Waspadai Gangguan Pencernaan Berbahaya pada Anak Selain Diare
11 May 2024 |
22:00 WIB
Anak yang sakit perut seringkali dikaitkan dengan diare, padahal ada beragam gangguan atau masalah pada pencernaan yang kemungkinan bisa jadi penyebabnya. Tentu saja kondisi gangguan pencernaan ini penting sekali untuk dikenali, supaya bisa segera ditangani dengan tepat.
Saat anak dalam proses tumbuh kembang, masalah pada pencernaan selalu menjadi perhatian utama orang tua. Hal ini karena proses penyerapan nutrisi terjadi di saluran cerna, sehingva pencernaan yang sehat menjadi kunci utama untuk mendapatkan tubuh yang sehat.
Baca juga: Polusi Udara Bisa Mengancam Kesehatan Pencernaan, Kok Bisa?
Frieda Handayani Kawanto, dokter Spesialis Anak Subspesialis Gastrohepatologi Anak dari RS Pondok Indah – Bintaro Jaya, menjelaskan lebih dalam seputar masalah pencernaan anak. Mulai dari jenis, penyebab, cara pencegahan, dan cara penanganannya.
Masalah pencernaan pada anak ada banyak penyebabnya. Biasanya yang sering muncul, mulai dari diare hingga sulit buang air besar atau sembelit. Memahami berbagai masalah pencernaan anak, tidak hanya penting untuk mendapatkan penanganan yang tepat, akan tetapi juga untuk memastikan bahwa mereka bisa tumbuh dan berkembang dengan optimal. Yuk, simak macam-macam masalah pencernaan pada anak.
Ada dua tipe konstipasi yang sering dialami anak-anak, yakni kontispasi organik dan fungsional. Konstipasi organik, yaitu adanya kelainan fungsi organ. Pada kondisi ini, sembelit disebabkan oleh penyakit tertentu, misalnya penyakit celiac, gangguan tiroid, dan kelainan anatomi usus seperti penyakit hirschsprung
Sementara konstipasi fungsional, dialami oleh sebagian besar anak-anak. Konstipasi ini terjadi ketika anak menahan keinginan untuk BAB. Konstipasi fungsional dapat disebabkan karena anak khawatir mengalami nyeri atau rasa tidak nyaman, misalnya karena bentuk tinja yang keras.
Apabila anak menahan BAB setiap hari, maka beberapa kondisi yang dapat terjadi antara lain nyeri perut hebat dan kembung, nafsu makan menurun, mual atau refluks aliran balik dari lambung ke kerongkongan, serta diare di pakaian dalam akibat kelebihan tinja cair yang merembes
Untuk mencegah hal ini terjadi, orang tua harus sigap memeriksa kondisi anak. Adapun tanda yang dapat dideteksi oleh saat anak mengalami konstipasi adalah adanya lecet pada sekitar dubur serta ukuran tinja yang besar dan keras.
Gejala yang ditimbulkan meliputi demam yang berkepanjangan, sakit kepala, mual, nyeri perut, konstipasi, atau diare. Sebagian penderita bahkan dapat mengalami ruam. Kasus demam tifoid yang berat dapat menyebabkan komplikasi berat yang berakibat fatal.
Demam tifoid dapat diobati dengan antibiotika. Meskipun gejala sudah menghilang, tetapi penderita dapat menjadi carrier yang masih dapat menyebarkan infeksi ke orang lain melalui bakteri di tinja. Sehingga, penting dilakukan pemeriksaan untuk memastikan bakteri Salmonella typhi sudah tidak ada lagi dalam tubuh pasien.
Demam tifoid cenderung terjadi pada area dengan sanitasi yang kurang baik dan kebersihan air minum yang kurang terjaga. Akses air minum bersih, sanitasi yang kuat, higienitas saat mengolah makanan, dan vaksinasi tifoid efektif mencegah terjadinya infeksi penyakit ini. Vaksinasi tifoid direkomendasikan untuk anak berusia 2 tahun dan orang dewasa sampai usia 45 hingga 65 tahun tergantung dari jenis vaksin yang digunakan.
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah infeksi bakteri Salmonella typhi antara lain memasak makanan sampai matang, menghindari susu mentah dan mengonsumsi susu pasteurisasi atau susu steril, menghindari konsumsi es batu yang tidak jelas sumber airnya, mengonsumsi air minum yang steril atau sudah dimasak, mencuci tangan menggunakan air mengalir dan sabun sebelum mengolah makanan dan sebelum makan, mencuci sayur dan buah dengan benar.
Laktosa adalah gugus gula yang terdapat pada susu dan produk turunannya seperti yogurt dan keju. Sementara produk turunan laktosa lainnya ada roti, sereal, serta makanan kemasan yang mengandung susu dan keju.
Gejala intoleransi laktosa tergantung dari jumlah yang dikonsumsi dan jumlah yang dapat ditolerir oleh tubuh. Semakin banyak produk laktosa dikonsumsi, maka semakin berat gejala yang timbul. Gejala yang mungkin terjadi di antaranya mual, nyeri perut, keram, kembung, serta BAB cair dan mengandung banyak gas.
Baca juga: Ini Pentingnya Nutrisi Seimbang bagi Perkembangan Otak & Saluran Pencernaan Anak
Apabila diperlukan, penanganan intoleransi laktosa dapat dilakukan dengan pemberian suplementasi enzim laktase. Selain itu, berikan suplementasi kalsium dan vitamin D jika anak kurang dapat mengonsumsi produk susu dalam jumlah yang cukup. Pada beberapa kasus, intoleransi laktosa sifatnya sementara. Namun pada sebagian orang, intoleransi laktosa dapat berlangsung seumur hidup sehingga memerlukan bimbingan nutrisi agar kecukupan kalsium dan vitamin D3 dapat terpenuhi.
Editor: Fajar Sidik
Saat anak dalam proses tumbuh kembang, masalah pada pencernaan selalu menjadi perhatian utama orang tua. Hal ini karena proses penyerapan nutrisi terjadi di saluran cerna, sehingva pencernaan yang sehat menjadi kunci utama untuk mendapatkan tubuh yang sehat.
Baca juga: Polusi Udara Bisa Mengancam Kesehatan Pencernaan, Kok Bisa?
Frieda Handayani Kawanto, dokter Spesialis Anak Subspesialis Gastrohepatologi Anak dari RS Pondok Indah – Bintaro Jaya, menjelaskan lebih dalam seputar masalah pencernaan anak. Mulai dari jenis, penyebab, cara pencegahan, dan cara penanganannya.
Masalah pencernaan pada anak ada banyak penyebabnya. Biasanya yang sering muncul, mulai dari diare hingga sulit buang air besar atau sembelit. Memahami berbagai masalah pencernaan anak, tidak hanya penting untuk mendapatkan penanganan yang tepat, akan tetapi juga untuk memastikan bahwa mereka bisa tumbuh dan berkembang dengan optimal. Yuk, simak macam-macam masalah pencernaan pada anak.
1. Konstipasi
Anak yang mengalami sembelit memiliki keluhan frekuensi BAB yang tidak teratur disertai konsistensi tinja yang keras, kering, dan sulit dikeluarkan sehingga menimbulkan nyeri saat BAB.Ada dua tipe konstipasi yang sering dialami anak-anak, yakni kontispasi organik dan fungsional. Konstipasi organik, yaitu adanya kelainan fungsi organ. Pada kondisi ini, sembelit disebabkan oleh penyakit tertentu, misalnya penyakit celiac, gangguan tiroid, dan kelainan anatomi usus seperti penyakit hirschsprung
Sementara konstipasi fungsional, dialami oleh sebagian besar anak-anak. Konstipasi ini terjadi ketika anak menahan keinginan untuk BAB. Konstipasi fungsional dapat disebabkan karena anak khawatir mengalami nyeri atau rasa tidak nyaman, misalnya karena bentuk tinja yang keras.
Apabila anak menahan BAB setiap hari, maka beberapa kondisi yang dapat terjadi antara lain nyeri perut hebat dan kembung, nafsu makan menurun, mual atau refluks aliran balik dari lambung ke kerongkongan, serta diare di pakaian dalam akibat kelebihan tinja cair yang merembes
Untuk mencegah hal ini terjadi, orang tua harus sigap memeriksa kondisi anak. Adapun tanda yang dapat dideteksi oleh saat anak mengalami konstipasi adalah adanya lecet pada sekitar dubur serta ukuran tinja yang besar dan keras.
2. Demam Tifoid
Pada 2019 lalu, sekitar sembilan juta orang mengalami demam tifoid dan 110.000 orang di antaranya mengalami kematian setiap tahun. Demam tifoid adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi. Penyebaran infeksi terjadi melalui makanan atau air yang terkontaminasi bakteri.Gejala yang ditimbulkan meliputi demam yang berkepanjangan, sakit kepala, mual, nyeri perut, konstipasi, atau diare. Sebagian penderita bahkan dapat mengalami ruam. Kasus demam tifoid yang berat dapat menyebabkan komplikasi berat yang berakibat fatal.
Demam tifoid dapat diobati dengan antibiotika. Meskipun gejala sudah menghilang, tetapi penderita dapat menjadi carrier yang masih dapat menyebarkan infeksi ke orang lain melalui bakteri di tinja. Sehingga, penting dilakukan pemeriksaan untuk memastikan bakteri Salmonella typhi sudah tidak ada lagi dalam tubuh pasien.
Demam tifoid cenderung terjadi pada area dengan sanitasi yang kurang baik dan kebersihan air minum yang kurang terjaga. Akses air minum bersih, sanitasi yang kuat, higienitas saat mengolah makanan, dan vaksinasi tifoid efektif mencegah terjadinya infeksi penyakit ini. Vaksinasi tifoid direkomendasikan untuk anak berusia 2 tahun dan orang dewasa sampai usia 45 hingga 65 tahun tergantung dari jenis vaksin yang digunakan.
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah infeksi bakteri Salmonella typhi antara lain memasak makanan sampai matang, menghindari susu mentah dan mengonsumsi susu pasteurisasi atau susu steril, menghindari konsumsi es batu yang tidak jelas sumber airnya, mengonsumsi air minum yang steril atau sudah dimasak, mencuci tangan menggunakan air mengalir dan sabun sebelum mengolah makanan dan sebelum makan, mencuci sayur dan buah dengan benar.
3. Intoleransi Laktosa
Tak sedikit orang tua yang keliru menyamakan intoleransi laktosa dan alergi susu sapi. Meskipun keduanya menunjukkan gejala yang sama, tetapi pada dasarnya kedua masalah ini jelas berbeda. Intoleransi laktosa adalah masalah pencernaan, sedangkan alergi susu sapi melibatkan sistem imun. Meskipun intoleransi laktosa menimbulkan rasa ketidaknyamanan, tetapi tidak akan menimbulkan kondisi yang mengancam nyawa seperti kejadian syok anafilaksis.Laktosa adalah gugus gula yang terdapat pada susu dan produk turunannya seperti yogurt dan keju. Sementara produk turunan laktosa lainnya ada roti, sereal, serta makanan kemasan yang mengandung susu dan keju.
Gejala intoleransi laktosa tergantung dari jumlah yang dikonsumsi dan jumlah yang dapat ditolerir oleh tubuh. Semakin banyak produk laktosa dikonsumsi, maka semakin berat gejala yang timbul. Gejala yang mungkin terjadi di antaranya mual, nyeri perut, keram, kembung, serta BAB cair dan mengandung banyak gas.
Baca juga: Ini Pentingnya Nutrisi Seimbang bagi Perkembangan Otak & Saluran Pencernaan Anak
Apabila diperlukan, penanganan intoleransi laktosa dapat dilakukan dengan pemberian suplementasi enzim laktase. Selain itu, berikan suplementasi kalsium dan vitamin D jika anak kurang dapat mengonsumsi produk susu dalam jumlah yang cukup. Pada beberapa kasus, intoleransi laktosa sifatnya sementara. Namun pada sebagian orang, intoleransi laktosa dapat berlangsung seumur hidup sehingga memerlukan bimbingan nutrisi agar kecukupan kalsium dan vitamin D3 dapat terpenuhi.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.