Perempuan Jadi Kelompok Paling Rentan Terdampak Krisis Iklim, Mengapa?
15 May 2024 |
20:00 WIB
Krisis iklim tak pernah berhenti menjadi topik hangat negara-negara di dunia. Diskusi-diskusi terbuka terkait isu iklim terus bergulir hingga menyentuh berbagai aspek mulai dari lingkungan, finansial, dan lainnya. Salah satu aspek terdampak yang jarang diketahui adalah keterlibatan perempuan.
Saat ini, perempuan merupakan kelompok paling rentan yang terdampak krisis iklim. Laporan Dana Kependudukan PBB (UNFPA) membeberkan ada 14 negara yang paling terdampak kerusakan iklim, justru memiliki populasi perempuan dan anak perempuan yang besar berisiko meninggal saat melahirkan, menikah dini, mengalami kekerasan berbasis gender, atau menjadi pengungsi dan tuna wisma akibat bencana.
Baca juga: 7 Teknologi 2023 yang Diklaim Bisa Atasi Krisis Iklim
Apalagi, laporan Indeks Risiko Iklim Global 2021 memaparkan bahwa sebagian besar negara yang paling terdampak perubahan iklim adalah negara-negara berpendapatan rendah dan menengah, yang perekonomiannya sangat bergantung pada sektor pertanian dan sistem pangan berbasis pertanian.
Pertanian menjadi sektor paling terdampak dari fluktuasi suhu bumi dan cuaca ekstrem. Di Asia, kerugian sebesar US$49 miliar dihasilkan akibat bencana terkait perubahan iklim antara 2008-2018. Akibatnya, penurunan produksi pertanian dan peternakan terjadi dalam skala besar.
Belum lagi, kekeringan, banjir, dan gelombang panas yang intens menghambat pertumbuhan tanaman. Tanpa disadari, kondisi ini membuat penduduk pedesaan di Asia Selatan dan Asia Tenggara, dimana perempuan mendominasi angkatan kerja di bidang pertanian, menanggung dampak yang tidak proporsional dari krisis iklim.
Rupanya, sistem pangan berbasis pertainan lebih banyak melibatkan peran dari sisi mata pencaharian perempuan dibandingkan laki-laki. Utamanya di negara yang cukup bergantung pada pertanian, perempuan muda usia 15-24 tahun mengambil keterlibatan yang cukup mendominasi.
Misalnya, di Asia Selatan, diketahui 71% perempuan terlibat dalam sektor agri-food, dibandingkan dengan pria hanya sebesar 47%. Bahkan di Sri Lanka, perempuan usia lanjut cukup bergantung pada sektor pangan berbasis pertanian setelah sumber pendapatan lain tertutup bagi mereka.
Besarnya peran yang diambil perempuan ini membuktikan pentingnya posisi yang mereka ambil. Sebab di sisi lain, dampak hilangnya mata pencaharian akibat perubahan iklim juga menyebabkan laki-laki meninggalkan lahan pertaniannya dan mendorong masalah-masalah finansial baru dalam keluarga.
Dari sisi kesehatan, perempuan juga rentan terdampak risiko kesehatan yang berhubungan dengan cuaca panas. Bahkan, kondisi ini dikaitkan dengan peningkatan angka komplikasi kehamilan. Isu terkait kesehatan mental juga menjadi sorotan, di mana angka gangguan stress pasca-trauma (PTSD) dan angka bunuh diri meningkat.
Perempuan terpaksa menunda atau mengabaikan layanan kesehatan, sehingga mengakibatkan komplikasi kehamilan, keguguran, buruknya perencanaan keluarga dan penggunaan kontrasepsi, kesalahan penanganan penyakit kronis, dan kekerasan dalam rumah tangga. Dengan risiko ini, upaya preventif dan kuratif para perempuan dari akibat tersembunyi perubahan iklim perlu menjadi perhatian lebih.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Saat ini, perempuan merupakan kelompok paling rentan yang terdampak krisis iklim. Laporan Dana Kependudukan PBB (UNFPA) membeberkan ada 14 negara yang paling terdampak kerusakan iklim, justru memiliki populasi perempuan dan anak perempuan yang besar berisiko meninggal saat melahirkan, menikah dini, mengalami kekerasan berbasis gender, atau menjadi pengungsi dan tuna wisma akibat bencana.
Baca juga: 7 Teknologi 2023 yang Diklaim Bisa Atasi Krisis Iklim
Apalagi, laporan Indeks Risiko Iklim Global 2021 memaparkan bahwa sebagian besar negara yang paling terdampak perubahan iklim adalah negara-negara berpendapatan rendah dan menengah, yang perekonomiannya sangat bergantung pada sektor pertanian dan sistem pangan berbasis pertanian.
Pertanian menjadi sektor paling terdampak dari fluktuasi suhu bumi dan cuaca ekstrem. Di Asia, kerugian sebesar US$49 miliar dihasilkan akibat bencana terkait perubahan iklim antara 2008-2018. Akibatnya, penurunan produksi pertanian dan peternakan terjadi dalam skala besar.
Belum lagi, kekeringan, banjir, dan gelombang panas yang intens menghambat pertumbuhan tanaman. Tanpa disadari, kondisi ini membuat penduduk pedesaan di Asia Selatan dan Asia Tenggara, dimana perempuan mendominasi angkatan kerja di bidang pertanian, menanggung dampak yang tidak proporsional dari krisis iklim.
Perempuan Jadi Garda Terdepan Sektor Agri-food
Ilustrasi perempuan di sektor agrikultural (Sumber gambar: Ives Ives/Unsplash_
Rupanya, sistem pangan berbasis pertainan lebih banyak melibatkan peran dari sisi mata pencaharian perempuan dibandingkan laki-laki. Utamanya di negara yang cukup bergantung pada pertanian, perempuan muda usia 15-24 tahun mengambil keterlibatan yang cukup mendominasi.
Misalnya, di Asia Selatan, diketahui 71% perempuan terlibat dalam sektor agri-food, dibandingkan dengan pria hanya sebesar 47%. Bahkan di Sri Lanka, perempuan usia lanjut cukup bergantung pada sektor pangan berbasis pertanian setelah sumber pendapatan lain tertutup bagi mereka.
Besarnya peran yang diambil perempuan ini membuktikan pentingnya posisi yang mereka ambil. Sebab di sisi lain, dampak hilangnya mata pencaharian akibat perubahan iklim juga menyebabkan laki-laki meninggalkan lahan pertaniannya dan mendorong masalah-masalah finansial baru dalam keluarga.
Dari sisi kesehatan, perempuan juga rentan terdampak risiko kesehatan yang berhubungan dengan cuaca panas. Bahkan, kondisi ini dikaitkan dengan peningkatan angka komplikasi kehamilan. Isu terkait kesehatan mental juga menjadi sorotan, di mana angka gangguan stress pasca-trauma (PTSD) dan angka bunuh diri meningkat.
Perempuan terpaksa menunda atau mengabaikan layanan kesehatan, sehingga mengakibatkan komplikasi kehamilan, keguguran, buruknya perencanaan keluarga dan penggunaan kontrasepsi, kesalahan penanganan penyakit kronis, dan kekerasan dalam rumah tangga. Dengan risiko ini, upaya preventif dan kuratif para perempuan dari akibat tersembunyi perubahan iklim perlu menjadi perhatian lebih.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.