Menyelami Gambaran Manusia Indonesia dalam Pameran Relief Era Bung Karno di Salihara
12 May 2024 |
17:00 WIB
Sosok Presiden pertama Indonesia, Soekarno memang dikenal dekat dengan dunia kesenian. Pada masa jabatannya sebagai presiden, dia banyak berkontribusi dalam meletakkan dasar-dasar pembangunan wajah Indonesia sebagai negara modern lewat pendekatan seni.
Tidak hanya mengoleksi berbagai lukisan dan patung di Istana Negara, Soekarno juga ingin menampilkan wajah Jakarta sebagai ibu kota Indonesia yang estetik. Salah satunya lewat pembuatan berbagai bentuk seni rupa seperti monumen, mural, mozaik, dan relief di sejumlah tempat.
Baca juga: Hypereport Kemerdekaan: Kisah Lukisan Karya Henk Ngantung, Diincar Soekarno & Jadi Saksi Bisu Detik-detik Proklamasi
Sebagai negarawan, Soekarno juga dekat dengan beberapa seniman ternama untuk mewujudkan impian tersebut. Beberapa di antaranya seperti Harijadi Sumadidjaja, S. Sudjojono, Surono, Trubus Soedarsono, dan Sanggar Pelukis Rakyat untuk mengerjakan proyek-proyek relief di era 1950-1960-an.
Namun, akibat perpindahan kekuasaan, minimnya literasi dan perawatan, beberapa karya seni tersebut menjadi terbengkalai dan tidak diketahui publik. Bahkan, beberapa di antaranya ditemukan tanpa sengaja saat gedung Sarinah dipugar pada 2021, hingga akhirnya relief tersebut juga turut dipreservasi.
Momen inilah yang menjadi cuplikan narasi dari Pameran Relief Era Bung Karno di Galeri Salihara, Jakarta. Berlangsung pada 11 Mei-25 Juni 2024, ekshibisi ini menampilkan sederet karya relief di era Orde Lama, yang tersebar di enam titik lokasi dalam empat provinsi, yakni Jakarta, Sukabumi, Yogyakarta, dan Bali.
Dibuat oleh seniman-seniman besar, sebagian dari dari relief ini terbuat dari semen cor, dan batu alam khususnya andesit. Adapun para pemahatnya adalah seniman-seniman dan murid-murid Seniman Indonesia Muda (SIM) dan Sanggar Selabinangun (Sangsela) yang didirikan oleh Harijadi Sumadidjaja pada 1958 di Yogyakarta.
Memasuki ruang pamer, pengunjung akan disambut reka ulang cetakan trimatra relief Sarinah yang dipahat dengan teknologi 3D modeling oleh Nus Salomo dan Critur Studio. Relief berukuran 200 x 400 x 25cm menggunakan material resin polyactic acid ini, menggambarkan tema-tema keseharian rakyat, seperti pedagang, nelayan, hingga petani.
Berjalan ke arah kiri, kita juga akan menyaksikan Sketsa Manusia Indonesia yang dirancang Sudjojono untuk dinding ruang tunggu VIP Bandara Kemayoran, Jakarta Pusat. Lewat arsip ini, publik diajak untuk melihat lagi gambaran tentang sepetak relief yang kini hilang terbobol imbas tidak beroperasinya lagi bandara pertama di Indonesia itu pada 1985.
Secara umum, sketsa ini ingin merepresentasikan jati diri bangsa Indonesia di mata dunia melalui figur-figur maupun simbol yang ada di dalam rangkaian relief. Ini ditandai dengan beberapa simbol yang mewakili pakaian adat, budaya, flora dan fauna, hingga narasi visual gotong royong yang menjadi salah satu pegangan dari masyarakat Indonesia.
Saat membalikan badan, pengunjung juga akan disuguhi arsip-arsip buku penelitian sejarah seni rupa, khususnya relief, di Indonesia dari masa ke masa. Video berdurasi pendek juga ditampilkan untuk memberi gambaran mengenai luasnya bentangan relief Indonesia, yang terepresentasi dari relief Candi Prambanan, Pura Yeh Bali, hingga arsip fotografi saat pembuatan relief di era Bung Karno.
Menyulut Apresiasi Publik
Kurator Galeri Komunitas Salihara, Asikin Hasan mengatakan, pameran ini diselenggarakan untuk menumbuhkan kembali apresiasi terhadap karya relief Indonesia. Sebagai bagian dari tumbuh kembang kesenian modern serta bangsa, relief menurutnya jarang diketahui publik dibandingkan karya seni lukis atau patung yang mungkin galib ditemui di beberapa pameran.
Asikin menjelaskan, dalam proses pelaksanaannya, tim Galeri Salihara juga bekerja sama dengan fotografer dan seniman yang ahli dalam bidang digital sculpting dan 3D printing. Mereka berkolaborasi membuat dan mencetak sebagian panel atau subjek relief terpilih, seperti yang berada di Bali Beach (Bali), Samudra Beach (Sukabumi), hingga Hotel Ambarrukmo (Yogyakarta).
"Tujuan ekshibisi ini adalah untuk dapat menjangkau pelaku dan penikmat seni generasi baru di Indonesia. Penggunaan media baru ini juga menjadi upaya pengarsipan digital sejarah kesenian modern Indonesia." kata Asikin saat pembukaan pameran, Sabtu (11/5/24).
Selaras, founder Salihara Goenawan Mohamad mengatakan, pameran ini merupakan bentuk lanjutan tradisi Salihara dalam mendekatkan karya seni ke publik. Menurutnya, menampilkan kembali sejarah bukan untuk kembali mengulang apa yang sudah pernah ada dan terjadi di masyarakat, tapi untuk memberikan alternatif dari wacana baru yang berkembang di masyarakat.
Goenawan menjelaskan, relief-relief yang dikerjakan pada era Bung Karno juga memiliki nilai estetika yang tinggi yang mungkin sejajar dengan fresco yang dibuat oleh Diego Rivera di Institut Seni San Francisco. Sebab, citra gambar yang dibuat oleh para seniman tersebut sangat naratif, sehingga memberi gambaran cerita yang utuh.
"Kalau Anda lihat nanti, bukan hanya akan takjub bahwa Sudjojono bias membuat relief yang naratif, dan dengan penampilan yang khas. Artinya ada kontinuitas dari apa yang pernah dibuat di era sebelumnya, yang terefleksi di Pura Yeh dan Candi Prambanan, dengan wajah Indonesia dari abad ke abad," katanya.
Baca juga: Rumah Pengasingan Soekarno, Destinasi Wajib saat ke Bengkulu
Editor: Dika Irawan
Tidak hanya mengoleksi berbagai lukisan dan patung di Istana Negara, Soekarno juga ingin menampilkan wajah Jakarta sebagai ibu kota Indonesia yang estetik. Salah satunya lewat pembuatan berbagai bentuk seni rupa seperti monumen, mural, mozaik, dan relief di sejumlah tempat.
Baca juga: Hypereport Kemerdekaan: Kisah Lukisan Karya Henk Ngantung, Diincar Soekarno & Jadi Saksi Bisu Detik-detik Proklamasi
Sebagai negarawan, Soekarno juga dekat dengan beberapa seniman ternama untuk mewujudkan impian tersebut. Beberapa di antaranya seperti Harijadi Sumadidjaja, S. Sudjojono, Surono, Trubus Soedarsono, dan Sanggar Pelukis Rakyat untuk mengerjakan proyek-proyek relief di era 1950-1960-an.
Namun, akibat perpindahan kekuasaan, minimnya literasi dan perawatan, beberapa karya seni tersebut menjadi terbengkalai dan tidak diketahui publik. Bahkan, beberapa di antaranya ditemukan tanpa sengaja saat gedung Sarinah dipugar pada 2021, hingga akhirnya relief tersebut juga turut dipreservasi.
Momen inilah yang menjadi cuplikan narasi dari Pameran Relief Era Bung Karno di Galeri Salihara, Jakarta. Berlangsung pada 11 Mei-25 Juni 2024, ekshibisi ini menampilkan sederet karya relief di era Orde Lama, yang tersebar di enam titik lokasi dalam empat provinsi, yakni Jakarta, Sukabumi, Yogyakarta, dan Bali.
Cetakan trimatra relief Sarinah di Galeri Salihara (sumber gambar: Hypeabis.id/Prasetyo Agung Ginanjar)
Memasuki ruang pamer, pengunjung akan disambut reka ulang cetakan trimatra relief Sarinah yang dipahat dengan teknologi 3D modeling oleh Nus Salomo dan Critur Studio. Relief berukuran 200 x 400 x 25cm menggunakan material resin polyactic acid ini, menggambarkan tema-tema keseharian rakyat, seperti pedagang, nelayan, hingga petani.
Berjalan ke arah kiri, kita juga akan menyaksikan Sketsa Manusia Indonesia yang dirancang Sudjojono untuk dinding ruang tunggu VIP Bandara Kemayoran, Jakarta Pusat. Lewat arsip ini, publik diajak untuk melihat lagi gambaran tentang sepetak relief yang kini hilang terbobol imbas tidak beroperasinya lagi bandara pertama di Indonesia itu pada 1985.
Secara umum, sketsa ini ingin merepresentasikan jati diri bangsa Indonesia di mata dunia melalui figur-figur maupun simbol yang ada di dalam rangkaian relief. Ini ditandai dengan beberapa simbol yang mewakili pakaian adat, budaya, flora dan fauna, hingga narasi visual gotong royong yang menjadi salah satu pegangan dari masyarakat Indonesia.
Saat membalikan badan, pengunjung juga akan disuguhi arsip-arsip buku penelitian sejarah seni rupa, khususnya relief, di Indonesia dari masa ke masa. Video berdurasi pendek juga ditampilkan untuk memberi gambaran mengenai luasnya bentangan relief Indonesia, yang terepresentasi dari relief Candi Prambanan, Pura Yeh Bali, hingga arsip fotografi saat pembuatan relief di era Bung Karno.
Menyulut Apresiasi Publik
Kurator Galeri Komunitas Salihara, Asikin Hasan mengatakan, pameran ini diselenggarakan untuk menumbuhkan kembali apresiasi terhadap karya relief Indonesia. Sebagai bagian dari tumbuh kembang kesenian modern serta bangsa, relief menurutnya jarang diketahui publik dibandingkan karya seni lukis atau patung yang mungkin galib ditemui di beberapa pameran.
Asikin menjelaskan, dalam proses pelaksanaannya, tim Galeri Salihara juga bekerja sama dengan fotografer dan seniman yang ahli dalam bidang digital sculpting dan 3D printing. Mereka berkolaborasi membuat dan mencetak sebagian panel atau subjek relief terpilih, seperti yang berada di Bali Beach (Bali), Samudra Beach (Sukabumi), hingga Hotel Ambarrukmo (Yogyakarta).
"Tujuan ekshibisi ini adalah untuk dapat menjangkau pelaku dan penikmat seni generasi baru di Indonesia. Penggunaan media baru ini juga menjadi upaya pengarsipan digital sejarah kesenian modern Indonesia." kata Asikin saat pembukaan pameran, Sabtu (11/5/24).
Salah satu citra dari relief era Bung Karno yang ditampilkan dalam video di Galeri Salihara (sumber gambar: Hypeabis.id/Prasetyo Agung Ginanjar)
Goenawan menjelaskan, relief-relief yang dikerjakan pada era Bung Karno juga memiliki nilai estetika yang tinggi yang mungkin sejajar dengan fresco yang dibuat oleh Diego Rivera di Institut Seni San Francisco. Sebab, citra gambar yang dibuat oleh para seniman tersebut sangat naratif, sehingga memberi gambaran cerita yang utuh.
"Kalau Anda lihat nanti, bukan hanya akan takjub bahwa Sudjojono bias membuat relief yang naratif, dan dengan penampilan yang khas. Artinya ada kontinuitas dari apa yang pernah dibuat di era sebelumnya, yang terefleksi di Pura Yeh dan Candi Prambanan, dengan wajah Indonesia dari abad ke abad," katanya.
Baca juga: Rumah Pengasingan Soekarno, Destinasi Wajib saat ke Bengkulu
Editor: Dika Irawan
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.