa kehangatan dan kebersamaan dalam hidup kita? Dalam refleksi ini, ia menekankan bahwa kebahagiaan sejati tidak bisa diukur dari seberapa banyak barang yang dimiliki, tetapi dari kualitas hubungan yang kita bangun dengan orang-orang di sekitar kita.
Dengan demikian, pesan yang disampaikan menjadi suatu pengingat bahwa dalam menjalani hidup yang singkat ini, penting untuk menghargai setiap momen dan kebersamaan yang kita miliki. Hidup bukanlah sekadar tentang mencari materi, tetapi juga tentang menemukan kebahagiaan dalam kesederhanaan dan kehadiran orang-orang yang mencintai kita.
"Manusia lupa bahwa hidup itu singkat, tapi tertanam mindset bahwa kita akan hidup selamanya. Manusia jadi serakah dan tidak pernah merasa cukup hingga lupa untuk living in the present, jadi lupa untuk enjoy the moment," katanya.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.