Ilustrasi buku-buku sastra. (Sumber gambar: Thought Catalog/Unsplash)

Begini Pro Kontra Soal Sastra Masuk Kurikulum Sekolah di Kalangan Sastrawan

25 May 2024   |   17:30 WIB
Image
Luke Andaresta Jurnalis Hypeabis.id

Sastra masuk ke Kurikulum Merdeka di sekolah memicu perdebatan di kalangan pegiat sastra. Hal ini dipicu oleh buku Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra yang diluncurkan oleh Kemendikbudristek RI. Diperlukan perencanaan dan implementasi yang serius dalam memasukkan sastra ke kurikulum pendidikan formal tersebut.

Baca juga: Rekomendasi 177 Buku Sastra Kemendikbud Tuai Kritik di Kalangan Penulis
 
Sastra Masuk Kurikulum merupakan program yang diinisiasi oleh Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan sejak 2023 dengan mengumpulkan beberapa sastrawan, akademisi, dan pendidik yang memiliki perhatian khusus terhadap pemanfaatan sastra dalam pembelajaran di sekolah.
 
Program ini dibuat oleh Kemendikbudristek RI guna memperkuat kompetensi dan budaya literasi pelajar dengan memakai buku sastra untuk meningkatkan minat baca, empati, kreativitas, dan nalar kritis sehingga siswa dapat menjadi pembaca kritis sekaligus reflektif. 
 
Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta Anton Kurnia menilai Sastra Masuk Kurikulum merupakan program yang bagus dari pemerintah untuk menghidupkan pengajaran sastra di kelas. Menurutnya, pemilihan kurator yang terlibat dalam proses kurasi daftar rujukan karya sastra untuk program tersebut juga mereprentasikan kalangan sastrawan dan akademisi dari latar belakang yang beragam.
 
Terlebih, daftar rujukan karya sastra yang dirilis juga mencantumkan buku-buku yang sempat dilarang untuk dibaca publik sejak rezim Orde Baru, salah satunya novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Menurut dia, hal ini bisa menjadi pembuka untuk upaya pemutihan pelarangan buku-buku sastra yang berkaitan dengan polemik politik pada masa lalu.
 
Hanya, dia menilai memang diperlukan landasan yang objektif yang diketahui publik terkait pemilihan sebanyak 177 buku sastra yang menjadi rujukan, serta penyempurnaan panduan penggunaan buku sastra dari program tersebut. Dia menambahkan bahwa terdapat sejumlah misinformasi yang tertulis dalam panduan tersebut, yang dinilai cukup fatal.
 
"Sebenarnya programnya bagus tapi sayangnya buku panduannya tidak dikerjakan dengan baik, karena ikut disusun oleh guru-guru yang tampaknya tidak betul-betul menguasai terkait sastra Indonesia saat ini. Menurut sebagian kurator, mereka tidak dilibatkan dalam penyusunan buku panduan, dan ini sangat fatal," katanya kepada Hypeabis.id, Sabtu (25/5/2024).
 
Sejumlah pihak menilai bahwa daftar rekomendasi buku sastra yang diluncurkan oleh pemerintah secara tidak langsung bisa melanggengkan budaya kanonisasi sastra. Artinya, dengan ukuran tertentu, sejumlah karya masuk dalam daftar rujukan, serta yang lainnya tidak dan rentan untuk terkesan didiskreditkan.
 
Anton menilai anggapan tersebut muncul lantaran tidak adanya penafian (disclaimer) dari para kurator untuk menjelaskan bahwa daftar rujukan tersebut dibuat bukan untuk memformalkan satu standar estetika tertentu. 
 
"Dalam pandangan saya, ini sebenarnya hanya semacam upaya untuk membantu para guru dan siswa mengetahui bacaan sastra yang baik dan tepat secara jenjang pendidikannya. Tapi memang mesti ada landasan objektifnya untuk menentukan itu," ucapnya.
 
Sementara itu, Budayawan Nirwan Dewanto menilai tidak ada yang baru dalam program Sastra Masuk Kurikulum yang dibuat oleh pemerintah, selain hanya melanjutkan program pengajaran sastra yang telah ada sebelumnya. Menurutnya, program ini justru hanya akan melanjutkan kesalahan yang sudah-sudah ditandai dengan panduan daftar rekomendasi buku sastra yang belum teruji sebagai bahan pedagogi.
 
Nirwan berpendapat pelajaran sastra akan menjadi penting ketika hal itu menjadi katakerja, bukan katabenda. Menurut dia, arti sastra yang paling fundamental ialah wacana. Maka bersastra, katanya, bagi para murid, sepantasnya ialah upaya mengungkapkan diri secara lisan dan tulisan, berpikir sebagai manusia merdeka. 
 
"Jalannya banyak, sangat tergantung kepada situasi murid dan guru, situasi yang sangat site-specific," katanya.
 
Selain itu, dia juga berpendapat kegiatan sastra semestinya ialah kegiatan pilihan, sedangkan yang utama ialah kegiatan berbahasa dan berwacana. Menganggap buku-buku sastra itu penting bagi semua murid, katanya, seperti halnya memaksa semua siswa untuk belajar sesuatu hal yang belum tentu memang dia sukai dan ingin tekuni.
 
"Yang wajib itu adalah kemampuan menyatakan diri, menulis dan berpendapat, bukan membaca buku bikinan sastrawan. Saya percaya bahwa beberapa murid, ada banyak jumlahnya, bisa menjadi penulis dan pemikir tangguh, bukan dengan keharusan membaca ini dan itu," imbuhnya.
 
Nirwan juga menyinggung buku Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra yang hadir setebal hampir 800 halaman untuk menjadi acuan program Sastra Masuk Kurikulum. Menurutnya, buku panduan itu justru rentan menjadi beban bagi para guru dan murid, lantaran harus memilih buku bacaan dengan kandungan informasi yang buruk dan disinformasi yang hampir tersengaja.
 
Dia pun menyayangkan sikap pemerintah yang memulai program Sastra Masuk Kurikulum secara sangat populistis, yakni satu metode untuk semua sekolah, guru, dan murid di seluruh Indonesia. Sebaliknya, dia justru berharap program ini bisa diuji coba terlebih dahulu sebelum diimplementasikan ke semua sekolah.
 
"Kenapa cita-cita yang semulia dan beban kurikulum yang seberat itu tidak dicobakan dulu di beberapa sekolah percontohan, dan kemudian dievaluasi dulu hasilnya? Tapi ya, begitulah, buku Panduan Penggunaan Rekomendasi Sastra itu tiba-tiba saja diluncurkan pada Senin 20 Mei 2024, dengan meriah, jumawa, tanpa kehati-hatian, tanpa pemeriksaan," imbuhnya.

Sebelumnya, Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan, Anindito Aditomo, mengatakan karya sastra adalah media pembelajaran yang sangat potensial. Karya sastra, katanya, mengundang pembaca untuk menghayati dunia batin tokoh-tokoh yang melihat dan mengalami sesuatu dengan caranya masing-masing.
 
"Karya-karya sastra terbaik juga mengupas isu-isu kompleks dan menyajikan perdebatan moral yang mendorong pembaca keluar dari pemikiran hitam-putih, dan memikirkan ulang opini serta prasangka-prasangka yang mungkin tak disadari sebelumnya," katanya.

Anindito menambahkan agar murid mendapat pengalaman transformatif, tidak cukup meminta mereka sekadar membaca karya sastra. Mereka juga perlu mendiskusikan dan memperdebatkan beragam tafsir terhadap sebuah karya. Mereka perlu dipandu mengubah tafsir yang mereka pilih ke wahana yang berbeda, dari prosa ke puisi atau sebaliknya; dari teks menjadi gambar, drama, atau film; serta dari fiksi menjadi kritik sastra atau karya ilmiah.
 
"Model pembelajaran seperti ini terbuka lebar di Kurikulum Merdeka. Harapan saya, suatu saat nanti penggunaan karya sastra menjadi bagian normal dari pembelajaran di sekolah seluruh Indonesia, sehingga melahirkan generasi baru pembaca sastra yang kritis dan reflektif," imbuhnya.

Seiring dengan peresmian tersebut, Kemendikbudristek RI juga telah merilis buku Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra yang berisikan panduan untuk membantu pendidik dalam mengimplementasi pemanfaatan buku sastra di kelas. Termasuk, panduan menyiapkan diri untuk dapat membawa pengalaman bersastra di sekolah. 

Baca juga: 8 Buku Sastra yang Menarik untuk Jadi Bahan Diskusi di Sekolah
 
Selain itu, panduan tersebut juga berisikan daftar rekomendasi buku untuk menjadi pertimbangan bagi para pendidik dalam memilih buku sastra agar sesuai dengan kebutuhan peserta didik, mulai dari jenjang pendidikan dasar hingga pendidikan menengah. Sebanyak 177 buku telah dipilih sebagai rekomendasi oleh tim kurator yang terdiri dari penulis serta akademisi, seperti Eka Kurniawan, Okky Puspa Madasari, dan Zen Hae. 

Editor: Fajar Sidik 

SEBELUMNYA

Ada Banyak Spot Foto Instagramable di Java Jazz Festival 2024

BERIKUTNYA

Ananda Badudu Sihir Penonton BNI Java Jazz Festival 2024 dengan Lagu-Lagu Banda Neira 

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: