Hypereport: Joy of Missing Out Bakal Jadi Tren Wisata 2025
25 November 2024 |
11:13 WIB
Tidak jauh berbeda dengan tahun ini, tren pariwisata pada 2025 sebagian besar bakal mirip. Namun, bukan berarti tidak ada sesuatu yang baru, yang mewarnai wisata tahun depan. Gejala fear of missing out atau FOMO tidak lagi menjadi acuan bagi para wisatawan untuk datang ke suatu destinasi yang ada di dalam negeri.
Pengamat pariwisata Chusmeru menilai bahwa tren wisata 2025 akan diwarnai oleh fenomena joy of missing out atau JOMO, yakni wisatawan tidak lagi tergiur oleh destinasi wisata yang viral.
“Wisatawan lebih memilih objek wisata yang tidak padat pengunjung untuk mendapatkan ketenangan dalam berwisata,” katanya kepada Hypeabis.id.
Baca juga laporan terkait:
Selain itu, budaya dan kuliner juga akan menjadi tren pada tahun depan. Beragam event seni budaya akan banyak digelar pemerintah seiring dengan terbentuknya Kementerian Kebudayaan dan Kementerian Ekonomi Kreatif. “Event musik dan olahraga yang berskala internasional menjadi tren pada 2025,” ujarnya.
Para wisatawan yang datang ke Indonesia akan memburu kuliner yang ada di dalam negeri sebagai dampak efek Autonomous Sensory Meridian Response (ASMR), yakni sensasi berupa perasaan senang dan rileks sebagai respons atas tayangan kuliner lewat konten media sosial para pesohor.
Langkah mereka memburu kuliner yang ada di dalam negeri tidak dapat dilepaskan dari aktivitas para pemengaruh atau influencer yang kerap memamerkannya di media sosial. Meskipun begitu, pariwisata 2025 tidak akan bebas dari tantangannya, yakni daya beli, aksesibilitas menuju destinasi, dan tata kelola pariwisata yang masih belum baik.
“Daya beli wisatawan yang lebih masih terbebani oleh harga tiket transportasi yang mahal. Aksesibilitas masih menjadi tantangan tahun 2025, karena masih banyak objek wisata di daerah yang sulit untuk dikunjungi karena keterbatasan aksesibilitas,” katanya.
Adapun, tata kelola pariwisata yang belum baik akan menjadi tantangan paling serius pada 2025. Dengan begitu, kerusakan lingkungan dan pelanggaran terhadap tata ruang masih akan sering terjadi. Tata kelola pariwisata yang masih harus diperbaiki akan berdampak terhadap kerusakan ekosistem sebagai imbas bisnis pariwisata.
Dia menambahkan, sejumlah pihak dapat melakukan berbagai macam inovasi dan diversifikasi produk wisata terkait peluang bisnis untuk mendongkrak angka kunjungan wisatawan. “Harus selalu ada yang baru dan beragam dari setiap destinasi wisata di daerah,” katanya.
Peluang bisnis juga bisa datang dari kalender event, baik yang berskala nasional maupun internasional. MICE (Meeting, Incentive, Conference, Exhibition) punya peluang untuk mendongkrak angka kunjungan wisatawan.
Namun, sepertinya ini akan terkendala dengan kebijakan pemerintah yang akan memangkas anggaran perjalanan dinas Aparatur Sipil Negara sebesar 50 persen, serta imbauan kepada instansi pemerintah untuk tidak terlalu banyak melakukan kegiatan seminar.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum bidang Organisasi DPP GIPI, yang juga merupakan Sekjen PHRI Maulana Yusran menilai daya beli menjadi salah satu tantangan yang dihadapi oleh para pelaku usaha pariwisata di dalam negeri. Salah satu alasan daya beli akan mengalami penurunan adalah rencana Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen tahun depan.
Tidak hanya itu, tarif tiket transportasi umum udara juga menjadi tantangan lain yang dihadapi oleh pariwisata di dalam negeri. Biaya perjalanan wisatawan di dalam negeri dengan kondisi Indonesia sebagai negara kepulaun tidak kecil.
Dengan daya beli yang mengalami penurunan, banyak wisatawan di dalam negeri akan mengesampingkan kegiatan berwisata dan lebih memilih memenuhi kebutuhan utama. Dia mengingatkan bahwa perjalanan wisata adalah kebutuhan sekunder bagi masyarakat pada saat ini.
Meskipun begitu, dia tetap optimistis dengan pariwisata pada tahun depan mengingat sektornya yang sangat menarik. “Kalau optimistis kita harus selalu optimis, Itu penting ya karena kalau kita sudah pesimis tentu kita tidak akan punya harapan,” ujarnya.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) yang rilis pada 1 November 2024 mencatat, kunjungan wisatawan mancanegara di Indonesia mencapai 1,28 juta kunjungan pada September 2024. Angka ini mengalami penurunan 4,53 persen jika dibandingkan dengan Agustus 2024. Malaysia, Australia, dan China adalah wisatawan mancanegara yang mendominasi pada bulan ke-9 tahun ini.
Berbeda dengan wisatawan mancanegara, wisatawan nusantara justru mengalami kenaikan sebesar 9,86 persen pada September 2024 jika dibandingkan dengan Agustus tahun yang sama.
Perjalanan wisatawan nusantara mencapai 757,96 juta perjalanan pada Januari-September 2024. Total ini juga lebih tinggi 21,06 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Baca juga: Bali Masuk Fodor’s No. List 2025, Menteri Pariwisata Sebut Kepadatan Wisatawan Tak Merata
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Pengamat pariwisata Chusmeru menilai bahwa tren wisata 2025 akan diwarnai oleh fenomena joy of missing out atau JOMO, yakni wisatawan tidak lagi tergiur oleh destinasi wisata yang viral.
“Wisatawan lebih memilih objek wisata yang tidak padat pengunjung untuk mendapatkan ketenangan dalam berwisata,” katanya kepada Hypeabis.id.
Baca juga laporan terkait:
- Hypereport: Tren Arsitektur & Desain Interior 2025, Gaya Personal Tiap Generasi Jadi Kunci
- Hypereport: Tren Sektor Perfilman 2025, Penuh Keberagaman Cerita & Eksplorasi
Selain itu, budaya dan kuliner juga akan menjadi tren pada tahun depan. Beragam event seni budaya akan banyak digelar pemerintah seiring dengan terbentuknya Kementerian Kebudayaan dan Kementerian Ekonomi Kreatif. “Event musik dan olahraga yang berskala internasional menjadi tren pada 2025,” ujarnya.
Para wisatawan yang datang ke Indonesia akan memburu kuliner yang ada di dalam negeri sebagai dampak efek Autonomous Sensory Meridian Response (ASMR), yakni sensasi berupa perasaan senang dan rileks sebagai respons atas tayangan kuliner lewat konten media sosial para pesohor.
Langkah mereka memburu kuliner yang ada di dalam negeri tidak dapat dilepaskan dari aktivitas para pemengaruh atau influencer yang kerap memamerkannya di media sosial. Meskipun begitu, pariwisata 2025 tidak akan bebas dari tantangannya, yakni daya beli, aksesibilitas menuju destinasi, dan tata kelola pariwisata yang masih belum baik.
“Daya beli wisatawan yang lebih masih terbebani oleh harga tiket transportasi yang mahal. Aksesibilitas masih menjadi tantangan tahun 2025, karena masih banyak objek wisata di daerah yang sulit untuk dikunjungi karena keterbatasan aksesibilitas,” katanya.
Event budaya jadi salah satu tujuan wisata populer (Sumber gambar: Pexels/Aditya Agarwal)
Adapun, tata kelola pariwisata yang belum baik akan menjadi tantangan paling serius pada 2025. Dengan begitu, kerusakan lingkungan dan pelanggaran terhadap tata ruang masih akan sering terjadi. Tata kelola pariwisata yang masih harus diperbaiki akan berdampak terhadap kerusakan ekosistem sebagai imbas bisnis pariwisata.
Dia menambahkan, sejumlah pihak dapat melakukan berbagai macam inovasi dan diversifikasi produk wisata terkait peluang bisnis untuk mendongkrak angka kunjungan wisatawan. “Harus selalu ada yang baru dan beragam dari setiap destinasi wisata di daerah,” katanya.
Peluang bisnis juga bisa datang dari kalender event, baik yang berskala nasional maupun internasional. MICE (Meeting, Incentive, Conference, Exhibition) punya peluang untuk mendongkrak angka kunjungan wisatawan.
Namun, sepertinya ini akan terkendala dengan kebijakan pemerintah yang akan memangkas anggaran perjalanan dinas Aparatur Sipil Negara sebesar 50 persen, serta imbauan kepada instansi pemerintah untuk tidak terlalu banyak melakukan kegiatan seminar.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum bidang Organisasi DPP GIPI, yang juga merupakan Sekjen PHRI Maulana Yusran menilai daya beli menjadi salah satu tantangan yang dihadapi oleh para pelaku usaha pariwisata di dalam negeri. Salah satu alasan daya beli akan mengalami penurunan adalah rencana Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen tahun depan.
Tidak hanya itu, tarif tiket transportasi umum udara juga menjadi tantangan lain yang dihadapi oleh pariwisata di dalam negeri. Biaya perjalanan wisatawan di dalam negeri dengan kondisi Indonesia sebagai negara kepulaun tidak kecil.
Dengan daya beli yang mengalami penurunan, banyak wisatawan di dalam negeri akan mengesampingkan kegiatan berwisata dan lebih memilih memenuhi kebutuhan utama. Dia mengingatkan bahwa perjalanan wisata adalah kebutuhan sekunder bagi masyarakat pada saat ini.
Meskipun begitu, dia tetap optimistis dengan pariwisata pada tahun depan mengingat sektornya yang sangat menarik. “Kalau optimistis kita harus selalu optimis, Itu penting ya karena kalau kita sudah pesimis tentu kita tidak akan punya harapan,” ujarnya.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) yang rilis pada 1 November 2024 mencatat, kunjungan wisatawan mancanegara di Indonesia mencapai 1,28 juta kunjungan pada September 2024. Angka ini mengalami penurunan 4,53 persen jika dibandingkan dengan Agustus 2024. Malaysia, Australia, dan China adalah wisatawan mancanegara yang mendominasi pada bulan ke-9 tahun ini.
Berbeda dengan wisatawan mancanegara, wisatawan nusantara justru mengalami kenaikan sebesar 9,86 persen pada September 2024 jika dibandingkan dengan Agustus tahun yang sama.
Perjalanan wisatawan nusantara mencapai 757,96 juta perjalanan pada Januari-September 2024. Total ini juga lebih tinggi 21,06 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Baca juga: Bali Masuk Fodor’s No. List 2025, Menteri Pariwisata Sebut Kepadatan Wisatawan Tak Merata
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.