Biografi R.A. Kartini, Pejuang Emansipasi Wanita Indonesia
21 April 2024 |
11:23 WIB
Setiap tahun pada 21 April, Indonesia memperingati Hari Kartini guna mengenang jasa-jasa Raden Ajeng Kartini. Wanita kelahiran 1879 itu merupakan pejuang yang berupaya membuat wanita memiliki kesempatan setara dengan pria, terutama terkait pendidikan.
Raden Ajeng Kartini merupakan wanita bangsawan yang lahir pada 21 April 1879 dari pasangan Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat dan Ngasirah di sebuah kota kecil bernama Mayong, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.
Dikutip dari buku RA Kartini karya Tashadi, melalui laman Repositori Kemendikbudristek, Kartini tinggal di tanah tempat kelahirannya tidak lama. Pada 1881, Kartini kecil pindah ke kota Jepara setelah sang ayah mendapatkan jabatan sebagai Bupati Jepara.
Baca juga: Kumpulan Ucapan Selamat Hari Kartini 2024 untuk Para Perempuan Inspiratif
Saat memasuki usia sekolah, Kartini sebagai anak seorang bangsawan mendapatkan keberuntungan yang tidak bisa dinikmati oleh anak-anak pada saat itu. Sang ayah yang memiliki pandangan maju dan memiliki kedudukan memutuskan untuk memasukkan anaknya ke sekolah.
Kartini yang kerap disapa Trinil menempuh pendidikan di sekolah berbahasa Belanda. Tidak hanya itu, tempatnya menempuh ilmu itu juga bukan lembaga pendidikan sembarangan lantaran hanya menerima anak-anak keluarga pegawai dan bangsawan. Di tempat itu, dia bertemu dengan anak-anak Belanda dan keturunan Indonesia-Belanda.
Langkah sang ayah menyekolahkan Kartini sebenarnya merupakan bentuk pelanggaran terhadap adat yang ada pada masa itu. Sebab ketika itu, anak gadis seharusnya tetap tinggal di rumah. Namun, bagi sang ayah, pendidikan merupakan hal yang sangat penting.
Dia juga berusaha untuk memajukan penduduknya karena menilai pendidikan sangat berguna bagi individu dalam bertahan hidup. Bukan tanpa alasan, sang Bupati menilai bahwa pemerintah tidak akan sanggup menyediakan nasi kepada masyarakatnya.
“Tetapi pemerintah dapat memberikan daya upaya, supaya orang Jawa dapat mencari dan mengusahakan makanan itu. Daya upaya itu ialah pengajaran. Memberikan pengajaran yang baik kepada bumiputra, sama halnya dengan pemerintah memberikan ‘suluh’ ke dalam tangannya, agar supaya dia dapat mencari sendiri yang yang benar,” katanya dalam nota yang ditujukan kepada pemerintah.
Satu waktu, temannya bertanya tentang cita-citanya setelah menempuh pendidikan. Pertanyaan ini membuatnya tersadar bahwa selama ini dia tidak memiliki cita-cita dan belum memikirkan tentang masa depannya.
Alih-alih menjawab pertanyaan dari sang teman, Kartini kecil justru hanya terdiam. Dia mendapatkan kesan yang sangat dalam tentang cita-cita. Lebih dari itu, pertanyaan sederhana itu terus “bergema” dalam kepalanya.
Pertanyaan itu juga yang membuatnya tersadar akan kedudukannya sebagai seorang wanita dalam adat masyarakat yang berlaku. Dia pun berpikir lebih luas dengan memikirkan nasib perempuan pada masa yang akan datang.
Kegelisahan yang berkecamuk dalam hati membuat Kartini bertanya kepada sang ayah tentang apa yang harus dikerjakan setelah sekolah dan cita-citanya. Pertanyaan itu membuat Raden Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat terkejut dan mengerutkan keningnya.
Sang ayah tidak menyangka jika pertanyaan itu bisa terlontar dari mulut Kartini yang masih kecil. Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat tidak langsung menjawab. Namun, tidak demikian dengan saudaranya yang ikut mendengar.
Sang saudara mengungkapkan bahwa Kartini akan menjadi Raden Ayu, yakni gelar yang diberikan kepada perempuan jawa yang menjadi istri seorang bangsawan seperti bupati atau wedana.
Kartini pada awalnya antusias mencoba memahami tugas seorang Raden Ayu dengan melihat kehidupan sang ibu dan wanita di sekitarnya. Namun, lama-kelamaan, dia melihat bayang-bayang suram tentang kehidupan sebagai Raden Ayu.
Dia menilai menjadi Raden Ayu tidak menyenangkan lantaran tidak bebas dalam menentukan langkah dan harus “terpenjara” oleh adat. Kondisi ini membuatnya hatinya tidak senang dan memilih untuk memberontak untuk lepas dari ikatan adat.
Di sisi lain, Kartini harus mendapatkan perlakuan berbeda ketika sekolah. Bahasa Belanda yang digunakan sebagai pengantar membuatnya mengalami kesulitan menerima pelajaran. Dia kerap menggunakan bahasa Melayu ketika berbincang dengan teman dari negara lain.
Meskipun begitu, dia dapat tetap mengikuti pelajaran dengan ketekunan, kerja keras, dan kecerdasan yang dimiliki. Selain belajar di sekolah, Kartini juga mendapatkan pelajaran di rumah tentang banyak hal, seperti bahasa Jawa, masak, jahit, sulam, agama, dan sebagainya.
Sebagai anak pandai dan rajin membaca, Kartini tumbuh menjadi sosok yang haus akan ilmu dan memiliki pengetahuan yang mumpuni. Dia tidak ingin kalah dengan anak-anak dari Eropa.
Baca juga: Sejarah & Cara Sederhana Memperingati Hari Kartini 2023, Yuk Jadi Kartini Masa Kini
Seperti gadis usia 12 tahun pada umumnya di Jawa kala itu, Kartini harus mengalami situasi tersebut. Sebagai seorang putri bangsawan, segala tindakannya menjadi contoh bagi masyarakat. Dengan begitu, dia selalu tinggal di rumah sampai ada yang melamarnya.
Kondisi ini membuatnya tertekan. Pertanyaan pun dilontarkannya kepada sang ayah tentang keinginannya melanjutkan pendidikan dan menuntut ilmu. Sang ayah yang memiliki pemikiran maju merasa sedih.
Di satu sisi dia memiliki pemikiran maju dan mengamini pendidikan sangat penting. Namun, di sisi lain, ada adat di masyarakat yang tidak berani dilanggarnya, sehingga sang ayah memutuskan untuk menolaknya.
Kartini yang merasa sedih mengungkapkannya dalam sebuah tulisan. Sang wanita juga menumpahkan keluh kesahnya melalui surat ke temannya yang bernama Stella. Seorang teman bernama Letsy yang mengajukan pertanyaan tentang cita-cita juga kerap datang dan menjadi pelipur kesedihannya.
Sang ayah yang mengetahui kesedihan Kartini kerap memberikannya buku. Tidak hanya itu, dia juga menyarankannya untuk berkirim surat kepada teman-temannya yang berada di Belanda. Nasihat ini membuatnya tergugah.
Dia segera mengirimkan surat dan mendapatkan balasan. Gairahnya yang sempat padam seketika kembali menyala. Kartini pun mulai banyak mencurahkan isi hatinya kepada teman-teman melalui surat. Seiring perjalanan waktu, kehidupan sehari-harinya diisi dengan membaca dan menulis. Kartini membaca banyak buku dengan berbagai tema.
Dia menyadari kekejaman Belanda terhadap rakyat Indonesia melalui buku. Dia juga membaca buku yang berisi tentang perjuangan wanita, seperti Moderne Vrouwen, Modern Maagden, dan sebagainya.
Saat usia 16 tahun, Kartini mendapatkan pelonggaran atas pingitan yang dijalaninya. Dia dapat keluar rumah dan memiliki kebebasan meskipun tidak sesuai dengan yang diinginkan. Bersama dengan kedua adiknya, yakni Roekmini dan Kardinah, dia pergi ke daerah lain untuk melihat keadaan.
Sang wanita juga beberapa kali kerap mengutarakan keinginannya belajar ke Belanda dan mendapatkan beasiswa. Salah satu di antaranya ketika bertemu parlemen Belanda bernama Van Kol datang ke Hindia Belanda.
Niat itu kemudian diurungkannya setelah mendapatkan nasihat dari Tuan Abendanon da memilih belajar di Batavia. Dia mengirim surat ke pemerintah Hindia Belanda untuk itu dan mendirikan sekolah untuk perempuan di daerahnya sambil menunggu permohonan beasiswanya.
Permohonan itu berbalas. Keinginannya untuk sekolah di Batavia dikabulkan. Namun, dia tengah mempersiapkan pernikahan setelah mendapatkan lamaran dari Raden Adipati Jayahadiningrat. Dia memilih tidak mengambil kesempatan dan tetap menikah untuk bersama-sama dengan sang suami berjuang mewujudkan cita-cita yang dapat menyelamatkan bangsa.
Baca juga: Hypereport: 10 Sosok 'Kartini' Indonesia Paling Berpengaruh di Dunia
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Raden Ajeng Kartini merupakan wanita bangsawan yang lahir pada 21 April 1879 dari pasangan Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat dan Ngasirah di sebuah kota kecil bernama Mayong, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.
Dikutip dari buku RA Kartini karya Tashadi, melalui laman Repositori Kemendikbudristek, Kartini tinggal di tanah tempat kelahirannya tidak lama. Pada 1881, Kartini kecil pindah ke kota Jepara setelah sang ayah mendapatkan jabatan sebagai Bupati Jepara.
Baca juga: Kumpulan Ucapan Selamat Hari Kartini 2024 untuk Para Perempuan Inspiratif
Saat memasuki usia sekolah, Kartini sebagai anak seorang bangsawan mendapatkan keberuntungan yang tidak bisa dinikmati oleh anak-anak pada saat itu. Sang ayah yang memiliki pandangan maju dan memiliki kedudukan memutuskan untuk memasukkan anaknya ke sekolah.
Kartini yang kerap disapa Trinil menempuh pendidikan di sekolah berbahasa Belanda. Tidak hanya itu, tempatnya menempuh ilmu itu juga bukan lembaga pendidikan sembarangan lantaran hanya menerima anak-anak keluarga pegawai dan bangsawan. Di tempat itu, dia bertemu dengan anak-anak Belanda dan keturunan Indonesia-Belanda.
Langkah sang ayah menyekolahkan Kartini sebenarnya merupakan bentuk pelanggaran terhadap adat yang ada pada masa itu. Sebab ketika itu, anak gadis seharusnya tetap tinggal di rumah. Namun, bagi sang ayah, pendidikan merupakan hal yang sangat penting.
Dia juga berusaha untuk memajukan penduduknya karena menilai pendidikan sangat berguna bagi individu dalam bertahan hidup. Bukan tanpa alasan, sang Bupati menilai bahwa pemerintah tidak akan sanggup menyediakan nasi kepada masyarakatnya.
“Tetapi pemerintah dapat memberikan daya upaya, supaya orang Jawa dapat mencari dan mengusahakan makanan itu. Daya upaya itu ialah pengajaran. Memberikan pengajaran yang baik kepada bumiputra, sama halnya dengan pemerintah memberikan ‘suluh’ ke dalam tangannya, agar supaya dia dapat mencari sendiri yang yang benar,” katanya dalam nota yang ditujukan kepada pemerintah.
RA Kartini (Sumber gambar: Wikimedia Commons)
Cita-cita & Raden Ayu
Bagi Kartini, sekolah merupakan tempat yang menyenangkan lantaran dapat memiliki banyak teman, sahabat, dan kenalan. Tidak hanya itu, dia dapat dengan bebas bergaul. Dari pertemanan itu, pengetahuannya tentang budaya negara lain terbuka-terutama mengenai wanita.Satu waktu, temannya bertanya tentang cita-citanya setelah menempuh pendidikan. Pertanyaan ini membuatnya tersadar bahwa selama ini dia tidak memiliki cita-cita dan belum memikirkan tentang masa depannya.
Alih-alih menjawab pertanyaan dari sang teman, Kartini kecil justru hanya terdiam. Dia mendapatkan kesan yang sangat dalam tentang cita-cita. Lebih dari itu, pertanyaan sederhana itu terus “bergema” dalam kepalanya.
Pertanyaan itu juga yang membuatnya tersadar akan kedudukannya sebagai seorang wanita dalam adat masyarakat yang berlaku. Dia pun berpikir lebih luas dengan memikirkan nasib perempuan pada masa yang akan datang.
Kegelisahan yang berkecamuk dalam hati membuat Kartini bertanya kepada sang ayah tentang apa yang harus dikerjakan setelah sekolah dan cita-citanya. Pertanyaan itu membuat Raden Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat terkejut dan mengerutkan keningnya.
Sang ayah tidak menyangka jika pertanyaan itu bisa terlontar dari mulut Kartini yang masih kecil. Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat tidak langsung menjawab. Namun, tidak demikian dengan saudaranya yang ikut mendengar.
Sang saudara mengungkapkan bahwa Kartini akan menjadi Raden Ayu, yakni gelar yang diberikan kepada perempuan jawa yang menjadi istri seorang bangsawan seperti bupati atau wedana.
Kartini pada awalnya antusias mencoba memahami tugas seorang Raden Ayu dengan melihat kehidupan sang ibu dan wanita di sekitarnya. Namun, lama-kelamaan, dia melihat bayang-bayang suram tentang kehidupan sebagai Raden Ayu.
Dia menilai menjadi Raden Ayu tidak menyenangkan lantaran tidak bebas dalam menentukan langkah dan harus “terpenjara” oleh adat. Kondisi ini membuatnya hatinya tidak senang dan memilih untuk memberontak untuk lepas dari ikatan adat.
Di sisi lain, Kartini harus mendapatkan perlakuan berbeda ketika sekolah. Bahasa Belanda yang digunakan sebagai pengantar membuatnya mengalami kesulitan menerima pelajaran. Dia kerap menggunakan bahasa Melayu ketika berbincang dengan teman dari negara lain.
Meskipun begitu, dia dapat tetap mengikuti pelajaran dengan ketekunan, kerja keras, dan kecerdasan yang dimiliki. Selain belajar di sekolah, Kartini juga mendapatkan pelajaran di rumah tentang banyak hal, seperti bahasa Jawa, masak, jahit, sulam, agama, dan sebagainya.
Sebagai anak pandai dan rajin membaca, Kartini tumbuh menjadi sosok yang haus akan ilmu dan memiliki pengetahuan yang mumpuni. Dia tidak ingin kalah dengan anak-anak dari Eropa.
Baca juga: Sejarah & Cara Sederhana Memperingati Hari Kartini 2023, Yuk Jadi Kartini Masa Kini
Hambatan Pendidikan & Berkirim Surat
Singkat cerita, dia lulus sekolah pada usia 12 tahun. Keinginannya untuk melanjutkan pendidikan begitu tinggi dan menggebu-gebu. Namun, adat yang memandang wanita seusianya sudah dewasa membuatnya tidak boleh ke mana-mana.Seperti gadis usia 12 tahun pada umumnya di Jawa kala itu, Kartini harus mengalami situasi tersebut. Sebagai seorang putri bangsawan, segala tindakannya menjadi contoh bagi masyarakat. Dengan begitu, dia selalu tinggal di rumah sampai ada yang melamarnya.
Kondisi ini membuatnya tertekan. Pertanyaan pun dilontarkannya kepada sang ayah tentang keinginannya melanjutkan pendidikan dan menuntut ilmu. Sang ayah yang memiliki pemikiran maju merasa sedih.
Di satu sisi dia memiliki pemikiran maju dan mengamini pendidikan sangat penting. Namun, di sisi lain, ada adat di masyarakat yang tidak berani dilanggarnya, sehingga sang ayah memutuskan untuk menolaknya.
Kartini yang merasa sedih mengungkapkannya dalam sebuah tulisan. Sang wanita juga menumpahkan keluh kesahnya melalui surat ke temannya yang bernama Stella. Seorang teman bernama Letsy yang mengajukan pertanyaan tentang cita-cita juga kerap datang dan menjadi pelipur kesedihannya.
Sang ayah yang mengetahui kesedihan Kartini kerap memberikannya buku. Tidak hanya itu, dia juga menyarankannya untuk berkirim surat kepada teman-temannya yang berada di Belanda. Nasihat ini membuatnya tergugah.
Dia segera mengirimkan surat dan mendapatkan balasan. Gairahnya yang sempat padam seketika kembali menyala. Kartini pun mulai banyak mencurahkan isi hatinya kepada teman-teman melalui surat. Seiring perjalanan waktu, kehidupan sehari-harinya diisi dengan membaca dan menulis. Kartini membaca banyak buku dengan berbagai tema.
Dia menyadari kekejaman Belanda terhadap rakyat Indonesia melalui buku. Dia juga membaca buku yang berisi tentang perjuangan wanita, seperti Moderne Vrouwen, Modern Maagden, dan sebagainya.
Saat usia 16 tahun, Kartini mendapatkan pelonggaran atas pingitan yang dijalaninya. Dia dapat keluar rumah dan memiliki kebebasan meskipun tidak sesuai dengan yang diinginkan. Bersama dengan kedua adiknya, yakni Roekmini dan Kardinah, dia pergi ke daerah lain untuk melihat keadaan.
Sang wanita juga beberapa kali kerap mengutarakan keinginannya belajar ke Belanda dan mendapatkan beasiswa. Salah satu di antaranya ketika bertemu parlemen Belanda bernama Van Kol datang ke Hindia Belanda.
Niat itu kemudian diurungkannya setelah mendapatkan nasihat dari Tuan Abendanon da memilih belajar di Batavia. Dia mengirim surat ke pemerintah Hindia Belanda untuk itu dan mendirikan sekolah untuk perempuan di daerahnya sambil menunggu permohonan beasiswanya.
Permohonan itu berbalas. Keinginannya untuk sekolah di Batavia dikabulkan. Namun, dia tengah mempersiapkan pernikahan setelah mendapatkan lamaran dari Raden Adipati Jayahadiningrat. Dia memilih tidak mengambil kesempatan dan tetap menikah untuk bersama-sama dengan sang suami berjuang mewujudkan cita-cita yang dapat menyelamatkan bangsa.
Baca juga: Hypereport: 10 Sosok 'Kartini' Indonesia Paling Berpengaruh di Dunia
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.