Begini Kata Pengamat Soal Ancaman Blokir OTA Asing
16 March 2024 |
18:00 WIB
Ancaman pemblokiran sejumlah online travel agent (OTA) oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menuai sorotan dalam beberapa waktu terakhir. Sejumlah penyedia layanan akomodasi dan transportasi asing diketahui belum mendaftarkan diri sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE).
Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar menilai rencana pemblokiran OTA merupakan masalah yang terus berulang akibat kewajiban pendaftaran bagi PSE setelah berlakunya Permenkominfo Nomor 5/2020.
Menurutnya, perlu dilihat kembali soal kewajiban pendaftaran tersebut, apakah hanya mendata PSE yang beroperasi di Indonesia atau konteksnya untuk melindungi konsumen/user. Bila tujuannya melindungi konsumen, seharusnya langkah Kemenkominfo tidak membatasi atau mempersempit pilihan-pilihan layanan yang bisa dimanfaatkan konsumen.
Kalau dilakukan tindakan pemblokiran, sementara OTA tersebut banyak digunakan konsumen Indonesia, hal tersebut justru akan memberikan dampak kurang baik ke konsumen. "Karena pilihannya menjadi terbatas," ujarnya ketika dihubungi Hypeabis.id.
Baca juga: Seluk-beluk 6 Online Travel Agent yang Terancam Diblokir di Indonesia
Ketika tujuan pemerintah mewajibkan pendaftaran terhadap PSE untuk melindungi konsumen, mestinya langkah yang diambil tidak dengan pemblokiran. Wahyudi berpendapat, tindakan pemblokiran adalah langkah terakhir. Artinya sudah ada langkah sebelumnya seperti peringatan atau teguran tertulis. "Apakah langkah ini sudah dilakukan?," tanya Wahyudi.
Mengingat Ramadan menjadi momentum bagi para OTA meraih sebanyak-banyaknya konsumen, Wahyudi berharap agar proses pendaftaran PSE tidak membutuhkan waktu lama. Dia menilai, hal yang paling utama adalah mempertimbangkan kepentingan konsumen dan penetrasi dari platform-platform tersebut.
"Kira-kira ketika dilakukan pemblokiran hari ini, apakah akan menggoncangkan pasar atau enggak. Ini mestinya bisa menjadi pertimbangan dari pemerintah, ketika misalnya pemerintah memang sudah menjalankan semua tahapan," tuturnya.
Ke depannya, Wahyudi menyarankan untuk mengoreksi kebijakan pemblokiran, terutama bagi PSE yang entitasnya berasal dari luar negeri, tapi beroperasi dan tidak memiliki perwakilan di Indonesia. Pemerintah perlu mencari formulasi atau strategi kebijakan yang mempertimbangkan bisnis digital yang bersifat cross border. Upaya untuk menjangkau itu seharusnya bisa dilakukan dengan skenario lain.
UU ITE, menurut Wahyudi, sifatnya yurisdiksi ekstrateritorial. Nah, ketika tujuannya untuk melindungi konsumen, di mana pun keberadan PSE atau platform tersebut, sekalipun legal entitasnya bukan di Indonesia, harusnya bisa tetap dijangkau. Bukan semata-semata hanya dikerangkakan dengan kebijakan pendaftaran dan membuka kantor representatif di Indonesia.
Dia berpendapat bisnis OTA ini tentu mempertimbangkan seberapa besar konsumen di Indonesia, untuk kemudian harus membuka kantor perwakilan. Mereka perlu melihat efektivitas dari kewajiban pendaftaran tersebut, termasuk dalam konteks melindungi konsumennya di dalam negeri.
"Kalau ternyata itu kurang efektif, dan justru malah meminimalisir atau mempersempit pilihan bagi konsumen dalam memilih layanan yang mereka butuhkan, justru kurang memberikan dampak positif," tuturnya.
Kendati pun sejumlah OTA asing tersebut diblokir, dia mengatakan dampaknya tidak begitu besar terhadap masyarakat. Sebab, saat ini OTA lokal seperti Traveloka dan Tiket.com terbilang menguasai pasar penyedia layanan pemesanan transportasi maupun akomodasi.
Dari daftar OTA asing yang dikirimi surat peringatan, tidak dimungkiri Agoda punya jumlah pengguna yang cukup tinggi. Namun, perusahaan yang berkantor pusat di Singapura itu kini tidak lagi memiliki keistimewaan yang bisa menarik market dalam negeri.
Yuswohady berpendapat bahwa Agoda kini bersifat komoditi yang memberikan layanan sama seperti Tiket.com atau Traveloka. Sebelumnya, channel tersebut menawarkan ragam promo tiket murah. Alhasil, perpindahan konsumen antara platform OTA asing ke lokal pun lebih mudah.
"Dengan adanya dampak investor sulit untuk kucurkan duit dan bakar duit, layanan OTA cenderung komoditi. Perbedaan tidak besar. Ketika layananan tidak berbeda, shifting jadi lebih gampang," tuturnya.
Jadi, menurutnya, ketika OTA asing banyak yang diblokir, OTA lokal seperti Traveloka dan Tiket.com bakal panen pemesanan. Terlebih, selama Ramadan banyak masyarakat yang sudah memesan tiket transportasi atau akomodasi untuk mudik maupun libur Lebaran. "Mereka dapat limpahan. Jadi momentum produk lokal untuk ambil itu," sebut Yuswohady.
Baca juga: Daftar 5 Negara Teraman untuk Traveler 2024, Mayoritas Ada di Eropa
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar menilai rencana pemblokiran OTA merupakan masalah yang terus berulang akibat kewajiban pendaftaran bagi PSE setelah berlakunya Permenkominfo Nomor 5/2020.
Menurutnya, perlu dilihat kembali soal kewajiban pendaftaran tersebut, apakah hanya mendata PSE yang beroperasi di Indonesia atau konteksnya untuk melindungi konsumen/user. Bila tujuannya melindungi konsumen, seharusnya langkah Kemenkominfo tidak membatasi atau mempersempit pilihan-pilihan layanan yang bisa dimanfaatkan konsumen.
Kalau dilakukan tindakan pemblokiran, sementara OTA tersebut banyak digunakan konsumen Indonesia, hal tersebut justru akan memberikan dampak kurang baik ke konsumen. "Karena pilihannya menjadi terbatas," ujarnya ketika dihubungi Hypeabis.id.
Baca juga: Seluk-beluk 6 Online Travel Agent yang Terancam Diblokir di Indonesia
Ketika tujuan pemerintah mewajibkan pendaftaran terhadap PSE untuk melindungi konsumen, mestinya langkah yang diambil tidak dengan pemblokiran. Wahyudi berpendapat, tindakan pemblokiran adalah langkah terakhir. Artinya sudah ada langkah sebelumnya seperti peringatan atau teguran tertulis. "Apakah langkah ini sudah dilakukan?," tanya Wahyudi.
Mengingat Ramadan menjadi momentum bagi para OTA meraih sebanyak-banyaknya konsumen, Wahyudi berharap agar proses pendaftaran PSE tidak membutuhkan waktu lama. Dia menilai, hal yang paling utama adalah mempertimbangkan kepentingan konsumen dan penetrasi dari platform-platform tersebut.
"Kira-kira ketika dilakukan pemblokiran hari ini, apakah akan menggoncangkan pasar atau enggak. Ini mestinya bisa menjadi pertimbangan dari pemerintah, ketika misalnya pemerintah memang sudah menjalankan semua tahapan," tuturnya.
Ke depannya, Wahyudi menyarankan untuk mengoreksi kebijakan pemblokiran, terutama bagi PSE yang entitasnya berasal dari luar negeri, tapi beroperasi dan tidak memiliki perwakilan di Indonesia. Pemerintah perlu mencari formulasi atau strategi kebijakan yang mempertimbangkan bisnis digital yang bersifat cross border. Upaya untuk menjangkau itu seharusnya bisa dilakukan dengan skenario lain.
UU ITE, menurut Wahyudi, sifatnya yurisdiksi ekstrateritorial. Nah, ketika tujuannya untuk melindungi konsumen, di mana pun keberadan PSE atau platform tersebut, sekalipun legal entitasnya bukan di Indonesia, harusnya bisa tetap dijangkau. Bukan semata-semata hanya dikerangkakan dengan kebijakan pendaftaran dan membuka kantor representatif di Indonesia.
Dia berpendapat bisnis OTA ini tentu mempertimbangkan seberapa besar konsumen di Indonesia, untuk kemudian harus membuka kantor perwakilan. Mereka perlu melihat efektivitas dari kewajiban pendaftaran tersebut, termasuk dalam konteks melindungi konsumennya di dalam negeri.
"Kalau ternyata itu kurang efektif, dan justru malah meminimalisir atau mempersempit pilihan bagi konsumen dalam memilih layanan yang mereka butuhkan, justru kurang memberikan dampak positif," tuturnya.
Tak Berdampak Besar
Pengamat Marketing Yuswohady menilai semestinya pengurusan perizinan tidak membutuhkan waktu lama. Terlebih Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno menyatakan siap membantu memfasilitasi permasalahan ini. "Syarat administrasi mestinya bisa hitungan hari selesai, tidak sampai berbulan-bulan," imbuhnya.Kendati pun sejumlah OTA asing tersebut diblokir, dia mengatakan dampaknya tidak begitu besar terhadap masyarakat. Sebab, saat ini OTA lokal seperti Traveloka dan Tiket.com terbilang menguasai pasar penyedia layanan pemesanan transportasi maupun akomodasi.
Dari daftar OTA asing yang dikirimi surat peringatan, tidak dimungkiri Agoda punya jumlah pengguna yang cukup tinggi. Namun, perusahaan yang berkantor pusat di Singapura itu kini tidak lagi memiliki keistimewaan yang bisa menarik market dalam negeri.
Yuswohady berpendapat bahwa Agoda kini bersifat komoditi yang memberikan layanan sama seperti Tiket.com atau Traveloka. Sebelumnya, channel tersebut menawarkan ragam promo tiket murah. Alhasil, perpindahan konsumen antara platform OTA asing ke lokal pun lebih mudah.
"Dengan adanya dampak investor sulit untuk kucurkan duit dan bakar duit, layanan OTA cenderung komoditi. Perbedaan tidak besar. Ketika layananan tidak berbeda, shifting jadi lebih gampang," tuturnya.
Jadi, menurutnya, ketika OTA asing banyak yang diblokir, OTA lokal seperti Traveloka dan Tiket.com bakal panen pemesanan. Terlebih, selama Ramadan banyak masyarakat yang sudah memesan tiket transportasi atau akomodasi untuk mudik maupun libur Lebaran. "Mereka dapat limpahan. Jadi momentum produk lokal untuk ambil itu," sebut Yuswohady.
Baca juga: Daftar 5 Negara Teraman untuk Traveler 2024, Mayoritas Ada di Eropa
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.