Pedagang menyusun koran di Jakarta, Selasa (24/1/2023). (Sumber foto: JIBI/Hypeabis.id/Eusebio Chrysnamurti

Cikal Bakal Pers Indonesia sejak Era Kolonialisme hingga Kini

09 February 2024   |   14:12 WIB
Image
Kintan Nabila Jurnalis Hypeabis.id

Tokoh Pers Nasional


1. Tirto Adhi Soerjo (1880–1918)

 

Bapak Pers Nasional, Tirto Adhi Soerjo. (Sumber foto: Wikimedia Commons)

Bapak Pers Nasional, Tirto Adhi Soerjo. (Sumber foto: Wikimedia Commons)

Tirto Adhi Soerjo atau nama aslinya, Raden Mas Djokomono lahir di Cepu, Blora, Jawa Tengah 1880 dan meninggal di Batavia, 7 Desember 1918 pada usia 37 atau 38 tahun. Beliau merupakan tokoh pers dan tokoh kebangkitan nasional Indonesia, serta dikenal sebagai Bapak Pers Nasional.

Tirto menerbitkan surat kabar Soenda Berita (1903-1905), Medan Prijaji (1907) dan Putri Hindia (1908). Medan Prijaji merupakan surat kabar nasional pertama yang menggunakan bahasa Melayu (bahasa Indonesia). Seluruh pekerjanya mulai dari pengurus percetakan, penerbitan, dan wartawannya adalah masyarakat pribumi asli.

Di tangannya surat kabar menjadi alat propaganda dan pemersatu bangsa dalam melawan penjajah. Dia juga berani mengkritisi pemerintahan kolonial Belanda. Akhirnya Tirto ditangkap dan disingkirkan dari Pulau Jawa, lalu dibuang ke Pulau Bacan dekat Halmahera (Provinsi Maluku Utara).


2. Ruhana Kuddus (1884–1972)

 

Ruhana Kuddus. (Sumber foto: Wikimedia Commons)

Ruhana Kuddus. (Sumber foto: Wikimedia Commons)

Ruhana Kuddus merupakan tokoh pers yang merintis media perempuan. Pada 1908, Ruhana menulis untuk Poetri Hindia, surat kabar perempuan yang didirikan oleh Tirto Adhi Soerjo. Sayang, media ini harus ditutup pemerintah Belanda pada 1911. Namun Ruhana tak gampang menyerah, dia menulis surat pada Soetan Maharadja, editor Oetoesan Melajoe, untuk mendirikan surat kabar khusus perempuan pada 1912.

Soetan pun setuju untuk mendirikan Soenting Melajoe sebagai media massa untuk mendidik kaun perempuan. Dia juga menjadikan Ruhana sebagai pemimpin redaksinya. Sejak saat itu, Ruhana aktif menyunting berita yang terbit di Soenting Melajoe sampai tutup usia pada 17 Agustus 1972.


3. Tan Malaka (1897–1949)

 

Tan Malaka. (Sumber foto: Wikimedia Commons)

Tan Malaka. (Sumber foto: Wikimedia Commons)

Tan Malaka lahir dengan nama Ibrahim gelar Datuk Sutan Malaka pada 1897. Sebagai seorang jurnalis, dia aktif menyuarakan kesenjangan ekonomi antara kaum kapitalis dan pekerja,. Salah satunya dengan mengekspos penderitaan para kuli perkebunan teh lewat tulisannya dalam Sumatera Post.

Karya-karya tulisan Tan Malaka lainnya yang terkenal adalah Tanah Orang Miskin yang dimuat dalam Het Vrije Woord pada 1920 dan Naar de Republiek Indonesien (Menuju Republik Indonesia) pada 1924. Tan Malaka wafat pada 1949 dan diakui sebagai Pahlawan Nasional.


4. Mohammad Hatta (1902–1980)

 

Mohammad Hatta. (Sumber foto: Wikimedia Commons)

Mohammad Hatta. (Sumber foto: Wikimedia Commons)

Sebagai tokoh proklamator Indonesia, Mohammad Hatta turut mendukung perkembangan jurnalistik nasional. Sejak era 1930-an, ketika mengenyam pendidikan di Belanda, Hatta rajin menulis artikel soal politik dan ekonomi untuk harian Daulat Ra'jat, koran Sin Tit Po, Nationale Commantaren, dan Pemandangan, 

Tulisannya mengedukasi pembaca, mengenai pergolakan kekuasaan yang berkecamuk saat itu. Mengajak masyarakat untuk bersatu, serta memihak pihak Barat maupun fasisme Jepang.


5. Rosihan Anwar (1922-2011)

 

Rosihan Anwar. (Sumber foto: Twitter/ Netherlands Indies Government Information Service)

Rosihan Anwar. (Sumber foto: Netherlands Indies Government Information Service)

Rosihan Anwar memulai karier jurnalistiknya sebagai reporter Asia Raya sejak era pendudukan Jepang pada 1943. Akhirnya dia menjabat sebagai pemimpin redaksi Siasat (1947-1957) dan Pedoman (1948-1961). Dia sempat disekap oleh penjajah Belanda di Bukit Duri, Batavia (Jakarta) dan koran Pedoman miliknya dibredel.

Pada era Orde Baru, Rosihan Anwar menjabat sebagai Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (1968-1974). Kontribusinya dalam sejaran perkembangan pers nasional membuat, Rosihan Anwar dan Herawati Diah, yang ikut mendirikan PWI, mendapat penghargaan 'Life Time Achievement' atau 'Prestasi Sepanjang Hayat' dari PWI Pusat pada 2007.


6. Herawati Diah (1917–2016)

 

Herawati Diah mengawali karier jurnalistiknya saat masih bersekolah di Amerika Serikat. Sambil menjalankan studi, dia rajin mengirimkan tulisan ke Doenia Kita, majalah yang didirikan ibunya. Setelah pulang ke Indonesia pada 1942, Herawati bekerja sebagai wartawan lepas di United Press International (UPI) dan menjadi penyiar radio Hosokyoku.  

Bersama sang suami, Burhanuddin Mohammad Diah atau BM Diah yang saat itu menjadi asisten editor di Asia Raja, mereka mendirikan harian Merdeka dan The Indonesian Observer, sebagai pelopor surat kabar berbahasa Inggris pertama di Indonesia. Selain aktif sebagai wartawan, Herawati Diah juga terus memperjuangkan hak-hak perempuan Indonesia dengan mendirikan Komnas Perempuan.

Baca juga: Hari Pers Nasional, Simak Profil 5 Jurnalis Perempuan Berpengaruh pada Masa Kemerdekaan

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News

Editor: Nirmala Aninda
1
2


SEBELUMNYA

Intip Kolaborasi The Stones Roses dengan Manchester United, Gaungkan Kembali Skena Madchester?

BERIKUTNYA

Ada Kampanye Akbar & Perayaan Imlek, Cek Rekayasa Lalu Lintas Jakarta 10 Februari

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: