Review Film Glenn Fredly The Movie: Kisah Hidup Musisi Legendaris yang Penuh Haru
25 April 2024 |
15:30 WIB
1
Like
Like
Like
Mendiang Glenn Fredly adalah musisi yang percaya bahwa musik tak hanya sekadar hiburan, tetapi juga bisa jadi alat persatuan. Melalui musik, Glenn Fredly dikenal sebagai musisi yang banyak menyuarakan isu-isu sosial dan kemanusiaan ke lebih banyak orang.
Glenn adalah terang di balik gemerlap industri hiburan yang kerap kali hanya berorientasi pada materialistik. Namun, bagaimana bila sinar terang itu perlahan justru malah membakar orang-orang yang ada di sekitarnya?
Baca juga: Pesan dari Sutradara Lukman Sardi, Begini Cara Terbaik Menikmati Film Glenn Fredly the Movie
Premis ini menjadi fondasi kuat sutradara Lukman Sardi mengolah kisah hidup musisi legendaris bertajuk Glenn Fredly the Movie. Alih-alih hanya menunjukkan sisi bintang atau heroiknya sang musisi, Lukman justru menyoroti sisi ‘manusia’ dari Glenn yang bisa jadi pernah melakukan kesalahan.
Layaknya manusia lain, dari kejadian-kejadian itu Glenn juga belajar dan terus berproses. Itulah yang membuat sekarang yang meski raganya sudah tak lagi ada, jiwa dan semangatnya masih terus lestari dan berkelindan menjadi warna-warna baru.
Film Glenn Fredly the Movie dibuka dengan konsep semi dokumenter. Sepasang penyiar radio membicarakan album dan musik karya-karya Glenn Fredly. Suara dari penyiar tersebut ditubruk dengan visual kota Jakarta era 90-an yang tengah bergejolak dan menuju transisi baru.
Glenn memang memulai karier bermusiknya sekitar era 1995. Masa ini adalah era-era krusial dan penuh dinamika sebelum akhirnya rezim Orde Baru runtuh. Pada era ini, tak hanya Jakarta, daerah lain juga bergejolak. Tak jarang, terjadi kerusuhan yang bahkan menyeret isu agama, seperti yang terjadi di Ambon, kota kelahiran asal Glenn.
Dengan visual pembuka seperti ini, Lukman mencoba memberi waktu bagi para penontonnya untuk bernostalgia pada masa-masa awal karier Glenn di dunia musik. Selain itu, bagi generasi sekarang, yang mungkin tak sempat menikmati karya Glenn sejak lama, juga bisa mengerti akar dari karier Glenn dimulai.
Visual seperti ini juga tampak jadi bahasa sinema ala Lukman untuk menunjukkan kepada penonton, periode waktu dan peristiwa yang dialami oleh seseorang, sangat berpengaruh pada sikap maupun pandangannya.
Memulai karier di era yang penuh dinamika membuat Glenn barang kali sadar akan pentingnya persatuan. Dia yang adalah musisi kemudian memanfaatkan bakatnya dari Tuhan untuk mencoba merangkai kembali persatuan.
Glenn pun menunjukkan upaya itu sepanjang hidupnya. Di film ini, semua momentum ikonik dari Glenn diperlihatkan dengan baik. Semangat Glenn pada kemanusiaan yang tinggi membuatnya banyak dicintai oleh para penggemarnya.
Akan tetapi, Glenn muda tampaknya punya sisi idealisme yang tinggi. Padahal, idealis tanpa modal adalah omong kosong. Dinamika ini kemudian menjadi bumbu cerita menarik pada fase-fase awal film.
Glenn yang punya mimpi besar terhadap persatuan dibuat lupa pada apa yang sebenarnya juga penting baginya. Perlahan, penonton akan mulai ditarik pada permasalahan lain dari hidup Glenn yang lebih kompleks.
Kehidupan Glenn, dengan status bintang besar, rupanya tak membuat kondisi finansialnya baik. Kehidupan cinta Glenn dengan beberapa wanita yang ditemui selama hidupnya, rupanya juga tak berjalan baik.
Pamor besar yang didapat Glenn rupanya tak membuatnya bisa mendapat banyak hal. Kisah cintanya banyak yang kandas. Mimpinya bermain musik untuk persatuan juga tak selalu seperti yang diinginkannya.
Saat Glenn makin terpojok dan bingung terhadap hidupnya, tak ada benar-benar jalan pulang baginya. Keluarga yang seharusnya jadi tempat terakhir mengadu, rupanya tak terjadi. Glenn yang sedari remaja harus bersitegang dengan ayahnya menjadi alasannya.
Film ini pun sukses menunjukkan kompleksitas kehidupan Glenn yang penuh liku. Di balik gemerlap panggung hiburan, Glenn adalah manusia biasa yang punya banyak masalah.
Di luar kompleksitas cerita, hal menarik dari film ini tentu saja adalah departemen akting. Marthino Lio yang berperan sebagai Glenn Fredly patut diacungi jempol. Penampilannya di film ini tak hanya memukau, tetapi juga mampu menunjukkan kedalaman akting yang luar biasa.
Lio berhasil menerjemahkan rangkaian emosi dari Glenn dalam mengarungi setiap fase kehidupannya. Rasanya, Glenn Fredly ‘hidup’ lagi di film ini. Cara bicara Glenn yang lembut, senyumnya yang khas, dialek Ambon, dan bahasa tubuhnya di atas panggung berhasil ditiru oleh Lio dengan baik.
Selain itu, Bucek Depp berperan sebagai Hengky David Latuihamallo, ayah dari Bung Glenn, juga patut mendapat apresiasi serupa. Chemistry dan sisi emosional dari hubungan tak akur ayah dan anak dieksplorasi dengan baik oleh keduanya.
Kemudian, pemilihan lagu-lagu Glenn Fredly yang dimunculkan di film ini juga menarik. Lagu tersebut menambah kedalaman cerita karena punya makna yang serupa dengan kejadian yang sedang dialami oleh para karakternya.
Terkadang, lagu tersebut juga jadi bahasa lain dari karakter tersebut untuk mengekspresikan isi hatinya. Sepanjang film, penonton pun seolah diajak untuk menyanyikan lagu-lagu hit dari Bung Glenn.
Akhirnya, melalui film ini, penonton dapat bernostalgia sekaligus mengambil pelajaran hidup dari kisah musisi legendaris Indonesia. Ada banyak kisah tak terungkap dan detail-detail kecil yang akhirnya tersaji di film ini.
Melalui film ini, mimpi-mimpi Glenn pun akan terus berlipat ganda dan diteruskan oleh para penggemarnya dan generasi seterusnya. Visi keras dari bung Glenn menjadi semangat baru yang patut untuk ditiru.
Satu hal yang kiranya menjadi kekurangan di film ini adalah eksplorasi kehidupan cinta bung Glenn. Rasanya, kompleksitas cerita yang coba disuguhkan di film ini membuat beberapa hal jadi tak tersorot dengan baik.
Kisah cinta bung Glenn dengan beberapa perempuan, yang sebenarnya punya peran besar juga dalam kehidupannya, termasuk lagu-lagu hit yang diciptakannya, kurang tergali dengan sempurna.
Beberapa kali, adegan yang seharusnya memunculkan emosi dan pengaruh besar, tak tersampaikan dengan baik. Sebab, proses penggalian emosi atau bank data cerita kisah cintanya minim dieksplorasi secara mendalam.
Namun, di luar itu, film ini tentu patut untuk ditonton. Seperti yang sering diungkapkan Lukman Sardi, film ini bukan sekadar biopik, melainkan film tentang manusia.
Film Glenn Fredly The Movie persembahan dari Time International Films yang diproduksi oleh DAMN! I Love Indonesia Pictures bekerja sama dengan Adhya Pictures ini tayang di bioskop pada 25 April 2024.
Baca juga: Glenn Fredly The Movie, Suguhkan Cerita Lika-liku Hidup & Kisah Cinta Haru Sang Musisi
Editor: Dika Irawan
Glenn adalah terang di balik gemerlap industri hiburan yang kerap kali hanya berorientasi pada materialistik. Namun, bagaimana bila sinar terang itu perlahan justru malah membakar orang-orang yang ada di sekitarnya?
Baca juga: Pesan dari Sutradara Lukman Sardi, Begini Cara Terbaik Menikmati Film Glenn Fredly the Movie
Premis ini menjadi fondasi kuat sutradara Lukman Sardi mengolah kisah hidup musisi legendaris bertajuk Glenn Fredly the Movie. Alih-alih hanya menunjukkan sisi bintang atau heroiknya sang musisi, Lukman justru menyoroti sisi ‘manusia’ dari Glenn yang bisa jadi pernah melakukan kesalahan.
Layaknya manusia lain, dari kejadian-kejadian itu Glenn juga belajar dan terus berproses. Itulah yang membuat sekarang yang meski raganya sudah tak lagi ada, jiwa dan semangatnya masih terus lestari dan berkelindan menjadi warna-warna baru.
Film Glenn Fredly the Movie dibuka dengan konsep semi dokumenter. Sepasang penyiar radio membicarakan album dan musik karya-karya Glenn Fredly. Suara dari penyiar tersebut ditubruk dengan visual kota Jakarta era 90-an yang tengah bergejolak dan menuju transisi baru.
Glenn memang memulai karier bermusiknya sekitar era 1995. Masa ini adalah era-era krusial dan penuh dinamika sebelum akhirnya rezim Orde Baru runtuh. Pada era ini, tak hanya Jakarta, daerah lain juga bergejolak. Tak jarang, terjadi kerusuhan yang bahkan menyeret isu agama, seperti yang terjadi di Ambon, kota kelahiran asal Glenn.
Dengan visual pembuka seperti ini, Lukman mencoba memberi waktu bagi para penontonnya untuk bernostalgia pada masa-masa awal karier Glenn di dunia musik. Selain itu, bagi generasi sekarang, yang mungkin tak sempat menikmati karya Glenn sejak lama, juga bisa mengerti akar dari karier Glenn dimulai.
Visual seperti ini juga tampak jadi bahasa sinema ala Lukman untuk menunjukkan kepada penonton, periode waktu dan peristiwa yang dialami oleh seseorang, sangat berpengaruh pada sikap maupun pandangannya.
Memulai karier di era yang penuh dinamika membuat Glenn barang kali sadar akan pentingnya persatuan. Dia yang adalah musisi kemudian memanfaatkan bakatnya dari Tuhan untuk mencoba merangkai kembali persatuan.
Glenn pun menunjukkan upaya itu sepanjang hidupnya. Di film ini, semua momentum ikonik dari Glenn diperlihatkan dengan baik. Semangat Glenn pada kemanusiaan yang tinggi membuatnya banyak dicintai oleh para penggemarnya.
Akan tetapi, Glenn muda tampaknya punya sisi idealisme yang tinggi. Padahal, idealis tanpa modal adalah omong kosong. Dinamika ini kemudian menjadi bumbu cerita menarik pada fase-fase awal film.
Glenn yang punya mimpi besar terhadap persatuan dibuat lupa pada apa yang sebenarnya juga penting baginya. Perlahan, penonton akan mulai ditarik pada permasalahan lain dari hidup Glenn yang lebih kompleks.
Kehidupan Glenn, dengan status bintang besar, rupanya tak membuat kondisi finansialnya baik. Kehidupan cinta Glenn dengan beberapa wanita yang ditemui selama hidupnya, rupanya juga tak berjalan baik.
Pamor besar yang didapat Glenn rupanya tak membuatnya bisa mendapat banyak hal. Kisah cintanya banyak yang kandas. Mimpinya bermain musik untuk persatuan juga tak selalu seperti yang diinginkannya.
Saat Glenn makin terpojok dan bingung terhadap hidupnya, tak ada benar-benar jalan pulang baginya. Keluarga yang seharusnya jadi tempat terakhir mengadu, rupanya tak terjadi. Glenn yang sedari remaja harus bersitegang dengan ayahnya menjadi alasannya.
Film ini pun sukses menunjukkan kompleksitas kehidupan Glenn yang penuh liku. Di balik gemerlap panggung hiburan, Glenn adalah manusia biasa yang punya banyak masalah.
Di luar kompleksitas cerita, hal menarik dari film ini tentu saja adalah departemen akting. Marthino Lio yang berperan sebagai Glenn Fredly patut diacungi jempol. Penampilannya di film ini tak hanya memukau, tetapi juga mampu menunjukkan kedalaman akting yang luar biasa.
Lio berhasil menerjemahkan rangkaian emosi dari Glenn dalam mengarungi setiap fase kehidupannya. Rasanya, Glenn Fredly ‘hidup’ lagi di film ini. Cara bicara Glenn yang lembut, senyumnya yang khas, dialek Ambon, dan bahasa tubuhnya di atas panggung berhasil ditiru oleh Lio dengan baik.
Selain itu, Bucek Depp berperan sebagai Hengky David Latuihamallo, ayah dari Bung Glenn, juga patut mendapat apresiasi serupa. Chemistry dan sisi emosional dari hubungan tak akur ayah dan anak dieksplorasi dengan baik oleh keduanya.
Kemudian, pemilihan lagu-lagu Glenn Fredly yang dimunculkan di film ini juga menarik. Lagu tersebut menambah kedalaman cerita karena punya makna yang serupa dengan kejadian yang sedang dialami oleh para karakternya.
Terkadang, lagu tersebut juga jadi bahasa lain dari karakter tersebut untuk mengekspresikan isi hatinya. Sepanjang film, penonton pun seolah diajak untuk menyanyikan lagu-lagu hit dari Bung Glenn.
Akhirnya, melalui film ini, penonton dapat bernostalgia sekaligus mengambil pelajaran hidup dari kisah musisi legendaris Indonesia. Ada banyak kisah tak terungkap dan detail-detail kecil yang akhirnya tersaji di film ini.
Melalui film ini, mimpi-mimpi Glenn pun akan terus berlipat ganda dan diteruskan oleh para penggemarnya dan generasi seterusnya. Visi keras dari bung Glenn menjadi semangat baru yang patut untuk ditiru.
Satu hal yang kiranya menjadi kekurangan di film ini adalah eksplorasi kehidupan cinta bung Glenn. Rasanya, kompleksitas cerita yang coba disuguhkan di film ini membuat beberapa hal jadi tak tersorot dengan baik.
Kisah cinta bung Glenn dengan beberapa perempuan, yang sebenarnya punya peran besar juga dalam kehidupannya, termasuk lagu-lagu hit yang diciptakannya, kurang tergali dengan sempurna.
Beberapa kali, adegan yang seharusnya memunculkan emosi dan pengaruh besar, tak tersampaikan dengan baik. Sebab, proses penggalian emosi atau bank data cerita kisah cintanya minim dieksplorasi secara mendalam.
Namun, di luar itu, film ini tentu patut untuk ditonton. Seperti yang sering diungkapkan Lukman Sardi, film ini bukan sekadar biopik, melainkan film tentang manusia.
Film Glenn Fredly The Movie persembahan dari Time International Films yang diproduksi oleh DAMN! I Love Indonesia Pictures bekerja sama dengan Adhya Pictures ini tayang di bioskop pada 25 April 2024.
Baca juga: Glenn Fredly The Movie, Suguhkan Cerita Lika-liku Hidup & Kisah Cinta Haru Sang Musisi
Editor: Dika Irawan
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.