Refleksi Kompleksitas Budaya yang Dinamis Tersaji dalam Pameran Tunggal Sasya Tranggono
27 May 2024 |
08:58 WIB
Lukisan Last Supper #3 dengan medium mixed media on paper berukuran 113 x 200 cm karya dari seniman Sasya Tranggono terpampang di salah satu sudut PITA Showroom, Sequis Center Building, Jakarta. Karya reflektif dalam pameran bertajuk From Jakarta With Love yang digelar hingga 15 Juni 2024 itu menjadi salah satu pusat perhatian banyak pengunjung.
Ketika berbicara mengenai karya lukisan tentang perjamuan terakhir, banyak ingatan orang langsung menuju ke karya Leonardo Da Vinci. Last Supper dari sang seniman menjadi yang paling terkenal di dunia sampai saat ini.
Baca juga: Hilang Satu Abad, Lukisan Portrait of Miss Lieser Karya Gustav Klimt Ditemukan di Wina
Ketenarannya mengundang sejumlah seniman untuk membuat karya tentang perjamuan terakhir dalam versi yang berbeda. Nama-nama seperti Andy Warhol, Gregory Crewdson, dan Banksy tercatat pernah membuatnya.
Meskipun memiliki judul dan tema yang sama, lukisan Last Supper #3 akan mengingatkan banyak orang terhadap seniman Sasya Tranggono. Salah satu alasannya adalah penggunaan unsur keindonesiaan dalam karya tersebut, yakni wayang.
Sasya mengubah sosok-sosok dalam karya perjamuan terkahir dengan karakter-karakter wayang. Ya, wayang sudah menjadi trademark dari seniman yang lahir pada 1963 itu.
Wayang adalah objek yang akan ditemukan dalam setiap karya Sasya. Last Supper #3 hanya satu di antaranya. Bukan tanpa alasan, bagi Sasya, penyematan wayang dalam setiap karya yang dihasilkan tidak sekadar untuk keindahan visual saja.
Wanita seniman kelahiran Jakarta itu memiliki misi yang lebih besar, yakni memperkenalkan budaya Indonesia kepada generasi muda pada saat ini. Dia mengungkapkan tidak ingin para penerus bangsa ini tidak mengenal wayang atau batik.
Sasya mengungkapkan bahwa objek wayang juga akan ada dalam karya-karya pada masa yang akan datang dengan gaya yang lebih baru. Wanita yang pernah tinggal di luar negeri selama 13 tahun itu menggunakan wayang sebagai pengingat Indonesia.
“Legacy-nya tidak boleh dilupakan. Anak-anak muda harus kenal. Masa enggak ngerti [Kenal] wayang, masa enggak ngerti [Kenal] batik,” ujarnya.
Bagi CEO SenyuMuseum Wilbert Jonathan Deil, seri dengan objek wayang merepresentasikan sang seniman sebagai orang Indonesia. Dia mengungkapkan, wanita yang pernah mengenyam pendidikan teknik d New York, Amerika Serikat itu tidak sekadar menghadirkan gambaran visual akan warisan budaya leluhurnya dalam seri karya yang menampilkan wayang.
Lebih dari itu, karya dengan objek wayang juga memberikan gambaran cara budaya tradisional dapat berpadu dengan konteks modernitas. Penggunaan figur wayang menjadi representasi visual tentang bagaimana nilai tradisional dapat diresapi dan diinterpretasikan kembali dalam karya seni kontemporer.
Sasya adalah seniman yang menempatkan kehidupan dan pengalaman pribadi sebagai sumber inspirasi, mewakili keterikatannya yang serat dengan budaya tradisional. Dalam setiap karyanya, ada jejak yang menuntun penikmat karyanya untuk melihat akar kebudayaan yang masih kuat.
Selain wayang yang terkait dengan identitasnya sebagai orang Indonesia, pameran ini juga menampilkan karya lain dari sang seniman dengan visual kupu-kupu dan bunga. Salah satu karya berjudul Celebrate You My Love dengan mixed media on canvas menampilkan bunga tulip.
Karya dengan ukuran 150 x 90 cm (2011) itu diilhami oleh diri sebagai seorang seniman kala tinggal di Belanda.
Secara keseluruhan, Wilbert menilai bahwa sang seniman kerap menghasilkan karya yang sangat bold. Dia kerap menggunakan pemilihan background dengan warna terang dan kerap banyak melapis ketika memakai cat air.
Sang seniman juga terlihat sangat hati-hati dan detail dalam ciptaannya. “Dia perhatikan detail kecil, dari goresan dan gaya kain. Di wayang gaya kain ambil kain asli, tidak sembarangan mengambil corak,” katanya.
Cara seniman yang lama tinggal di Belanda itu berkarya – tidak dapat dipungkiri – mendapatkan pengaruh dari pendidikan teknik yang pernah diraih. Individu yang pernah belajar teknik biasanya sangat terstruktur, detail, dan sangat memperhatikan ketelitian.
Pola pikir yang teliti, detail, dan terstruktur dapat terlihat dalam karya seri kupu-kupu yang menggunakan medium batu. Salah satu di antaranya adalah berjudul King of Harvest yang dibuat pada 2014 juga menjadi salah satu ciptaan sang seniman yang terdapat dalam pameran.
Dengan ukuran 100 x 100 cm, karya ini menggunakan medium gems on canvas, amethyst, white opal, cracle quarts, pink quartz, dan citrine perls.
“Itu [Pendidikan teknik yang pernah diraih] banyak memengaruhi, terutama karya yang pakai batu [Visual kupu-kupu],” ujarnya.
Transisi
From Jakarta With Love merupakan salah satu rangkaian pameran yang diadakan oleh SenyuMuseum selama satu tahun. Platform digital ini memberikan spotlight terhadap karya atau seniman yang dinilai memiliki nilai.
Wilbert mengungkapkan, seniman Sasya memiliki prestasi yang sudah mendunia. Karya-karyanya sudah berkeliling ke sejumlah negara. Last Supper #3 yang menjadi salah satu di antaranya pernah tampil di Museu do Oriente, Lisbon, Portugal.
Pameran ini menghadirkan tiga seri lukisan-lukisan dari Sasya, yakni bunga, kupu-kupu, dan wayang. Adapun, karya-karya yang ditampilkan adalah karya lamanya. Pada saat ini, sang seniman sedang dalam masa transisi menuju ke arah karya dengan gaya modern.
"Jadi, kami memberikan spotlight kepada karya tradisional beliau sebelum pindah seutuhnya,” ujarnya. Pameran ini juga tidak sekadar pameran visual, tetapi juga sebuah perjalanan mendalam ke kompleksitas budaya yang terus berkembang di tengah dinamika kota modern.
Baca juga: Menyimak Transformasi & Corak Lukisan Kartono Yudhokusumo
Baginya, budaya tidak pernah diam dan cenderung mengalit serta berkembang seiring waktu - mencerminkan interaksi kompleks antara individu dengan lingkungannya.
Editor: Fajar Sidik
Ketika berbicara mengenai karya lukisan tentang perjamuan terakhir, banyak ingatan orang langsung menuju ke karya Leonardo Da Vinci. Last Supper dari sang seniman menjadi yang paling terkenal di dunia sampai saat ini.
Baca juga: Hilang Satu Abad, Lukisan Portrait of Miss Lieser Karya Gustav Klimt Ditemukan di Wina
Ketenarannya mengundang sejumlah seniman untuk membuat karya tentang perjamuan terakhir dalam versi yang berbeda. Nama-nama seperti Andy Warhol, Gregory Crewdson, dan Banksy tercatat pernah membuatnya.
Karya Sasya Tranggono (Sumber gambar: Hypeabis.id/ Yudi Supriyanto)
Meskipun memiliki judul dan tema yang sama, lukisan Last Supper #3 akan mengingatkan banyak orang terhadap seniman Sasya Tranggono. Salah satu alasannya adalah penggunaan unsur keindonesiaan dalam karya tersebut, yakni wayang.
Sasya mengubah sosok-sosok dalam karya perjamuan terkahir dengan karakter-karakter wayang. Ya, wayang sudah menjadi trademark dari seniman yang lahir pada 1963 itu.
Wayang adalah objek yang akan ditemukan dalam setiap karya Sasya. Last Supper #3 hanya satu di antaranya. Bukan tanpa alasan, bagi Sasya, penyematan wayang dalam setiap karya yang dihasilkan tidak sekadar untuk keindahan visual saja.
Wanita seniman kelahiran Jakarta itu memiliki misi yang lebih besar, yakni memperkenalkan budaya Indonesia kepada generasi muda pada saat ini. Dia mengungkapkan tidak ingin para penerus bangsa ini tidak mengenal wayang atau batik.
Sasya mengungkapkan bahwa objek wayang juga akan ada dalam karya-karya pada masa yang akan datang dengan gaya yang lebih baru. Wanita yang pernah tinggal di luar negeri selama 13 tahun itu menggunakan wayang sebagai pengingat Indonesia.
“Legacy-nya tidak boleh dilupakan. Anak-anak muda harus kenal. Masa enggak ngerti [Kenal] wayang, masa enggak ngerti [Kenal] batik,” ujarnya.
Bagi CEO SenyuMuseum Wilbert Jonathan Deil, seri dengan objek wayang merepresentasikan sang seniman sebagai orang Indonesia. Dia mengungkapkan, wanita yang pernah mengenyam pendidikan teknik d New York, Amerika Serikat itu tidak sekadar menghadirkan gambaran visual akan warisan budaya leluhurnya dalam seri karya yang menampilkan wayang.
Lebih dari itu, karya dengan objek wayang juga memberikan gambaran cara budaya tradisional dapat berpadu dengan konteks modernitas. Penggunaan figur wayang menjadi representasi visual tentang bagaimana nilai tradisional dapat diresapi dan diinterpretasikan kembali dalam karya seni kontemporer.
Sasya adalah seniman yang menempatkan kehidupan dan pengalaman pribadi sebagai sumber inspirasi, mewakili keterikatannya yang serat dengan budaya tradisional. Dalam setiap karyanya, ada jejak yang menuntun penikmat karyanya untuk melihat akar kebudayaan yang masih kuat.
Selain wayang yang terkait dengan identitasnya sebagai orang Indonesia, pameran ini juga menampilkan karya lain dari sang seniman dengan visual kupu-kupu dan bunga. Salah satu karya berjudul Celebrate You My Love dengan mixed media on canvas menampilkan bunga tulip.
Karya dengan ukuran 150 x 90 cm (2011) itu diilhami oleh diri sebagai seorang seniman kala tinggal di Belanda.
Secara keseluruhan, Wilbert menilai bahwa sang seniman kerap menghasilkan karya yang sangat bold. Dia kerap menggunakan pemilihan background dengan warna terang dan kerap banyak melapis ketika memakai cat air.
Sang seniman juga terlihat sangat hati-hati dan detail dalam ciptaannya. “Dia perhatikan detail kecil, dari goresan dan gaya kain. Di wayang gaya kain ambil kain asli, tidak sembarangan mengambil corak,” katanya.
Cara seniman yang lama tinggal di Belanda itu berkarya – tidak dapat dipungkiri – mendapatkan pengaruh dari pendidikan teknik yang pernah diraih. Individu yang pernah belajar teknik biasanya sangat terstruktur, detail, dan sangat memperhatikan ketelitian.
Pola pikir yang teliti, detail, dan terstruktur dapat terlihat dalam karya seri kupu-kupu yang menggunakan medium batu. Salah satu di antaranya adalah berjudul King of Harvest yang dibuat pada 2014 juga menjadi salah satu ciptaan sang seniman yang terdapat dalam pameran.
Dengan ukuran 100 x 100 cm, karya ini menggunakan medium gems on canvas, amethyst, white opal, cracle quarts, pink quartz, dan citrine perls.
“Itu [Pendidikan teknik yang pernah diraih] banyak memengaruhi, terutama karya yang pakai batu [Visual kupu-kupu],” ujarnya.
Transisi
From Jakarta With Love merupakan salah satu rangkaian pameran yang diadakan oleh SenyuMuseum selama satu tahun. Platform digital ini memberikan spotlight terhadap karya atau seniman yang dinilai memiliki nilai.
Wilbert mengungkapkan, seniman Sasya memiliki prestasi yang sudah mendunia. Karya-karyanya sudah berkeliling ke sejumlah negara. Last Supper #3 yang menjadi salah satu di antaranya pernah tampil di Museu do Oriente, Lisbon, Portugal.
Pameran ini menghadirkan tiga seri lukisan-lukisan dari Sasya, yakni bunga, kupu-kupu, dan wayang. Adapun, karya-karya yang ditampilkan adalah karya lamanya. Pada saat ini, sang seniman sedang dalam masa transisi menuju ke arah karya dengan gaya modern.
"Jadi, kami memberikan spotlight kepada karya tradisional beliau sebelum pindah seutuhnya,” ujarnya. Pameran ini juga tidak sekadar pameran visual, tetapi juga sebuah perjalanan mendalam ke kompleksitas budaya yang terus berkembang di tengah dinamika kota modern.
Baca juga: Menyimak Transformasi & Corak Lukisan Kartono Yudhokusumo
Baginya, budaya tidak pernah diam dan cenderung mengalit serta berkembang seiring waktu - mencerminkan interaksi kompleks antara individu dengan lingkungannya.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.