Pengusaha Pariwisata Resmi Ajukan Judicial Review Terkait Pajak Hiburan
07 February 2024 |
18:53 WIB
Gabungan Industri Pariwisata Indonesia resmi mendaftarkan pengujian materil Pasal 58 ayat 2 UU No. 1/2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah kepada Mahkamah Konstitusi. Mereka berharap Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal tersebut.
Ketua Umum DPP GIPI Hariyadi B. Sukamdani mengatakan bahwa pasal 58 ayat 2 UU No. 1/2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberlakukan jasa hiburan karaoke, kelab malam, diskotek, bar, dan mandi uap/ spa secara berbeda dengan lainnya. “Jadi, kami meminta untuk dibatalkan,” katanya di Mahkamah Konstitusi pada Rabu, (7/2/2024).
Dia menjelaskan, pemberlakuan tarif pajak barang dan jasa tertentu kepada lima jenis jasa hiburan tersebut, pertama, tidak sesuai dengan sejumlah pasal dalam Undang Undang Dasar (UUD) 1945, khususnya adalah tentang diskriminasi karena dibedakan dengan yang lain.
Kedua, GIPI juga melihat penetapan tarif pajak barang dan jasa tertentu kepada 5 jenis jasa hiburan dalam pasal tersebut sebesar minimal 40 persen dan maksimal 75 persen tidak memiliki dasar perhitungan dan pertimbangan yang kuat.
“Di sana terlihat sekali diskriminasi. Kalau memang 5 jenis usaha hiburan itu termasuk kategori yang hendak dibatasi, tentu perlakuannya tidak dengan tarif. Namun, dengan perizinan,” ujarnya.
Baca juga: Perbandingan Tarif Pajak Hiburan Sejumlah Negara Asean 2024, Indonesia Paling Tinggi
Kuasa Hukum DPP GIPI Muhammad Joni menambahkan bahwa alasan lain pengajuan judicial review kepada MK adalah para pelaku usaha masih memerlukan kebijakan tarif pajak yang dapat membuat nyaman dalam berusaha dan menaikan kesempatan membangun industri hiburan dengan kondisi ekonomi saat ini.
Asosiasi menilai bahwa momentum peningkatan tarif pajak terhadap lima jenis jasa hiburan yang dilakukan oleh pemerintah melalui aturan tersebut tidak tepat. “Kondisi saat ini tidak layak diterapkan. Dengan kondisi-kondisi yang memang harus mendukung ekonomi bertumbuh kembali,” katanya.
Joni menambahkan, judicial review terhadap pasal 58 ayat 2 UU No.1/ 2022 tentang Hubungan Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah juga bagian dari kepentingan publik dan masyarakat luas selain industri.
Dalam jasa hiburan, terdapat para pekerja formal dan informal yang terserap dan keberadaannya cukup tinggi lantaran industri ini tidak memembutuhkan kualifikasi yang terlalu tinggi. Selain itu, jasa hiburan ini juga berdampak terhadap banyak pihak.
“Ujung-ujungnya berimplikasi kepada masyarakat luas. Bukan hanya kepada pelaku usaha, industri hiburan, tetapi juga konsumen, wajib pajak, dan kita semua,” katanya.
Dia menambahkan bahwa semua pihak tidak boleh lupa jika hiburan adalah hak asasi terhadap manusia. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia maupun UU No.10/2009 tentang Kepariwisataan menyebutkan bahwa individu memiliki hak untuk berlibur dan merupakan salah satu kebutuhan manusia.
Untuk diketahui, langkah GIPI mengajukan judicial review ke MK terkait dengan UU NO. 1/ 2022 tentang tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menambah daftar panjang gugatan terhadap beleid tersebut.
Sebelumnya, Asosiasi SPA Terapis Indonesia (ASPI) juga tercatat telah melakukan judicial review terkait dengan beleid tersebut. Asosiasi mengajukan gugatan sebaga bentuk penolakan terhadap Undang-undang No.1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Baca juga: Menteri Pariwisata & Ekonomi Kreatif Sandiaga Dukung Pengusaha Agar Spa Tidak Dikenakan Pajak Hiburan
Editor: Puput Ady Sukarno
Ketua Umum DPP GIPI Hariyadi B. Sukamdani mengatakan bahwa pasal 58 ayat 2 UU No. 1/2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberlakukan jasa hiburan karaoke, kelab malam, diskotek, bar, dan mandi uap/ spa secara berbeda dengan lainnya. “Jadi, kami meminta untuk dibatalkan,” katanya di Mahkamah Konstitusi pada Rabu, (7/2/2024).
Dia menjelaskan, pemberlakuan tarif pajak barang dan jasa tertentu kepada lima jenis jasa hiburan tersebut, pertama, tidak sesuai dengan sejumlah pasal dalam Undang Undang Dasar (UUD) 1945, khususnya adalah tentang diskriminasi karena dibedakan dengan yang lain.
Kedua, GIPI juga melihat penetapan tarif pajak barang dan jasa tertentu kepada 5 jenis jasa hiburan dalam pasal tersebut sebesar minimal 40 persen dan maksimal 75 persen tidak memiliki dasar perhitungan dan pertimbangan yang kuat.
“Di sana terlihat sekali diskriminasi. Kalau memang 5 jenis usaha hiburan itu termasuk kategori yang hendak dibatasi, tentu perlakuannya tidak dengan tarif. Namun, dengan perizinan,” ujarnya.
Baca juga: Perbandingan Tarif Pajak Hiburan Sejumlah Negara Asean 2024, Indonesia Paling Tinggi
Kuasa Hukum DPP GIPI Muhammad Joni menambahkan bahwa alasan lain pengajuan judicial review kepada MK adalah para pelaku usaha masih memerlukan kebijakan tarif pajak yang dapat membuat nyaman dalam berusaha dan menaikan kesempatan membangun industri hiburan dengan kondisi ekonomi saat ini.
Asosiasi menilai bahwa momentum peningkatan tarif pajak terhadap lima jenis jasa hiburan yang dilakukan oleh pemerintah melalui aturan tersebut tidak tepat. “Kondisi saat ini tidak layak diterapkan. Dengan kondisi-kondisi yang memang harus mendukung ekonomi bertumbuh kembali,” katanya.
Joni menambahkan, judicial review terhadap pasal 58 ayat 2 UU No.1/ 2022 tentang Hubungan Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah juga bagian dari kepentingan publik dan masyarakat luas selain industri.
Dalam jasa hiburan, terdapat para pekerja formal dan informal yang terserap dan keberadaannya cukup tinggi lantaran industri ini tidak memembutuhkan kualifikasi yang terlalu tinggi. Selain itu, jasa hiburan ini juga berdampak terhadap banyak pihak.
“Ujung-ujungnya berimplikasi kepada masyarakat luas. Bukan hanya kepada pelaku usaha, industri hiburan, tetapi juga konsumen, wajib pajak, dan kita semua,” katanya.
Dia menambahkan bahwa semua pihak tidak boleh lupa jika hiburan adalah hak asasi terhadap manusia. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia maupun UU No.10/2009 tentang Kepariwisataan menyebutkan bahwa individu memiliki hak untuk berlibur dan merupakan salah satu kebutuhan manusia.
Untuk diketahui, langkah GIPI mengajukan judicial review ke MK terkait dengan UU NO. 1/ 2022 tentang tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menambah daftar panjang gugatan terhadap beleid tersebut.
Sebelumnya, Asosiasi SPA Terapis Indonesia (ASPI) juga tercatat telah melakukan judicial review terkait dengan beleid tersebut. Asosiasi mengajukan gugatan sebaga bentuk penolakan terhadap Undang-undang No.1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Baca juga: Menteri Pariwisata & Ekonomi Kreatif Sandiaga Dukung Pengusaha Agar Spa Tidak Dikenakan Pajak Hiburan
Editor: Puput Ady Sukarno
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.