Bioskop Alternatif Penting Untuk Pemerataan Jatah Tayang Film
14 May 2024 |
19:35 WIB
Keberadaan gedung bioskop yang dianggap masih minim memang menjadi masalah klasik perfilman Indonesia. Saat industri perfilman sedang tumbuh menggeliat, terutama setelah pandemi Covid-19, jumlah layar bioskop justru tak menunjukkan pertambahan yang setara.
Menurut data filmindonesia.or.id, jumlah bioskop di Indonesia hanya mencapai 500 unit per 13 Januari 2023. Jumlah layar atau studio di bioskop tersebut pun hanya di angka 2.000-an saja. Padahal, bioskop adalah bagian penting dalam ekosistem film.
Baca juga: Hypereport: Ramuan Humor Segar yang Bikin Film Komedi Enggak Ada Matinya
Bioskop merupakan elemen vital dalam distribusi sebuah film. Jika jumlahnya masih dianggap terbatas, peredaran film-filmnya pun tak akan pernah bisa maksimal. Tak hanya itu, sebuah film juga bisa mendapatkan kesempatan pemutaran yang tidak layak.
Misalnya, jumlah tayang sebuah film di bioskop jadi terbatas karena alasan tertentu, film jadi cepat turun layar tanpa punya kesempatan menggaet penonton lebih banyak, hingga pemerataan penayangan judul film di daerah-daerah.
Masalah keberadaan bioskop pun makin pelik ketika bersanding dengan iklim industri ini. Sebab, bisnis bioskop di Indonesia mayoritas dikelola secara jaringan. Hal ini seolah memunculkan pasar tunggal sekaligus pasar bebas, sehingga dapat menentukan sendiri elemen-elemen tersebut.
Direktur Industri Kreatif, Musik, Film dan Animasi, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) M. Amin Abdullah sepakat bahwa keberadaan bioskop yang masih kurang telah menjadi masalah klasik di Indonesia.
Amin mengatakan pertumbuhan film Indonesia, baik secara jumlah maupun pencapaiannya, mesti dibarengi dengan infrastruktur bioskop atau ruang putar yang baik. Hal ini penting agar keberagaman film Indonesia juga bisa lebih terakomodir. Sebab, jangan sampai ke depan justru menjadi pasar tunggal.
“Beberapa waktu lalu saya sempat mengobrol dengan Dede Yusuf [aktor senior sekaligus anggota DPR]. Masalah infrastruktur itu memang perlu diatasi. Khusus untuk bioskop, saya merasa seharusnya tidak ada dominasi tertentu,” ucap Amin saat ditemui di Auditorium Rektorat IKJ di sela-sela diskusi Pentahelix Seni Menuju Indonesia Emas, Selasa (14/5/2024).
Untuk menciptakan keberagaman, Amin dan Dede Yusuf mewacanakan untuk kembali menghidupkan bioskop-bioskop alternatif. Bioskop tersebut, menurut Amin, tidak harus besar, tapi keberadaannya tersebar merata dan dekat dengan aktivitas warga.
Amin membayangkan bioskop alternatif ini akan ada di perpustakaan, kreatif hub, taman budaya, maupun gedung-gedung lainnya. Sebab, menurutnya, banyak kreatif hub yang sebenarnya memiliki ruang putar yang sudah proper, tetapi belum dikelola dengan baik.
Dengan rencana bioskop alternatif, ruang putar itu bisa lebih hidup. Bioskop ini nantinya akan menayangkan film-film Indonesia yang lebih beragam dan terkurasi.
Misalnya, untuk film-film yang masih sulit tayang di bioskop jaringan, dari dokumenter, film pendek, maupun film-film jenis lain. Meski bioskop alternatif, pengelolaannya tetap dijalankan secara profesional.
“Jadi, film-film itu benar-benar harus diapresiasi, dalam artian akan ada tiket seperti bioskop pada umumnya. Namun, mungkin akan lebih murah begitu misalnya. Sistemnya tentu masih harus digodok lebih lanjut,” imbuhnya.
Baca juga: Hypereport: Eksistensi Film Skenario Orisinal di Tengah Maraknya Sinema Adaptasi
Menurut Amin, keberadaan bioskop alternatif ini bisa jadi solusi untuk lebih mendekatkan penonton terhadap film-film berkualitas yang terkurasi. Hal ini bisa memutus sebuah anggapan tentang genre pasar tunggal yang kerap disematkan ke perfilman. “Jadi, ada peluang lebih untuk diversifikasi, selain horor,” terangnya.
Amin mengatakan usulan ini bukanlah isapan jempol belaka. Nantinya, bakal ada aturan yang lebih terperinci untuk mengelola distribusi film. Namun, prosesnya harus bersabar karena masih baru persiapan tahap awal.
Editor: Fajar Sidik
Menurut data filmindonesia.or.id, jumlah bioskop di Indonesia hanya mencapai 500 unit per 13 Januari 2023. Jumlah layar atau studio di bioskop tersebut pun hanya di angka 2.000-an saja. Padahal, bioskop adalah bagian penting dalam ekosistem film.
Baca juga: Hypereport: Ramuan Humor Segar yang Bikin Film Komedi Enggak Ada Matinya
Bioskop merupakan elemen vital dalam distribusi sebuah film. Jika jumlahnya masih dianggap terbatas, peredaran film-filmnya pun tak akan pernah bisa maksimal. Tak hanya itu, sebuah film juga bisa mendapatkan kesempatan pemutaran yang tidak layak.
Misalnya, jumlah tayang sebuah film di bioskop jadi terbatas karena alasan tertentu, film jadi cepat turun layar tanpa punya kesempatan menggaet penonton lebih banyak, hingga pemerataan penayangan judul film di daerah-daerah.
Masalah keberadaan bioskop pun makin pelik ketika bersanding dengan iklim industri ini. Sebab, bisnis bioskop di Indonesia mayoritas dikelola secara jaringan. Hal ini seolah memunculkan pasar tunggal sekaligus pasar bebas, sehingga dapat menentukan sendiri elemen-elemen tersebut.
Direktur Industri Kreatif, Musik, Film dan Animasi, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) M. Amin Abdullah sepakat bahwa keberadaan bioskop yang masih kurang telah menjadi masalah klasik di Indonesia.
Amin mengatakan pertumbuhan film Indonesia, baik secara jumlah maupun pencapaiannya, mesti dibarengi dengan infrastruktur bioskop atau ruang putar yang baik. Hal ini penting agar keberagaman film Indonesia juga bisa lebih terakomodir. Sebab, jangan sampai ke depan justru menjadi pasar tunggal.
“Beberapa waktu lalu saya sempat mengobrol dengan Dede Yusuf [aktor senior sekaligus anggota DPR]. Masalah infrastruktur itu memang perlu diatasi. Khusus untuk bioskop, saya merasa seharusnya tidak ada dominasi tertentu,” ucap Amin saat ditemui di Auditorium Rektorat IKJ di sela-sela diskusi Pentahelix Seni Menuju Indonesia Emas, Selasa (14/5/2024).
Direktur Industri Kreatif, Musik, Film dan Animasi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) M Amin Abdullah (paling kanan) saat diskusi Pentahelix Seni Menuju Indonesia Emas, Selasa (14/5/2024). (Sumber gambar: Chelsea Venda/Hypeabis.id
Untuk menciptakan keberagaman, Amin dan Dede Yusuf mewacanakan untuk kembali menghidupkan bioskop-bioskop alternatif. Bioskop tersebut, menurut Amin, tidak harus besar, tapi keberadaannya tersebar merata dan dekat dengan aktivitas warga.
Amin membayangkan bioskop alternatif ini akan ada di perpustakaan, kreatif hub, taman budaya, maupun gedung-gedung lainnya. Sebab, menurutnya, banyak kreatif hub yang sebenarnya memiliki ruang putar yang sudah proper, tetapi belum dikelola dengan baik.
Dengan rencana bioskop alternatif, ruang putar itu bisa lebih hidup. Bioskop ini nantinya akan menayangkan film-film Indonesia yang lebih beragam dan terkurasi.
Misalnya, untuk film-film yang masih sulit tayang di bioskop jaringan, dari dokumenter, film pendek, maupun film-film jenis lain. Meski bioskop alternatif, pengelolaannya tetap dijalankan secara profesional.
“Jadi, film-film itu benar-benar harus diapresiasi, dalam artian akan ada tiket seperti bioskop pada umumnya. Namun, mungkin akan lebih murah begitu misalnya. Sistemnya tentu masih harus digodok lebih lanjut,” imbuhnya.
Baca juga: Hypereport: Eksistensi Film Skenario Orisinal di Tengah Maraknya Sinema Adaptasi
Menurut Amin, keberadaan bioskop alternatif ini bisa jadi solusi untuk lebih mendekatkan penonton terhadap film-film berkualitas yang terkurasi. Hal ini bisa memutus sebuah anggapan tentang genre pasar tunggal yang kerap disematkan ke perfilman. “Jadi, ada peluang lebih untuk diversifikasi, selain horor,” terangnya.
Amin mengatakan usulan ini bukanlah isapan jempol belaka. Nantinya, bakal ada aturan yang lebih terperinci untuk mengelola distribusi film. Namun, prosesnya harus bersabar karena masih baru persiapan tahap awal.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.