Strategi Marketing Untuk Memikat Hati Konsumen Gen Z
14 March 2024 |
12:03 WIB
Untuk mendukung perkembangan bisnisnya, para pelaku usaha perlu memahami karakteristik dari konsumen yang dituju. Sebab, akan berpengaruh terhadap strategi marketing yang akan dilakukan. Saat ini terdapat lima generasi yang saat ini masih menjadi pangsa pasar pemegang brand yakni Baby Boomers, Gen X, Gen Y atau Millenial, Gen Z, dan Gen Alpha.
Dalam 10 tahun terakhir ini, generasi yang selalu menjadi sorotan adalah Gen Y atau milenial, tetapi saat ini muncul satu generasi baru yang mulai memiliki daya beli dan tengah menjadi buah bibir para pemasar atau pemilik brand yakni Gen Z yang saat ini jumlahnya mencapai 28?ri total penduduk Indonesia.
CEO Markplus Iwan Setiawan mengatakan untuk dapat menarik dan memikat hati para konsumen gen Z ini, pemilik brand harus melakukan pendekatan dan strategi marketing yang tepat. Sebab, generasi ini memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan generasi sebelumnya.
Baca juga: Kumpulan Kosakata Relationship Gen Z Viral di Medsos, dari Ghosting hingga Situationship
Mereka merupakan sosok anak muda yang melek teknologi dan menjadi the first digital native serta toleran terhadap perbedaan budaya. "Memahami Gen Z ini memang gampang-gampang susah. Namun karena banyak merek merasa diri paling tahu tentang segmen muda ini mereka sering kesasar arah," ucapnya.
Selain itu, untuk menyasar kelompok Gen Z ini maka brand tidak serta merta harus mengikuti sepenuhnya keinginan mereka. Sebab, bagaimanapun masih ada generasi-generasi potensial lainnya yang masih tetap harus dijaga seperti kelompok Baby Boomers, Gen X, maupun Gen Y.
“Brand harus dapat melayani dan menarget Gen Z ini tanpa membuat generasi lain membenci brand kita. Karena kalau brand kita terlalu muda dan lekat dengan Gen Z maka bisa saja generasi senior yang banyak uang dan spendingnya besar justru akan lari,” tuturnya.
Karena itulah para pegiat merek dapat mengevaluasi strategi mereka terhadap dua konsumen muda ini melalui Customer Path 5A (Aware, Appeal, Ask, Act, Advocate). Tentu, beda industri memiliki pattern yang berbeda untuk fase perjalanan konsumen ini.
Dalam konsep customer journey ini, Gen Z umumnya akan lebih menitikberatkan pada ask dan advocate yang sangat sosial. Mereka akan bertanya satu dan lainnya mengenai brand yang paling bagus di kategori tertentu.
Lalu jika mereka puas maka mereka akan merekomendasikan produk tersebut tidak hanya pada teman dan keluarganya tetapi semua orang di media sosial miliknya. Konsep ini harus ditangkap oleh pemasar atau pemilik brand sehingga mereka dapat melakukan strategi pemasaran dengan pendekatan yang jauh lebih sosial dengan memanfaatkan media sosial serta word of mouth.
Selain itu, untuk dapat menyasar kelompok Gen Z maka pemilik brand tidak hanya berfokus pada produk saja tetapi customer experience. Sebab, tak jarang produk yang sebetulnya sama tetapi dibungkus dengan kemasan berbeda dan pelayanan yang lebih menarik serta dibumbui experience yang berbeda maka konsumen akan tetap menghargai produk tersebut meski dijual dengan harga yang lebih mahal.
“Cara ini tidak hanya menarik bagi kelompok Gen Z saja tetapi juga dapat menyasar generasi yang lebih senior,” tuturnya.
Hal yang menarik juga saat menawarkan sebuah produk kepada konsumen ini adalah dengan memanfaatkan penjualan secara offline dan online sekaligus atau yang bisa disebut dengan phydigital yakni penggabungan antara physical dan digital.
Menurut Iwan, perilaku Gen Z dalam melakukan pembelian bersifat hybrid. Kadang kala mereka melakukan webrooming di situs-situs pencarian lalu membelinya secara langsung di toko, tetapi sekaligus juga showrooming di mana mereka mencari terlebih dahulu produk secara offline di toko. Lalu setelah cocok maka akan membelinya melalui e-commerce.
“Maka saat kita menarget Gen Z maka harus fokus menciptakan pengalaman yang phydigital. Kita harus ada di dua channel baik online maupun offline, mengintegrasikan pengalaman tersebut sehingga mereka merasakan pengalaman seamless,” jelasnya.
Di sisi lain, Founder & Chairman MCorp Hermawan Kartajaya menyoroti hubungan Gen Z dengan merek dalam era teknologi canggih yang dikaitkan dengan customer path 5A tersebut. Sebab, melalui teknologi, masyarakat akan aware dengan suatu brand, kemudian appealing agar menarik perhatian.
Sesudah itu, akan timbul pertanyaan atau ask dari masyarakat dan apabila puas dengan jawabannya maka mereka akan melakukan act bisa mencoba atau mungkin membeli. “Selanjutnya, jika pelanggan telah melakukan advokasi maka pendekatan marketing yang dilakukan oleh perusahaan dapat dinilai berhasil,” jelasnya.
Salah satu brand yang menjadikan Gen Z sebagai target utamanya adalah Mister Potato. Leovhaty Augusta, Head of Marketing Mister Potato Indonesia mengatakan sebagai brand, pihaknya selalu berinovasi untuk mewadahi tren yang berkembang pesat saat ini.
Sebagai sebuah brand makanan ringan, Leovhaty mengatakan bahwa mereka tidak hanya mengandalkan produk dan jaringan distribusi saja tetapi juga menumbuhkan rasa penasaran di dalam komunikasi dan storytelling yang dibuat sehingga generasi tersebut merasa FOMO dengan produk-produk Mister Potato.
Di samping itu, pria yang akrab disapa Leo ini juga menyadari bahwa kelompok Gen Z lebih menyukai sesuatu yang otentik atau original karena itulah proses pemasaran yang dilakukannya berbeda dengan 10 atau 5 tahun lalu yang mungkin lebih fokus pada strategi ATM [amati, tiru, modifikasi].
“Saat ini kami berusaha untuk menjadi pioneer atau selalu orisinil di dalam setiap campaign atau aktivitas marketing yang kami jalankan,” tuturnya.
Di dalam setiap kampanye tersebut, pihaknya selalu mempertimbangkan immersive marketing yang tidak hanya dapat dilihat tetapi juga dirasakan kehadirannya oleh konsumen, baik di dalam dunia digital maupun di dunia fisik.
“Kami juga banyak melibatkan konsumen untuk menentukan yang mereka mau, dan Mister Potato berusaha merealisasikannya dengan tetap tidak keluar dari Brand Book kami,” jelasnya.
Baca juga: Riset Ini Ungkap Minat Investasi & Pengelolaan Keuangan Milenial dan Gen Z 2024
Editor: Puput Ady Sukarno
Dalam 10 tahun terakhir ini, generasi yang selalu menjadi sorotan adalah Gen Y atau milenial, tetapi saat ini muncul satu generasi baru yang mulai memiliki daya beli dan tengah menjadi buah bibir para pemasar atau pemilik brand yakni Gen Z yang saat ini jumlahnya mencapai 28?ri total penduduk Indonesia.
CEO Markplus Iwan Setiawan mengatakan untuk dapat menarik dan memikat hati para konsumen gen Z ini, pemilik brand harus melakukan pendekatan dan strategi marketing yang tepat. Sebab, generasi ini memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan generasi sebelumnya.
Baca juga: Kumpulan Kosakata Relationship Gen Z Viral di Medsos, dari Ghosting hingga Situationship
Mereka merupakan sosok anak muda yang melek teknologi dan menjadi the first digital native serta toleran terhadap perbedaan budaya. "Memahami Gen Z ini memang gampang-gampang susah. Namun karena banyak merek merasa diri paling tahu tentang segmen muda ini mereka sering kesasar arah," ucapnya.
Selain itu, untuk menyasar kelompok Gen Z ini maka brand tidak serta merta harus mengikuti sepenuhnya keinginan mereka. Sebab, bagaimanapun masih ada generasi-generasi potensial lainnya yang masih tetap harus dijaga seperti kelompok Baby Boomers, Gen X, maupun Gen Y.
“Brand harus dapat melayani dan menarget Gen Z ini tanpa membuat generasi lain membenci brand kita. Karena kalau brand kita terlalu muda dan lekat dengan Gen Z maka bisa saja generasi senior yang banyak uang dan spendingnya besar justru akan lari,” tuturnya.
Karena itulah para pegiat merek dapat mengevaluasi strategi mereka terhadap dua konsumen muda ini melalui Customer Path 5A (Aware, Appeal, Ask, Act, Advocate). Tentu, beda industri memiliki pattern yang berbeda untuk fase perjalanan konsumen ini.
Dalam konsep customer journey ini, Gen Z umumnya akan lebih menitikberatkan pada ask dan advocate yang sangat sosial. Mereka akan bertanya satu dan lainnya mengenai brand yang paling bagus di kategori tertentu.
Lalu jika mereka puas maka mereka akan merekomendasikan produk tersebut tidak hanya pada teman dan keluarganya tetapi semua orang di media sosial miliknya. Konsep ini harus ditangkap oleh pemasar atau pemilik brand sehingga mereka dapat melakukan strategi pemasaran dengan pendekatan yang jauh lebih sosial dengan memanfaatkan media sosial serta word of mouth.
Selain itu, untuk dapat menyasar kelompok Gen Z maka pemilik brand tidak hanya berfokus pada produk saja tetapi customer experience. Sebab, tak jarang produk yang sebetulnya sama tetapi dibungkus dengan kemasan berbeda dan pelayanan yang lebih menarik serta dibumbui experience yang berbeda maka konsumen akan tetap menghargai produk tersebut meski dijual dengan harga yang lebih mahal.
“Cara ini tidak hanya menarik bagi kelompok Gen Z saja tetapi juga dapat menyasar generasi yang lebih senior,” tuturnya.
Hal yang menarik juga saat menawarkan sebuah produk kepada konsumen ini adalah dengan memanfaatkan penjualan secara offline dan online sekaligus atau yang bisa disebut dengan phydigital yakni penggabungan antara physical dan digital.
Menurut Iwan, perilaku Gen Z dalam melakukan pembelian bersifat hybrid. Kadang kala mereka melakukan webrooming di situs-situs pencarian lalu membelinya secara langsung di toko, tetapi sekaligus juga showrooming di mana mereka mencari terlebih dahulu produk secara offline di toko. Lalu setelah cocok maka akan membelinya melalui e-commerce.
“Maka saat kita menarget Gen Z maka harus fokus menciptakan pengalaman yang phydigital. Kita harus ada di dua channel baik online maupun offline, mengintegrasikan pengalaman tersebut sehingga mereka merasakan pengalaman seamless,” jelasnya.
Di sisi lain, Founder & Chairman MCorp Hermawan Kartajaya menyoroti hubungan Gen Z dengan merek dalam era teknologi canggih yang dikaitkan dengan customer path 5A tersebut. Sebab, melalui teknologi, masyarakat akan aware dengan suatu brand, kemudian appealing agar menarik perhatian.
Sesudah itu, akan timbul pertanyaan atau ask dari masyarakat dan apabila puas dengan jawabannya maka mereka akan melakukan act bisa mencoba atau mungkin membeli. “Selanjutnya, jika pelanggan telah melakukan advokasi maka pendekatan marketing yang dilakukan oleh perusahaan dapat dinilai berhasil,” jelasnya.
Salah satu brand yang menjadikan Gen Z sebagai target utamanya adalah Mister Potato. Leovhaty Augusta, Head of Marketing Mister Potato Indonesia mengatakan sebagai brand, pihaknya selalu berinovasi untuk mewadahi tren yang berkembang pesat saat ini.
Sebagai sebuah brand makanan ringan, Leovhaty mengatakan bahwa mereka tidak hanya mengandalkan produk dan jaringan distribusi saja tetapi juga menumbuhkan rasa penasaran di dalam komunikasi dan storytelling yang dibuat sehingga generasi tersebut merasa FOMO dengan produk-produk Mister Potato.
Di samping itu, pria yang akrab disapa Leo ini juga menyadari bahwa kelompok Gen Z lebih menyukai sesuatu yang otentik atau original karena itulah proses pemasaran yang dilakukannya berbeda dengan 10 atau 5 tahun lalu yang mungkin lebih fokus pada strategi ATM [amati, tiru, modifikasi].
“Saat ini kami berusaha untuk menjadi pioneer atau selalu orisinil di dalam setiap campaign atau aktivitas marketing yang kami jalankan,” tuturnya.
Di dalam setiap kampanye tersebut, pihaknya selalu mempertimbangkan immersive marketing yang tidak hanya dapat dilihat tetapi juga dirasakan kehadirannya oleh konsumen, baik di dalam dunia digital maupun di dunia fisik.
“Kami juga banyak melibatkan konsumen untuk menentukan yang mereka mau, dan Mister Potato berusaha merealisasikannya dengan tetap tidak keluar dari Brand Book kami,” jelasnya.
Baca juga: Riset Ini Ungkap Minat Investasi & Pengelolaan Keuangan Milenial dan Gen Z 2024
Editor: Puput Ady Sukarno
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.