Hypereport Kemerdekaan: Kisah Lukisan Karya Henk Ngantung, Diincar Soekarno & Jadi Saksi Bisu Detik-detik Proklamasi
17 August 2023 |
10:00 WIB
Satu lukisan pernah membuat jatuh hati Presiden Soekarno. Lukisan tersebut menampilkan dua sosok laki-laki bertelanjang dada dan memakai sarung sedang membidikkan panah ke arah depan, sedangkan sosok yang lain sedang memegang sumber pijar cahaya.
Di sekeliling mereka, seperti bayang-bayang, ditampilkan tiga orang laki-laki dengan beragam ekspresi. Oleh sang seniman, Hendrik Hermanus Joel Ngantung atau Henk Ngantung, lukisan berdimensi 152 x 152 cm yang dibuat pada 1944 itu diberi judul Memanah. Bagi Soekarno, lukisan itu melambangkan seorang ksatria. Apalagi, memanah merupakan keterampilan yang telah melekat dalam kebudayaan Jawa serta kosmologi wayang.
Baca juga: Hypereport: Mengenang Kekaryaan Seniman Srihadi Soedarsono di Gelanggang Pertempuran
Di samping itu, panah juga dianggap sebagai representasi dari senjata utama bangsa Timur dan Selatan seperti halnya senapan bagi bangsa Barat. Dengan alasan itu, Soekarno menilai lukisan itu menjadi pemantik semangat bangsa Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan.
Soekarno tak main-main menaruh hati pada lukisan Memanah buatan Henk Ngantung yang pertama kali dipamerkan di sebuah eksibisi yang digelar oleh lembaga kebudayaan Jepang, Keimin Bunka Shidoso itu. Presiden pertama RI itu bahkan langsung mendatangi studio Henk Ngantung untuk membeli lukisan tersebut.
Akan tetapi, Henk Ngantung justru menolak. Sang seniman mengatakan kalau lukisannya itu belum rampung terutama pada bagian lengan dari subjek lukisannya yang masih harus diperbaiki. Secara terang-terangan, Henk berkata bahwa dia membutuhkan model untuk merampungkan lukisannya.
Mendengar hal itu, Soekarno langsung menawarkan diri untuk menjadi model agar lukisan tersebut bisa rampung dan segera diboyongnya. Akhirnya, lukisan Memanah rampung menjadi mahakarya yang menampilkan sosok dua model yakni sastrawan Marius Ramis Dajoh di mana pada bagian lengannya menggunakan Soekarno sebagai modelnya.
Lukisan tersebut pun menjadi saksi bisu kala Sukarno membacakan teks proklamasi di rumahnya, Jalan Pegangsaan Timur 56. Dalam foto pembacaan teks prokalamasi terlihat lukisan itu terpacak di dinding rumah Sang Proklamator.
Memanah hanyalah satu dari sekian lukisan Henk yang dibuat untuk menggambarkan semangat perjuangan kemerdekaan. Karya-karya yang dibuatnya kerap kali hadir menjadi dokumentasi deretan peristiwa penting di Indonesia terutama pada masa pascakemerdekaan.
Berkat kepiawaiannya dalam menggambar sketsa, perupa asal Manado itu bahkan diminta langsung oleh Soekarno untuk melukis secara langsung momen-momen peristiwa perundingan penting antara Pemerintah Indonesia dengan Belanda diantaranya Perundingan Linggarjati (1946), Perundingan Renville (1948), dan Perundingan Kaliurang (1948).
Misalnya karya berjudul Pemandangan, Pembukaan, dan Peresmian Parlemen NIT di Makasar. Seperti judulnya, karya sketsa yang dibuat dengan pena di atas kertas berdimensi 31,5 x 49,5 cm itu menampilkan suasana beberapa orang yang sedang berada di ruang rapat meski tampak tidak terlalu jelas.
Peristiwa yang tergambar dalam sketsa yang dibuat pada 1947 itu merujuk pada acara peresmian Parlemen Negara Indonesia Timur atau NIT di Makassar yang berlangsung pada 13 Januari 1947. NIT merupakan bagian dari upaya Belanda untuk meneguhkan kekuasaannya pascaproklamasi RI.
Di samping 'merekam' momen-momen perundingan penting negara, Henk Ngantung juga membuat sketsa para tokoh yang terlibat baik itu dari pihak Belanda maupun Indonesia. Hal itu tampak pada salah satu sketsanya berjudul Pertemuan Presiden Soekarno dan Lord Killearn.
Sketsa yang dibuat dengan pena di atas kertas berdimensi 45 x 28 cm itu menampilkan sosok Soekarno yang khas dengan setelan putih serta mengenakan peci hitam. Dia tampak sedang berdiskusi intens dengan Miles Wedderburn Lampson Killearn, seorang diplomat berkebangsaan Inggris. Sketsa ini dibuat oleh Henk pada 1946.
Potret Soekarno juga hadir dalam sketsa Henk yang lain berjudul Bung Karno Memberikan Sambutan Pada Kongres I KRIS. Sketsa yang dibuat dengan pena di atas kertas berdimensi 28 x 23 cm itu menggambarkan sosok Soekarno bersama sejumlah wanita berseragam yang diketahui merupakan anggota Lasykar Kebangkitan Rakyat Indonesia Sulawesi atau KRIS.
Menariknya, Henk juga tak hanya menaruh perhatian pada tokoh-tokoh yang berada di garda terdepan momen-momen perundingan. Pengamatannya dalam melihat sekitar juga menyorot peran pengawal TRI atau Tentara Persetujuan Linggarti dalam momen Perundingan Linggarjati. Hal itu yang tampak pada sketsa berjudul Dua Pengawal TRI di Linggarjati yang dibuat pada 1946.
Teknik menggambar dinamika masa revolusi kemerdekaan Henk terbilang luas. Selain sketsa, dia juga merekam peristiwa-peristiwa penting pada masa itu dengan cat minyak di atas kanvas. Potret yang dilukisnya juga tak hanya tokoh-tokoh negarawan, melainkan pergolakan kehidupan rakyat pada masa revolusi.
Hal itu yang tampak pada salah satu karyanya berjudul Mengungsi. Lukisan berdimensi 95 x 117 cm itu menggambarkan serombongan penduduk yang sedang berlarian mengungsi di tengah bombardir pasukan Belanda. Lukisan itu dibuat pada Agustus 1947, tak lama setelah anjuran melukis tema perjuangan dilontarkan oleh S. Sudjojono.
Kurator Agung Hujatnikajennong mengatakan karya-karya Henk Ngantung yang dibuat pada masa pascaproklamasi cenderung bergaya realisme, aliran yang memang kala itu digandrungi oleh para seniman. Pada masa itu, corak artistik realisme dianggap bisa menggambarkan sesuatu yang dekat dengan kenyataan.
"Pak Henk sampai akhir hayatnya adalah seorang realis. Basis lukisan-lukisannya selalu seputar kenyataan dan objek sehari-hari," katanya.
Agung menilai salah satu kekuatan karya-karya sketsa dari Henk adalah kemampuan sang seniman untuk menggambar mimik wajah, gestur, dan identitas dari subjek-subjek yang dibuatnya, sehingga sebagai sebuah 'rekaman' sejarah, kejadian-kejadian dalam sketsa-sketsanya terlihat lebih rinci.
Selain sebagai cara untuk menggambarkan kenyataan sehari-hari, karya-karya bergaya realisme juga acapkali dibuat untuk menumbuhkan rasa empati atau spirit tertentu. Agung menuturkan dengan kepiawaannya dalam melukis realisme, karya-karya Henk mampu menumbuhkan spirit yang coba dibangunnya.
Baca juga: Profil dan Karya Terbaik Maestro Seni Rupa S. Sudjojono
Editor: Dika Irawan
Di sekeliling mereka, seperti bayang-bayang, ditampilkan tiga orang laki-laki dengan beragam ekspresi. Oleh sang seniman, Hendrik Hermanus Joel Ngantung atau Henk Ngantung, lukisan berdimensi 152 x 152 cm yang dibuat pada 1944 itu diberi judul Memanah. Bagi Soekarno, lukisan itu melambangkan seorang ksatria. Apalagi, memanah merupakan keterampilan yang telah melekat dalam kebudayaan Jawa serta kosmologi wayang.
Baca juga: Hypereport: Mengenang Kekaryaan Seniman Srihadi Soedarsono di Gelanggang Pertempuran
Di samping itu, panah juga dianggap sebagai representasi dari senjata utama bangsa Timur dan Selatan seperti halnya senapan bagi bangsa Barat. Dengan alasan itu, Soekarno menilai lukisan itu menjadi pemantik semangat bangsa Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan.
Soekarno tak main-main menaruh hati pada lukisan Memanah buatan Henk Ngantung yang pertama kali dipamerkan di sebuah eksibisi yang digelar oleh lembaga kebudayaan Jepang, Keimin Bunka Shidoso itu. Presiden pertama RI itu bahkan langsung mendatangi studio Henk Ngantung untuk membeli lukisan tersebut.
Akan tetapi, Henk Ngantung justru menolak. Sang seniman mengatakan kalau lukisannya itu belum rampung terutama pada bagian lengan dari subjek lukisannya yang masih harus diperbaiki. Secara terang-terangan, Henk berkata bahwa dia membutuhkan model untuk merampungkan lukisannya.
Mendengar hal itu, Soekarno langsung menawarkan diri untuk menjadi model agar lukisan tersebut bisa rampung dan segera diboyongnya. Akhirnya, lukisan Memanah rampung menjadi mahakarya yang menampilkan sosok dua model yakni sastrawan Marius Ramis Dajoh di mana pada bagian lengannya menggunakan Soekarno sebagai modelnya.
(Sumber foto: IPPHOS/ANRI & Setkab)
Memanah hanyalah satu dari sekian lukisan Henk yang dibuat untuk menggambarkan semangat perjuangan kemerdekaan. Karya-karya yang dibuatnya kerap kali hadir menjadi dokumentasi deretan peristiwa penting di Indonesia terutama pada masa pascakemerdekaan.
Berkat kepiawaiannya dalam menggambar sketsa, perupa asal Manado itu bahkan diminta langsung oleh Soekarno untuk melukis secara langsung momen-momen peristiwa perundingan penting antara Pemerintah Indonesia dengan Belanda diantaranya Perundingan Linggarjati (1946), Perundingan Renville (1948), dan Perundingan Kaliurang (1948).
Misalnya karya berjudul Pemandangan, Pembukaan, dan Peresmian Parlemen NIT di Makasar. Seperti judulnya, karya sketsa yang dibuat dengan pena di atas kertas berdimensi 31,5 x 49,5 cm itu menampilkan suasana beberapa orang yang sedang berada di ruang rapat meski tampak tidak terlalu jelas.
Peristiwa yang tergambar dalam sketsa yang dibuat pada 1947 itu merujuk pada acara peresmian Parlemen Negara Indonesia Timur atau NIT di Makassar yang berlangsung pada 13 Januari 1947. NIT merupakan bagian dari upaya Belanda untuk meneguhkan kekuasaannya pascaproklamasi RI.
Di samping 'merekam' momen-momen perundingan penting negara, Henk Ngantung juga membuat sketsa para tokoh yang terlibat baik itu dari pihak Belanda maupun Indonesia. Hal itu tampak pada salah satu sketsanya berjudul Pertemuan Presiden Soekarno dan Lord Killearn.
Sketsa yang dibuat dengan pena di atas kertas berdimensi 45 x 28 cm itu menampilkan sosok Soekarno yang khas dengan setelan putih serta mengenakan peci hitam. Dia tampak sedang berdiskusi intens dengan Miles Wedderburn Lampson Killearn, seorang diplomat berkebangsaan Inggris. Sketsa ini dibuat oleh Henk pada 1946.
Potret Soekarno juga hadir dalam sketsa Henk yang lain berjudul Bung Karno Memberikan Sambutan Pada Kongres I KRIS. Sketsa yang dibuat dengan pena di atas kertas berdimensi 28 x 23 cm itu menggambarkan sosok Soekarno bersama sejumlah wanita berseragam yang diketahui merupakan anggota Lasykar Kebangkitan Rakyat Indonesia Sulawesi atau KRIS.
Menariknya, Henk juga tak hanya menaruh perhatian pada tokoh-tokoh yang berada di garda terdepan momen-momen perundingan. Pengamatannya dalam melihat sekitar juga menyorot peran pengawal TRI atau Tentara Persetujuan Linggarti dalam momen Perundingan Linggarjati. Hal itu yang tampak pada sketsa berjudul Dua Pengawal TRI di Linggarjati yang dibuat pada 1946.
Teknik menggambar dinamika masa revolusi kemerdekaan Henk terbilang luas. Selain sketsa, dia juga merekam peristiwa-peristiwa penting pada masa itu dengan cat minyak di atas kanvas. Potret yang dilukisnya juga tak hanya tokoh-tokoh negarawan, melainkan pergolakan kehidupan rakyat pada masa revolusi.
Hal itu yang tampak pada salah satu karyanya berjudul Mengungsi. Lukisan berdimensi 95 x 117 cm itu menggambarkan serombongan penduduk yang sedang berlarian mengungsi di tengah bombardir pasukan Belanda. Lukisan itu dibuat pada Agustus 1947, tak lama setelah anjuran melukis tema perjuangan dilontarkan oleh S. Sudjojono.
Realis Sejati
Kurator Agung Hujatnikajennong mengatakan karya-karya Henk Ngantung yang dibuat pada masa pascaproklamasi cenderung bergaya realisme, aliran yang memang kala itu digandrungi oleh para seniman. Pada masa itu, corak artistik realisme dianggap bisa menggambarkan sesuatu yang dekat dengan kenyataan."Pak Henk sampai akhir hayatnya adalah seorang realis. Basis lukisan-lukisannya selalu seputar kenyataan dan objek sehari-hari," katanya.
Agung menilai salah satu kekuatan karya-karya sketsa dari Henk adalah kemampuan sang seniman untuk menggambar mimik wajah, gestur, dan identitas dari subjek-subjek yang dibuatnya, sehingga sebagai sebuah 'rekaman' sejarah, kejadian-kejadian dalam sketsa-sketsanya terlihat lebih rinci.
Selain sebagai cara untuk menggambarkan kenyataan sehari-hari, karya-karya bergaya realisme juga acapkali dibuat untuk menumbuhkan rasa empati atau spirit tertentu. Agung menuturkan dengan kepiawaannya dalam melukis realisme, karya-karya Henk mampu menumbuhkan spirit yang coba dibangunnya.
Baca juga: Profil dan Karya Terbaik Maestro Seni Rupa S. Sudjojono
Editor: Dika Irawan
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.