Menikmati Visual Seni Masa Depan di Pameran Pemenang The 5th VH Award 2024
25 March 2024 |
21:00 WIB
Museum MACAN kembali menampilkan sepilihan karya pemenang ajang VH Award ke-5. Yaitu dengan melibatkan seluruh finalis, termasuk peraih Grand Prix. Ekshibisi yang menampilkan langgam seni rupa kontemporer dari perspektif media baru ini dibuka untuk umum sejak 29 Februari sampai 21 April 2024.
Para seniman personal dan kolektif itu adalah Subash Thebe Limbu (Nepal), Zike He (China), dan Riar Rizaldi (Indonesia). Ada juga Su Hui-Yu seorang seniman yang berbasis di Taiwan, serta Zzyw, sebuah kolektif seni dan riset yang berbasis di New York.
Baca juga: Seniman Australia Patricia Piccinini Akan Gelar Pameran Tunggal di Museum MACAN
Berasal dari beragam latar belakang di negara-negara di Asia, setiap finalis terlihat menonjol dalam pendekatan artistiknya yang mengetengahkan isu tentang realitas kiwari. Secara umum para finalis menggunakan media baru untuk mengekspresikan kekhawatiran mereka terhadap fenomena antroposen.
Istilah antroposentrisme merujuk pada zaman saat aktivitas manusia mulai memiliki pengaruh global terhadap ekosistem bumi. Kajian ini kali pertama dicetuskan oleh ekolog Eugene F. Stoermer pada dekade 1980-an, yang kejadiannya saat ini kian dirasakan manusia dengan berbagai fenomena di sekujur dunia.
Hal itu misalnya terefleksi dalam karya Ria Rizaldi. Perupa sekaligus sutradara asal Bandung ini tampak bermain-main dengan sinema berdimensi mimpi. Yaitu dengan prognosis atau ramalan fiksi ilmiah khayali berupa filem esai dan dongeng mengenai 'neraka hijau’ akibat warisan teknologi dalam karya berjudul Fossilis (2023).
Secara umum, Fossilis menggambarkan dunia masa depan yang dipenuhi kompleksitas limbah elektronik pada abad ke-21 di Asia. Kawasan ini merupakan kuburan dari sebagian besar barang elektronik usang di planet Bumi. Video berdurasi 12 menit 57 detik itu juga lebih banyak menggunakan voice virtual assistant.
"Fossilis bukan hanya menarasikan mengenai limbah elektronik, tapi juga berkaitan dengan proses produksi film yang melibatkan berbagai objek limbah, baik digital maupun fisik sebagai sarana praktik seni," katanya.
Masih seputar soal ekspresi seni masa depan. Zzyw secara kritis juga menyelidiki implikasi sosial dari media komputasi, otomatisasi, dan kecerdasan buatan lewat Other Spring (2023). Karya berdurasi 12 menit 38 detik itu meneroka potensi 'komputerisasi sesat' untuk menantang gagasan monolitik tentang efisiensi dan presisi yang menjadi ciri khas masyarakat kontemporer.
Uniknya, Other Spring mengambil latar masa depan spekulatif di mana jaringan Universal Network Observer (UNO) yang digerakkan algoritma telah mendominasi. Tak ayal, karya ini jadi semacam refleksi mengenai pentingnya privasi, dan individualitas dalam dunia yang saling terhubung dengan liyan.
Lain lagi dengan perupa Subash Thebe Limbu. Pemenang Grand Prix dari ajang VH ward ke-5 itu justru memboyong karya berjudul Ladhamba Tayen; Future Continuous (2023). Lewat karya video berdurasi 14 menit 58 detik itu, Limbu membayangkan masa depan di mana tindakan dan keberadaan masyarakat adat terjalin dalam kontinum ruang dan waktu.
Proyeksi itu tergambar lewat percakapan dua individu masyarakat adat yang berasal dari masa yang jauh berbeda. Perupa yang berbasis di Yakhtung ini bahkan mengajak penonton untuk mengeksplorasi peran mereka dalam mencari masa depan yang layak untuk diperjuangkan, sembari merefleksikan perjuangan melawan kolonialisme.
Benang merah dari karya ini adalah ingin mengajak publik untuk bermain-main dengan gagasan bahwa waktu bukan sesuatu yang kaku. Artinya, Limbu, melompat lebih jauh bahwa waktu dapat dibentuk. Premis inilah yang akhirnya membuka jalan baru bagi masyarakat dalam memaknai ulang konsep ruang dan waktu dalam sejarah manusia.
"Karya ini ingin bermain dengan gagasan bahwa waktu bukanlah sesuatu yang kaku, melainkan dapat dibentuk atau dirajut, yang pada akhirnya dapat membuka jalan bagi pertanyaan-pertanyaan seperti bagaimana kita ingin merajut masa depan,” katanya.
Perupa Zike He pun tampil berbeda. Lewat karya berjudul Random Access (2023) dia mencoba mengungkai bagaimana manusia memaknai dan memproses ingatan. Namun, konsep tersebut ditabrakan dengan mode pembacaan dan penulisan data dalam random access memory (RAM) komputer dimana setiap 'alamat' sembarang dapat diakses secara bersamaan.
Sebagai bentuk spekulatif visual karya mengenai pengalaman dunia clud ini mengambil latar di Guiyang, China. Syahdan, kawasan yang memiliki banyak infrastruktur big data itu diceritakan mengalami kerusakan. Namun, dua hari setelah kota ini dilakukan pemulihan sistem para persona di dalamanya seolah mengalami momen kehilangan ingatan.
Sepintas, karya Random Access juga mengingatkan publik pada film fiksi ilmiah karya Wong Kar Wai berjudul 2046 (2024). Sekuel dari film roman Days of Being Wild (1991) ini memang menyisipkan unsur-unsur science fiction di mana manusia dapat melakukan perjalanan ulang-alik untuk memasuki masa yang lampau dan yang kini.
Mantan Direktur Museum MACAN, Aaron Seeto, salah satu juri mengatakan, tahun ini merupakan kali kedua Museum MACAN merepresentasikan karya para pemenang. Oleh karena itu pihaknya turut bangga dalam mendukung kompetisi yang diadakan salah satu jenama mobil itu, dalam memberi ruang bagi para seniman di kawasan Asia.
"Pameran ini merupakan rangkaian presentasi para finalis di seluruh dunia, yang saat ini sedang berlangsung di Elektra Visual Museum, Montreal, juga dipresentasikan di HMG Vision Hall dan tempat bergengsi lain," katanya.
Selaras, DooEun Choi, Art Director Hyundai Motor, mengatakan kompetisi Th 5th VH Award 2024 merupakan upaya untuk merayakan keragaman dan kreativitas seniman media di seluruh dunia. Terutama bagi mereka yang memiliki keinginan untuk terlibat dalam konteks Asia dalam memaknai yang lampau dan yang akan datang.
Berlangsung sejak 2016, VH Award merupakan upaya untuk mendukung perupa media baru dalam membagikan pengalaman artistik dan karyanya di berbagai platform global. Ihwal perhelatan bertujuan untuk mempertemukan dunia seni dan teknologi melalui penelitian lintas budaya dan ekspresi artistik lintas disiplin
“Para perupa baru ini dapat memperluas perspektif kita tentang masa depan umat manusia, dan memungkinkan kita untuk mengaburkan segala batasan melalui praktik lintas budaya mereka yang unik," katanya.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Para seniman personal dan kolektif itu adalah Subash Thebe Limbu (Nepal), Zike He (China), dan Riar Rizaldi (Indonesia). Ada juga Su Hui-Yu seorang seniman yang berbasis di Taiwan, serta Zzyw, sebuah kolektif seni dan riset yang berbasis di New York.
Baca juga: Seniman Australia Patricia Piccinini Akan Gelar Pameran Tunggal di Museum MACAN
Berasal dari beragam latar belakang di negara-negara di Asia, setiap finalis terlihat menonjol dalam pendekatan artistiknya yang mengetengahkan isu tentang realitas kiwari. Secara umum para finalis menggunakan media baru untuk mengekspresikan kekhawatiran mereka terhadap fenomena antroposen.
Istilah antroposentrisme merujuk pada zaman saat aktivitas manusia mulai memiliki pengaruh global terhadap ekosistem bumi. Kajian ini kali pertama dicetuskan oleh ekolog Eugene F. Stoermer pada dekade 1980-an, yang kejadiannya saat ini kian dirasakan manusia dengan berbagai fenomena di sekujur dunia.
Hal itu misalnya terefleksi dalam karya Ria Rizaldi. Perupa sekaligus sutradara asal Bandung ini tampak bermain-main dengan sinema berdimensi mimpi. Yaitu dengan prognosis atau ramalan fiksi ilmiah khayali berupa filem esai dan dongeng mengenai 'neraka hijau’ akibat warisan teknologi dalam karya berjudul Fossilis (2023).
Secara umum, Fossilis menggambarkan dunia masa depan yang dipenuhi kompleksitas limbah elektronik pada abad ke-21 di Asia. Kawasan ini merupakan kuburan dari sebagian besar barang elektronik usang di planet Bumi. Video berdurasi 12 menit 57 detik itu juga lebih banyak menggunakan voice virtual assistant.
"Fossilis bukan hanya menarasikan mengenai limbah elektronik, tapi juga berkaitan dengan proses produksi film yang melibatkan berbagai objek limbah, baik digital maupun fisik sebagai sarana praktik seni," katanya.
Masih seputar soal ekspresi seni masa depan. Zzyw secara kritis juga menyelidiki implikasi sosial dari media komputasi, otomatisasi, dan kecerdasan buatan lewat Other Spring (2023). Karya berdurasi 12 menit 38 detik itu meneroka potensi 'komputerisasi sesat' untuk menantang gagasan monolitik tentang efisiensi dan presisi yang menjadi ciri khas masyarakat kontemporer.
Uniknya, Other Spring mengambil latar masa depan spekulatif di mana jaringan Universal Network Observer (UNO) yang digerakkan algoritma telah mendominasi. Tak ayal, karya ini jadi semacam refleksi mengenai pentingnya privasi, dan individualitas dalam dunia yang saling terhubung dengan liyan.
Lain lagi dengan perupa Subash Thebe Limbu. Pemenang Grand Prix dari ajang VH ward ke-5 itu justru memboyong karya berjudul Ladhamba Tayen; Future Continuous (2023). Lewat karya video berdurasi 14 menit 58 detik itu, Limbu membayangkan masa depan di mana tindakan dan keberadaan masyarakat adat terjalin dalam kontinum ruang dan waktu.
Proyeksi itu tergambar lewat percakapan dua individu masyarakat adat yang berasal dari masa yang jauh berbeda. Perupa yang berbasis di Yakhtung ini bahkan mengajak penonton untuk mengeksplorasi peran mereka dalam mencari masa depan yang layak untuk diperjuangkan, sembari merefleksikan perjuangan melawan kolonialisme.
Benang merah dari karya ini adalah ingin mengajak publik untuk bermain-main dengan gagasan bahwa waktu bukan sesuatu yang kaku. Artinya, Limbu, melompat lebih jauh bahwa waktu dapat dibentuk. Premis inilah yang akhirnya membuka jalan baru bagi masyarakat dalam memaknai ulang konsep ruang dan waktu dalam sejarah manusia.
"Karya ini ingin bermain dengan gagasan bahwa waktu bukanlah sesuatu yang kaku, melainkan dapat dibentuk atau dirajut, yang pada akhirnya dapat membuka jalan bagi pertanyaan-pertanyaan seperti bagaimana kita ingin merajut masa depan,” katanya.
Karya new media dari Subash Thebe Limbu, Ladhamba Tayem berjdul Future Continuous (2023). Sumber gambar Hyundai Motor Group VH AWARD)
Sebagai bentuk spekulatif visual karya mengenai pengalaman dunia clud ini mengambil latar di Guiyang, China. Syahdan, kawasan yang memiliki banyak infrastruktur big data itu diceritakan mengalami kerusakan. Namun, dua hari setelah kota ini dilakukan pemulihan sistem para persona di dalamanya seolah mengalami momen kehilangan ingatan.
Sepintas, karya Random Access juga mengingatkan publik pada film fiksi ilmiah karya Wong Kar Wai berjudul 2046 (2024). Sekuel dari film roman Days of Being Wild (1991) ini memang menyisipkan unsur-unsur science fiction di mana manusia dapat melakukan perjalanan ulang-alik untuk memasuki masa yang lampau dan yang kini.
Keragaman Kreativitas
Mantan Direktur Museum MACAN, Aaron Seeto, salah satu juri mengatakan, tahun ini merupakan kali kedua Museum MACAN merepresentasikan karya para pemenang. Oleh karena itu pihaknya turut bangga dalam mendukung kompetisi yang diadakan salah satu jenama mobil itu, dalam memberi ruang bagi para seniman di kawasan Asia."Pameran ini merupakan rangkaian presentasi para finalis di seluruh dunia, yang saat ini sedang berlangsung di Elektra Visual Museum, Montreal, juga dipresentasikan di HMG Vision Hall dan tempat bergengsi lain," katanya.
Karya Zzyw, Other Spring (2023). (Sumber gambar Hyundai Motor Group VH AWARD )
Berlangsung sejak 2016, VH Award merupakan upaya untuk mendukung perupa media baru dalam membagikan pengalaman artistik dan karyanya di berbagai platform global. Ihwal perhelatan bertujuan untuk mempertemukan dunia seni dan teknologi melalui penelitian lintas budaya dan ekspresi artistik lintas disiplin
“Para perupa baru ini dapat memperluas perspektif kita tentang masa depan umat manusia, dan memungkinkan kita untuk mengaburkan segala batasan melalui praktik lintas budaya mereka yang unik," katanya.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.