Tren Hustle Culture Bisa Ganggu Kesehatan Mental
29 August 2021 |
07:36 WIB
Sesuai dengan namanya, hustle culture adalah tekanan sosial untuk terus bekerja lebih keras, lebih cepat, dan lebih kuat di setiap bidang. Ini adalah gaya hidup yang mengidolakan sosok workaholic sukses, yang memicu seseorang untuk bekerja hingga tubuh tidak sanggup lagi untuk bergerak.
Cara hidup ini didorong oleh kapitalisme, dan perusahaan-perusahaan besar serta media sosial yang menormalisasi konsep kerja yang tidak sehat.
Ke mana pun kita melihat, orang-orang mengunggah dan membagikan bagian dari kerja keras atau hustle and grind mereka. Tidak jarang juga kita mendengar hal-hal seperti "sleep is for the weak" (tidur adalah untuk yang lemah), atau "never stop hustling" (tidak pernah berhenti bekerja keras).
Hal ini berpotensi menyebabkan orang merasa tertekan untuk bekerja terlalu keras karena pemikiran yang mendarah daging ini bahwa bekerja berlebihan berarti sukses dan satu-satunya cara untuk bertahan hidup di dunia ini.
Menurut psikolog dan tim konselor Riliv, Graheta Rara Purwasono, sebenarnya kesuksesan bisa tercapai melalui berbagai macam hal. Tidak serta merta hanya bekerja saja tanpa memperhatikan kondisi tubuh.
Gaya hidup hustle culture merusak work life balance sehingga berdampak buruk bagi kesehatan mental dan emosional.
Tren hustle culture ini hampir dialami oleh sebagian besar pekerja di berbagai perusahaan, terutama kalangan generasi millenial yang fresh graduate.
Cara hidup ini didorong oleh kapitalisme, dan perusahaan-perusahaan besar serta media sosial yang menormalisasi konsep kerja yang tidak sehat.
Ke mana pun kita melihat, orang-orang mengunggah dan membagikan bagian dari kerja keras atau hustle and grind mereka. Tidak jarang juga kita mendengar hal-hal seperti "sleep is for the weak" (tidur adalah untuk yang lemah), atau "never stop hustling" (tidak pernah berhenti bekerja keras).
Hal ini berpotensi menyebabkan orang merasa tertekan untuk bekerja terlalu keras karena pemikiran yang mendarah daging ini bahwa bekerja berlebihan berarti sukses dan satu-satunya cara untuk bertahan hidup di dunia ini.
Menurut psikolog dan tim konselor Riliv, Graheta Rara Purwasono, sebenarnya kesuksesan bisa tercapai melalui berbagai macam hal. Tidak serta merta hanya bekerja saja tanpa memperhatikan kondisi tubuh.
Gaya hidup hustle culture merusak work life balance sehingga berdampak buruk bagi kesehatan mental dan emosional.
Tren hustle culture ini hampir dialami oleh sebagian besar pekerja di berbagai perusahaan, terutama kalangan generasi millenial yang fresh graduate.
"Tuntutan kebutuhan hidup yang banyak mengharuskan mereka bekerja lebih keras supaya mendapatkan penghasilan besar meskipun mengesampingkan kesehatan diri sendiri," ujar Graheta.
Kendati demikian, dia mengemukakan bila pengaruh eksternal juga bisa memicu seseorang untuk menerapkan hustle culture.
Kalau ditinjau dari faktor eksternal, pemicunya yaitu penyataan dari orang-orang sukses.
"Memang tidak salah dengan mengonsumsi hal itu, tapi apabila sampai salah pemahaman, maka akan berakibat pada pemaksaan diri sendiri untuk gila bekerja," tambahnya.
Dampak buruknya mulai dari burnout (stress berat), kelelahan, dan lebih berbahaya lagi bisa menyebabkan kematian. Sudah banyak kasus kematian yang terjadi akibat hustle culture dalam dunia kerja.
Hustle culture kian melekat dan membentuk seseorang guna meninggalkan work life balance.
Terdapat 5 kiat untuk mengubah mindset jika hustle culture atau penggila kerja, bisa dikurangi demi menaikan kesehatan dan kebahagian diri sendiri:
1. Bekerjalah Untuk Hidup, Bukan Hidup Untuk Bekerja.
Terkadang sebagian orang mendedikasikan hidup untuk bekerja secara totalitas. Kalau berlangsung diluar batas, waktu akan terbuang secara cuma-cuma tanpa sempat memenuhi aktivitas lainnya.
Selesaikan pekerjaan dengan tepat waktu, tidak perlu berlebihan, lalu gunakan waktu luang selepas bekerja untuk beristirahat. Karena tubuh memiliki batas ketika sudah terasa lelah.
2. Berhenti Membandingkan Diri Sendiri Dengan Pencapaian Orang Lain.
Apapun pencapaian selama bekerja, sewajarnya patut untuk disyukuri. Membandingkan terhadap orang lain hanya menambah rasa iri yang berujung ambisi tanpa memikirkan risiko.
Coba lihat lagi ke belakang, masih banyak orang yang belum tentu bisa mendapatkan pencapaian atas hasil pekerjaan. Mensyukuri pencapaian saat ini membuat kamu lebih bahagia dalam hidup.
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.