Pengunjung tampak mengamati berbagai sampul piringan hitam dalam pameran No Music, Noise! di Yayasan Matawaktu (sumber gambar Hypeabis.id/Prasetyo Agung Ginanjar)

Pameran No Music, Noise!, Refleksi Sejarah Audio Visual Musik Indonesia & Dunia 

25 April 2024   |   16:30 WIB
Image
Prasetyo Agung Ginanjar Jurnalis Hypeabis.id

Musik, sebagai media ekspresi, telah menjadi bagian penting dalam perkembangan budaya dan peradaban modern Indonesia. Keberadaan musik bahkan telah menyatu dalam jiwa setiap warga negara, jauh sebelum janin Republik Indonesia dilahirkan, dan masih dalam bentuk pencarian ide dan konsep kenegaraan lewat penciptaan lagu Indonesia Raya pada 1928.

Yayasan Riset Visual Matawaktu berkolaborasi dengan Getback Parlour mencoba menampilkan kelindan tersebut dalam pameran No Music, Noise! pada 20 April sampai 5 Mei 2024. Memanfaatkan momentum Record Store Day (RSD) ekshibisi ini mencoba menghadirkan sederet sampul piringan hitam atau vinyl dari musisi Indonesia dan dunia.

Founder Matawaktu, Oscar Motuloh mengatakan, tajuk No Music, Noise! dipilih karena pameran ini menitikberatkan pada kelahiran subkultur lagu-lagu pop dunia yang awalnya merilis album fisik. Ini diwakili dengan peredaran album Beatles, Sgt.Peppers Lonely Heart Club Band, pada Mei 1967 yang kelak mempengaruhi generasi bunga secara global.

Baca Juga: Pameran No Music, Noise! Hadirkan Sampul Vinyl Album Populer Dunia

Oscar menjelaskan, sejak digulirkan pada 2007, momentum peringatan Record Store Day memang terus meluas ke berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia. Para pegiat merasa perlu untuk merawat, mengapresiasi, sekaligus menjaga eksistensi segala bentuk rilisan fisik album musik karya para musisi dunia.

 

agahaj

Pengunjung mengamati berbagai sampul piringan hitam dalam pameran  No Music, Noise! di Yayasan Matawaktu  (sumber gambar Hypeabis.id/Prasetyo Agung Ginanjar)
 

Ihwal inilah yang juga turut memengaruhi pasang surut penjualan album musik dalam berbagai medium seperti compact disk (CD), kaset, dan piringan hitam. Di Indonesia, rilisan album fisik, khususnya vinyl juga populer kembali di kalangan anak-anak muda sebagai bentuk klangenan. Sebab, vinyl memiliki estetika visual yang tidak dimiliki CD atau kaset.

Selain itu, karena ukurannya yang cukup besar vinyl pun bisa dieksplorasi oleh pekerja kreatif. "Dari segi tampilan, vinyl juga memperlihatkan kolaborasi kolektif, baik dari musik, desainer, dan fotografer. Ihwal inilah yang ingin didorong dari momentum tersebut," katanya.

Menurut Oscar, kendati pengelanaan musik pop Indonesia berlangsung penuh drama, tapi subkultur ini menemukan jati dirinya sendiri. Ini dipengaruhi kebijakan Orde Lama yang anti musik Barat, dan Orde Baru yang bersikap sebaliknya, yang terefleksi dalam perilisan rekaman Kus Bersaudara dan Dara Puspita.

Arkian, puncak musikalitas pop Indonesia ditandai dengan kehadiran album Guruh Gipsy pada 1977. Musikalitas fine-dining yang diprakarsai Guruh Soekarnoputra dan Geng Pegangsaan itu, kelak juga  menjadi salah satu tonggak yang memberi warna baru bagi khasanah musik di Tanah Air hingga era kiwari.

Guruh Gipsy yang dimotori Chrisye (bass), Keenan (drum), Gauri (gitar), Tammy Daudsyah (flute dan saksofon), Atut Harahap (vokal), dan Onan Soesilo (organ) berhasil meleburkan musik Barat dan tradisi Indonesia. Yaitu dengan memilih musik bali sebagai fondasi utama dalam mengeksplorasi musik rock dan tradisi.
 

haha

Sampul album vinyl, kaset, dan buku Guruh Gipsy (sumber gambar Hypeabis.id Eusebio Chrysnamurti)

Dewan Pengawas Yayasan Matawaktu, Jay Subiakto mengatakan, album Guruh Gipsy memang tidak ada duanya. Sebab selain dari segi musikalitas, album tersebut juga dibuat dengan bernas, baik dari segi pengemasan sampul, hingga pembuatan buku yang merefleksikan idealisme dari para musisi di dalamnya.

Rekaman album juga tak hanya melibatkan personil Guruh Gipsy semata. Namun juga melibatkan sederet musisi seperti, Trisutji Kamal (piano), I Gusti Kompyang Raka dan kelompok gamelan Saraswati Bali. Ada pula paduan suara yang dikomandoi Rugun dan Bornok Hutauruk, hingga pemain musik kamar macam Amir Katamsi (kontrabass).

"Saya kagum banget dengan Guruh Gipsy. Sebab, Guruh waktu itu baru umur 25 tahun saat membuat album ini. Ironisnya, album vinyl yang sekarang beredar itu hasil bajakan record label dari Jerman karena rekaman asli pitanya hilang," katanya.

Selain pameran dan penjualan koleksi vinyl, ekshibisi ini juga akan meneroka lebih jauh mengenai tradisi sejarah perilisan album fisik di Tanah Air. Salah satunya lewat diskusi publik dengan mengundang musisi hingga pekerja kreatif lain untuk membagikan pengalaman mereka dalam berkarya. 

Adapun, pameran ini turut menghadirkan koleksi dari Awan Simatupang, Hari Pochang, Indra Ameng, Indra Malaon, dan Jay Subyakto. Selain itu, ada pula koleksi Oscar Motuloh, Ridho Hafiedz, Tony Prabowo, Zaindra Zainal, dan Zummar Muzammil yang dipacak untuk menyibak jalan dengan pelita lintas budaya audio di Tanah Air.

Baca Juga: God Bless Rilis Vinyl Eksklusif Album Anthology di Record Store Day Indonesia

Editor: M. Taufikul Basari

SEBELUMNYA

Sekolah Musik Klasik Tertua di Indonesia Suguhkan Konser Musikal Memeluk Mimpi-Mimpi

BERIKUTNYA

Review Film Glenn Fredly The Movie: Kisah Hidup Musisi Legendaris yang Penuh Haru

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: