Cikal Bakal Pers Indonesia sejak Era Kolonialisme hingga Kini
09 February 2024 |
14:12 WIB
9 Februari diperingati sebagai Hari Pers Nasional (HPN) yang juga bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Persatuan Wartawan Indonesia yang didirikan sejak 1946. Penetapan Hari Pers Nasional diatur dalam Keputusan Presiden (Keppres) RI No. 5 Tahun 1985 dan ditandatangani oleh Presiden Soeharto pada 23 Januari 1985.
Mengutip dari laman resmi PWI, perayaan Hari Pers Nasional 2024 mengangkat tema Mengawal Transisi Kepemimpinan Nasional dan Menjaga Keutuhan Bangsa. Mengingat Indonesia masih dalam suasana Pemilu 2024, tema ini dimaksudkan supaya seluruh insan pers tetap menjaga keutuhan bangsa di tengah situasi politik.
Baca juga: Monolog Tirto, Ode & Refleksi dari Bapak Pers Nasional
Pers Indonesia telah menapaki sejarah panjang untuk bisa sampai di titik ini. Pada era modern ini, kebebasan pers sangat dijunjung tinggi, di mana tidak ada siapapun yang boleh membatasi ruang gerak wartawan dalam menulis dan memberitakan informasi.
Padahal dulu, saat era penjajahan Belanda, sulit sekali untuk menerbitkan surat kabar, lantaran selalu dihambat oleh VOC, kongsi dagang Belanda yang menguasai Nusantara pada abad ke-17. Barulah ketika Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron van Imhoff menjabat, terbit surat kabar Bataviasche Nouvelles en Politique Raisonnementen yang artinya 'Berita dan Penalaran Politik Batavia' pada 7 Agustus 1744. Isinya memuat pengumuman, peraturan, dan keputusan pemerintah Belanda.
Setelah sekian lama disetir oleh pihak berkuasa, pers Indonesia mulai mengambil sikap dengan menolak segala bentuk kolonialisme Belanda untuk memperjuangkan kebebasan rakyat. Pada abad ke-19, mulai bermunculan surat kabar berbahasa Melayu dan Jawa seperti Bintang Timoer (Surabaya, 1850), Bromartani (Surakarta, 1855), Bianglala (Batavia, 1867), dan Berita Betawie (Batavia, 1874), walaupun redakturnya masih orang-orang Belanda.
Akhirnya pada 1907, terbit surat kabar Medan Prijaji di Bandung yang menjadi pelopor pers nasional karena didirikan oleh pengusaha pribumi, yakni Tirto Adhi Soerjo. Setelah Medan Prijaji, terbitlah Darmo Kondho, Fikiran Ra’jat, Soeloeh Ra’jat, serta surat kabar di luar Jawa seperti Penghantar (Ambon), Sinar Borneo (Banjarmasin), Persatoean (Kalimantan), Pewarta Deli, Matahari (Medan), Sinar Sumatera (Padang). Pada masa ini juga lahir, LKBN Antara pada 13 Desember 1937 yang akan menjadi tonggak sejarah pers nasional.
Namun, selesainya masa pendudukan Belanda, tak serta merta membuat era penjajaran berakhir. Dimulailah pendudukan Jepang pada 1942, di mana kebijakan pers pun turut berubah. Semua penerbit yang berasal dari Belanda dan lainnya dilarang beroperasi. Kantor Berita Antara pun dilebur dalam kantor berita Jepang Domei. Jepang mulai menerbitkan surat kabar dan media lainnya, salah satunya majalah Djawa Baroe yang berisi propaganda mereka.
Setelah Indonesia merdeka, Jepang menerbitkan surat kabar Berita Gunseikanbu untuk menghambat roda pemerintahan Indonesia yaitu. Ini kemudian menyulut semangat para pelajar Kenkoku Gakuin (Akademi pamongpraja) untuk menerbitkan koran Berita Indonesia pada 6 September 1945. Akhirnya surat kabar di seluruh daerah tanah air kembali menampakkan eksistensinya.
Bersamaan dengan munculnya surat kabar di seluruh Indonesia, para wartawan juga membentuk perkumpulan sendiri sebagai wadah persatuan dan advokasi pers nasional. Perjuangan wartawan dan pers Indonesia kemudian memperoleh wadah dengan didirikannya organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada 9 Februari 1946 yang akan menjadi cikal bakal Hari Pers Nasional (HPN)
Saat digelar kongres PWI ke-28 di Padang pada 1978, dicetuskanlah isu soal Hari Pers Nasional yang diperingati setiap 9 Februari sampai sekarang. Memasuki era modern, pers berjalan beriringan dengan perkembangan teknologi yang kian masif. Surat kabar mulai digantikan oleh media online yang bisa diakses lewat perangkat elektronik untuk menjangkau audiens yang lebih luas.
Kemudahan untuk mengakses informasi, memunculkan fenomena information overload atau banjir informasi yang membuat kita sulit membedakan fakta dengan hoax. Persaingan antara media massa juga membuat maraknya penggunaan click bait yang merusak kualitas produk pers dan menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat.
Di sinilah Dewan Pers berperan sebagai badan uji verifikasi yang membuktikan kualitas media massa, serta mengawasi segala bentuk kegiatan jurnalisme. Menengok kembali sejarah panjang pers di tanah air, tentu tak lepas dari para tokoh-tokohnya perintisnya.
Nah Genhype, yuk simak beberapa tokoh pers nasional yang Hypeabis.id bahas profilnya di halaman berikut!
Baca juga: LPDS Rilis Buku Melawat ke Talawi, Rekam Kisah Hidup Pelopor Jurnalistik Adinegoro
Mengutip dari laman resmi PWI, perayaan Hari Pers Nasional 2024 mengangkat tema Mengawal Transisi Kepemimpinan Nasional dan Menjaga Keutuhan Bangsa. Mengingat Indonesia masih dalam suasana Pemilu 2024, tema ini dimaksudkan supaya seluruh insan pers tetap menjaga keutuhan bangsa di tengah situasi politik.
Baca juga: Monolog Tirto, Ode & Refleksi dari Bapak Pers Nasional
Pers Indonesia telah menapaki sejarah panjang untuk bisa sampai di titik ini. Pada era modern ini, kebebasan pers sangat dijunjung tinggi, di mana tidak ada siapapun yang boleh membatasi ruang gerak wartawan dalam menulis dan memberitakan informasi.
Padahal dulu, saat era penjajahan Belanda, sulit sekali untuk menerbitkan surat kabar, lantaran selalu dihambat oleh VOC, kongsi dagang Belanda yang menguasai Nusantara pada abad ke-17. Barulah ketika Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron van Imhoff menjabat, terbit surat kabar Bataviasche Nouvelles en Politique Raisonnementen yang artinya 'Berita dan Penalaran Politik Batavia' pada 7 Agustus 1744. Isinya memuat pengumuman, peraturan, dan keputusan pemerintah Belanda.
Setelah sekian lama disetir oleh pihak berkuasa, pers Indonesia mulai mengambil sikap dengan menolak segala bentuk kolonialisme Belanda untuk memperjuangkan kebebasan rakyat. Pada abad ke-19, mulai bermunculan surat kabar berbahasa Melayu dan Jawa seperti Bintang Timoer (Surabaya, 1850), Bromartani (Surakarta, 1855), Bianglala (Batavia, 1867), dan Berita Betawie (Batavia, 1874), walaupun redakturnya masih orang-orang Belanda.
Akhirnya pada 1907, terbit surat kabar Medan Prijaji di Bandung yang menjadi pelopor pers nasional karena didirikan oleh pengusaha pribumi, yakni Tirto Adhi Soerjo. Setelah Medan Prijaji, terbitlah Darmo Kondho, Fikiran Ra’jat, Soeloeh Ra’jat, serta surat kabar di luar Jawa seperti Penghantar (Ambon), Sinar Borneo (Banjarmasin), Persatoean (Kalimantan), Pewarta Deli, Matahari (Medan), Sinar Sumatera (Padang). Pada masa ini juga lahir, LKBN Antara pada 13 Desember 1937 yang akan menjadi tonggak sejarah pers nasional.
Namun, selesainya masa pendudukan Belanda, tak serta merta membuat era penjajaran berakhir. Dimulailah pendudukan Jepang pada 1942, di mana kebijakan pers pun turut berubah. Semua penerbit yang berasal dari Belanda dan lainnya dilarang beroperasi. Kantor Berita Antara pun dilebur dalam kantor berita Jepang Domei. Jepang mulai menerbitkan surat kabar dan media lainnya, salah satunya majalah Djawa Baroe yang berisi propaganda mereka.
Setelah Indonesia merdeka, Jepang menerbitkan surat kabar Berita Gunseikanbu untuk menghambat roda pemerintahan Indonesia yaitu. Ini kemudian menyulut semangat para pelajar Kenkoku Gakuin (Akademi pamongpraja) untuk menerbitkan koran Berita Indonesia pada 6 September 1945. Akhirnya surat kabar di seluruh daerah tanah air kembali menampakkan eksistensinya.
Bersamaan dengan munculnya surat kabar di seluruh Indonesia, para wartawan juga membentuk perkumpulan sendiri sebagai wadah persatuan dan advokasi pers nasional. Perjuangan wartawan dan pers Indonesia kemudian memperoleh wadah dengan didirikannya organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada 9 Februari 1946 yang akan menjadi cikal bakal Hari Pers Nasional (HPN)
Saat digelar kongres PWI ke-28 di Padang pada 1978, dicetuskanlah isu soal Hari Pers Nasional yang diperingati setiap 9 Februari sampai sekarang. Memasuki era modern, pers berjalan beriringan dengan perkembangan teknologi yang kian masif. Surat kabar mulai digantikan oleh media online yang bisa diakses lewat perangkat elektronik untuk menjangkau audiens yang lebih luas.
Kemudahan untuk mengakses informasi, memunculkan fenomena information overload atau banjir informasi yang membuat kita sulit membedakan fakta dengan hoax. Persaingan antara media massa juga membuat maraknya penggunaan click bait yang merusak kualitas produk pers dan menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat.
Di sinilah Dewan Pers berperan sebagai badan uji verifikasi yang membuktikan kualitas media massa, serta mengawasi segala bentuk kegiatan jurnalisme. Menengok kembali sejarah panjang pers di tanah air, tentu tak lepas dari para tokoh-tokohnya perintisnya.
Nah Genhype, yuk simak beberapa tokoh pers nasional yang Hypeabis.id bahas profilnya di halaman berikut!
Baca juga: LPDS Rilis Buku Melawat ke Talawi, Rekam Kisah Hidup Pelopor Jurnalistik Adinegoro
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.