Boyong Belasan Seniman Lintas Generasi, Nadi Gallery Helat Pameran Grup Sakato Art Community
22 March 2024 |
10:30 WIB
Kabar gembira buat para penikmat seni rupa di Jakarta. Nadi Gallery kembali menggelar pameran grup dari Komunitas Seni Sakato dengan mengusung tajuk Re-reading Landschap#2: Mimicry or Subversion. Ekshibisi seri kedua ini dapat dinikmati publik pada 21 Maret sampai 29 April 2024.
Adapun, tahun ini terdapat 14 perupa yang turut memacak karya-karyanya dalam pameran tersebut. Mereka adalah Alif Lamra, Bestrizal Besta, Ega Budaya Putra, Gusmen Heriadi, Hari Gita, Jumadi Alfi, M.Irfan, Palito perak, Ricky Qaliby, Riski Januar, Ronald Effendi, Rumondang, Tan Maidil, dan Taufik Ermas.
Baca juga: Seniman Australia Patricia Piccinini Akan Gelar Pameran Tunggal di Museum MACAN
Masih sama seperti seri sebelumnya, ekshibisi Re-reading Landschap#2 secara umum juga masih mengeksplorasi mengenai makna lukisan lanskap. Kendati begitu, yang cukup menonjol dalam pameran terbaru ini adalah bagaimana para seniman membaca ulang mengenai perubahan sikap dan pengetahuan yang terus berubah seiring zaman.
Tak hanya itu, tajuk Mimicry or Subversion juga menjadi bentuk baru untuk melihat tawaran yang ada pada kekaryaan yang dipamerkan oleh para seniman. Salah satunya saat mereka mengungkai konsep lanskap sebagai objek dalam lukisan yang memiliki kesamaan dengan lukisan landschap yang pada masa kolonial.
Hal itu misalnya, terefleksi lewat karya Jumaldi Alfi, berjudul Postcard from The Past#5 (acrylic on linen, 145x200 cm, 2021). Dalam lukisan ini sang perupa seolah menghadirkan ambiguitas lanskap lewat gambar sebuah papan tulis, papan tulis yang dilukis, atau sebuah lukisan. Uniknya, sang perupa juga seolah sedang menempel postcard di papan tulis.
Saat diperhatikan saksama, lukisan Alfi seolah merepresentasikan sejarah suasana masa lalu yang saat ini masih dapat dilihat dalam berbagai foto hitam putih. Karya yang mengimak sebuah bukit dengan tangga batu itu juga menghadirkan suasana yang sunyi, berbeda tema lukisan-lukisan lain dari sang perupa yang biasanya dipenuhi tekstualisasi kata dan puisi.
Tema praktik serupa juga terejawantah dalam karya Vague #1 & #2 (acrylic on canvas, 100x120 cm, 2023). Dalam dua seri karya tersebut sang seniman juga seolah membuat subversi gangguan dengan melukiskan citra lanskap yang kabur. Yaitu dengan membuat citraan seperti embun yang menutupi kaca saat hujan yang membuat mata buram.
Tak hanya itu, lukisan lanskap yang ditutupi oleh tabir tipis layaknya kabut itu, di permukaannya juga ditoreh sesuatu yang seringnya adalah sebuah teks. Teks yang hadir dalam lukisan ini pun cukup unik dengan kata-kata yang satir yang membuat kita bertanya akan sejarah, baik seni rupa atau bagaimana kolonialisme membangun itu semua.
"Kemungkinan pembacaan lain dari karya Palito Perak adalah usaha untuk menyimbolkan bagaimana sejarah berpeluang untuk diinterpretasi dalam berbagai kemungkinan. Untuk lebih lanjut bahkan bisa ditulis ulang," kata kurator pameran, Eka Novrian saat ditemui Hypeabis.id.
Tema lanskap sebagai pemicu abstraksi juga bisa kita jumpai dalam lukisan Gusmen Heriadi. Yaitu lewat karya bertajuk Nafas Semesta No.4 (mix media on canvas, 140x160 cm). Secara umum, karya bertarikh 2023 itu memang tampak menggambarkan alam semesta atau bumi yang berada di dalam porosnya. Namun, disisi lain juga seolah menggambarkan alam semesta yang terpenggal.
Bentuk-bentuk yang hadir dalam lukisan Gusmen ini memang sulit untuk diidentifikasi. Jika kita melihat lukisan-lukisannya dari periode ke periode maka, publik memang akan mendapatkan lukisan dengan banyak kecenderungan. Dalam karya-karyanya tidak jarang memang, yang realistis akan berpadu dengan abstrak dan yang ekspresionistis.
Menurut sang seniman, seri karya tersebut sebenarnya sedang mencoba mengkritik ekologi dan ekosistem bumi yang rusak. Menyikapi tema pameran, sang seniman juga tidak lagi melihat lanskap dari sudut pandang Mooi Indie (Hindia Molek), tapi lebih banyak meneroka apa yang ada dibalik keindahan tersebut yang menurutnya justru ironis.
"Di balik keindahan-keindahan, di balik prestise tersebut ada kematian di belakangnya. Simbol seperti huruf 'F' dalam lukisan ini juga menjadi metafora alam kita yang saat ini sudah dikavling-kavling," kata Gusmen.
Lain lagi dengan Tan Maidil yang melukiskan hamparan dengan menggunakan garis dalam karya berjudul Taut #2 (acrylic on canvas, 180x200 cm, 2023), dan Line Space#1 (acrylic on canvas, 140x160 cm, 2023). Dalam dua karya tersebut sang seniman melukiskan alam yang saling terkoneksi bagian per bagian. Tidak terputus dan tidak berkesudahan.
Tak hanya itu, dalam karyanya yang tampak menggambarkan alam semesta dari luar angkasa itu, publik seolah dihadapkan pada sebuah keadaan visual yang unik. Yaitu, mata pengunjung seperti diajak untuk memaknai tentang ketersangkutpautan dalam kondisi suatu ruang tertentu yang kadangkala memberi pemaknaan visual lain saat didekati atau saat memberi jarak pandang terhadap lukisan.
"Bagaimanapun estetika lukisan landscape tidak melulu perihal tentang sebuah gambar yang terbingkai dan terkomposisikan. Ada tujuan dan kepentingan yang beriringan dengan pembentukan wacana kolonial demi kepentingan dominasi seni rupa kita hari ini," jelas Eka Novrian.
Baca juga: Puluhan Seniman Galang Donasi untuk Palestina di Pameran Kemanusiaan Tanpa Batas
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Adapun, tahun ini terdapat 14 perupa yang turut memacak karya-karyanya dalam pameran tersebut. Mereka adalah Alif Lamra, Bestrizal Besta, Ega Budaya Putra, Gusmen Heriadi, Hari Gita, Jumadi Alfi, M.Irfan, Palito perak, Ricky Qaliby, Riski Januar, Ronald Effendi, Rumondang, Tan Maidil, dan Taufik Ermas.
Baca juga: Seniman Australia Patricia Piccinini Akan Gelar Pameran Tunggal di Museum MACAN
Masih sama seperti seri sebelumnya, ekshibisi Re-reading Landschap#2 secara umum juga masih mengeksplorasi mengenai makna lukisan lanskap. Kendati begitu, yang cukup menonjol dalam pameran terbaru ini adalah bagaimana para seniman membaca ulang mengenai perubahan sikap dan pengetahuan yang terus berubah seiring zaman.
Tak hanya itu, tajuk Mimicry or Subversion juga menjadi bentuk baru untuk melihat tawaran yang ada pada kekaryaan yang dipamerkan oleh para seniman. Salah satunya saat mereka mengungkai konsep lanskap sebagai objek dalam lukisan yang memiliki kesamaan dengan lukisan landschap yang pada masa kolonial.
Hal itu misalnya, terefleksi lewat karya Jumaldi Alfi, berjudul Postcard from The Past#5 (acrylic on linen, 145x200 cm, 2021). Dalam lukisan ini sang perupa seolah menghadirkan ambiguitas lanskap lewat gambar sebuah papan tulis, papan tulis yang dilukis, atau sebuah lukisan. Uniknya, sang perupa juga seolah sedang menempel postcard di papan tulis.
Seorang pengunjung menikmati karya Jumaldi Alfi, berjudul Postcard from The Past#5 di pameran Re-reading Landschap#2: Mimicry or Subversion (sumber gambar Hypeabis.id/Abdurachman)
Saat diperhatikan saksama, lukisan Alfi seolah merepresentasikan sejarah suasana masa lalu yang saat ini masih dapat dilihat dalam berbagai foto hitam putih. Karya yang mengimak sebuah bukit dengan tangga batu itu juga menghadirkan suasana yang sunyi, berbeda tema lukisan-lukisan lain dari sang perupa yang biasanya dipenuhi tekstualisasi kata dan puisi.
Tema praktik serupa juga terejawantah dalam karya Vague #1 & #2 (acrylic on canvas, 100x120 cm, 2023). Dalam dua seri karya tersebut sang seniman juga seolah membuat subversi gangguan dengan melukiskan citra lanskap yang kabur. Yaitu dengan membuat citraan seperti embun yang menutupi kaca saat hujan yang membuat mata buram.
Tak hanya itu, lukisan lanskap yang ditutupi oleh tabir tipis layaknya kabut itu, di permukaannya juga ditoreh sesuatu yang seringnya adalah sebuah teks. Teks yang hadir dalam lukisan ini pun cukup unik dengan kata-kata yang satir yang membuat kita bertanya akan sejarah, baik seni rupa atau bagaimana kolonialisme membangun itu semua.
"Kemungkinan pembacaan lain dari karya Palito Perak adalah usaha untuk menyimbolkan bagaimana sejarah berpeluang untuk diinterpretasi dalam berbagai kemungkinan. Untuk lebih lanjut bahkan bisa ditulis ulang," kata kurator pameran, Eka Novrian saat ditemui Hypeabis.id.
Lanskap Sebagai Abstraksi
Tema lanskap sebagai pemicu abstraksi juga bisa kita jumpai dalam lukisan Gusmen Heriadi. Yaitu lewat karya bertajuk Nafas Semesta No.4 (mix media on canvas, 140x160 cm). Secara umum, karya bertarikh 2023 itu memang tampak menggambarkan alam semesta atau bumi yang berada di dalam porosnya. Namun, disisi lain juga seolah menggambarkan alam semesta yang terpenggal.Bentuk-bentuk yang hadir dalam lukisan Gusmen ini memang sulit untuk diidentifikasi. Jika kita melihat lukisan-lukisannya dari periode ke periode maka, publik memang akan mendapatkan lukisan dengan banyak kecenderungan. Dalam karya-karyanya tidak jarang memang, yang realistis akan berpadu dengan abstrak dan yang ekspresionistis.
Karya Gusmen Heriadi bertajuk Nafas Semesta No.4 di pameran Re-reading Landschap#2: Mimicry or Subversion (sumber gambar Hypeabis.id/Abdurachman)
Menurut sang seniman, seri karya tersebut sebenarnya sedang mencoba mengkritik ekologi dan ekosistem bumi yang rusak. Menyikapi tema pameran, sang seniman juga tidak lagi melihat lanskap dari sudut pandang Mooi Indie (Hindia Molek), tapi lebih banyak meneroka apa yang ada dibalik keindahan tersebut yang menurutnya justru ironis.
"Di balik keindahan-keindahan, di balik prestise tersebut ada kematian di belakangnya. Simbol seperti huruf 'F' dalam lukisan ini juga menjadi metafora alam kita yang saat ini sudah dikavling-kavling," kata Gusmen.
Lain lagi dengan Tan Maidil yang melukiskan hamparan dengan menggunakan garis dalam karya berjudul Taut #2 (acrylic on canvas, 180x200 cm, 2023), dan Line Space#1 (acrylic on canvas, 140x160 cm, 2023). Dalam dua karya tersebut sang seniman melukiskan alam yang saling terkoneksi bagian per bagian. Tidak terputus dan tidak berkesudahan.
Tak hanya itu, dalam karyanya yang tampak menggambarkan alam semesta dari luar angkasa itu, publik seolah dihadapkan pada sebuah keadaan visual yang unik. Yaitu, mata pengunjung seperti diajak untuk memaknai tentang ketersangkutpautan dalam kondisi suatu ruang tertentu yang kadangkala memberi pemaknaan visual lain saat didekati atau saat memberi jarak pandang terhadap lukisan.
"Bagaimanapun estetika lukisan landscape tidak melulu perihal tentang sebuah gambar yang terbingkai dan terkomposisikan. Ada tujuan dan kepentingan yang beriringan dengan pembentukan wacana kolonial demi kepentingan dominasi seni rupa kita hari ini," jelas Eka Novrian.
Baca juga: Puluhan Seniman Galang Donasi untuk Palestina di Pameran Kemanusiaan Tanpa Batas
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.