LMKN: Pencipta & Penyanyi Lagu Harus Jalan Bareng Bikin Penunggak Bayar Royalti
Data Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) menunjukkan bahwa perbandingan jumlah dana terhimpun dari 2019 sampai 2023 baru berada di angka puluhan miliar rupiah. Terbaru, pada 2023, jumlah dana terhimpun dari user mencapai Rp55,15 miliar.
Dari total tersebut, royalti yang berasal dari dana karaoke masih menjadi yang terbesar dengan jumlah Rp22,5 miliar. Kemudian, disusul dari sektor televisi (Rp8,7 miliar), mal dan pertokoan (Rp7,5 miliar), hotel (Rp5,9 miliar), dan sebagainya. Sementara itu, dana dari konser musik berada di urutan kelima dengan nilai Rp4,9 miliar.
Tahun | Dana Terhimpun |
2019 | Rp63.793.178.548 |
2020 | Rp28.650.633.590 |
2021 | Rp17.387.387.015 |
2022 | Rp35.005.101.306 |
2023 | Rp55.151.768.212 |
Baca juga: Transparansi & Akuntabilitas Penting Guna Hindari Konflik Hak Royalti
Komisioner Lembaga Manajemen Kolektif Nasional Marcell Siahaan mengatakan bahwa tarif royalti di dalam negeri menjadi yang terkecil di dunia. Namun, secara persentase, Indonesia menjadi yang terbesar.
Sebagai contoh, pada saat ini, tarif performing rights konser musik sebesar 2%. Angka ini lebih besar jika dibandingkan dengan Amerika Serikat yang memiliki persentase ½%. Namun, nilai yang didapat oleh Amerika Serikat bisa lebih besar lantaran pengalinya juga besar.
”Kepatuhannya pun besar [Di Amerika Serikat],” katanya.
Dengan begitu, semua pihak perlu bahu membahu bekerja sama menaikkan pendapatan royalti, dan tidak menciptakan 'jurang' yang dapat membuat banyak pihak bertengkar. Pendapatan yang besar bisa membuat pencipta dan pemegang hak cipta memperoleh hak yang lebih besar pula.
Dia mengingatkan bahwa penyanyi juga memiliki hak jika penciptanya meminta hak dengan tendensi yang keras. Penyanyi dan produser bisa saja melarang lagu yang dinyanyikan olehnya. Produser bisa berkata bahwa mereka memiliki hak lantara produksi lagu menggunakan uang yang berasal darinya.
”Terus mau jadi apa ekosistemnya? [Jika semua saling melarang] Makanya, yang diimbau adalah kedewasaan kita melihat. Ini bukan hanya masalah percaturan 1-2 orang. Kita bicara pencipta seluruh Indonesia. Kita bicara pelaku pertunjukan seluruh Indonesia. Kita bicara user seluruh Indonesia,” ujarnya.
Baca juga: Hak Cipta dan Royalti Masih Jadi Akar Polemik Para Musisi Tanah Air
Marcell menuturkan bahwa saat ini semua orang memiliki rasa takut untuk menyanyikan sebuah lagu. Langkah sejumlah pihak beberapa waktu lalu di Indonesia berdampak di ”akar rumput”. Menurutnya, ekspektasi yang berlebihan menjadi awal dari banyak pihak berteriak soal royalti. Setelahnya, mereka mulai mengutak-atik regulasi eksisting.
Regulasi tentang hak cipta pada saat ini tidak ada yang salah. Dia menilai bahwa aturan sudah jelas dan baik. Meskipun begitu, dia tidak menampik bahwa masih ada ketidaksempurnaan. Apalagi jika bicara transformasi dan disrupsi digital. Namun, secara praktik, dia mengatakan fokus terhadap cara membuat semua pihak bekerja sama dan tidak membuat ”jurang”.
”Bagaimana caranya membangun mindset,” ujarnya.
Dia menekankan bahwa Undang-undang No. 28/2014 tentang Hak Cipta dibuat untuk membesarkan ekosistem yang berkelanjutan. Tujuannya, yang tertera jelas di undang-undang, adalah kreativitas makro Indonesia yang besar selain menjaga stabilisasi Merah Putih sebagai bagian percaturan dunia.
Grup musik Mantra Vutura tampil diiringi Twilite Orchestra yang dipimpin Komposer Addie MS pada konser keluarga musikal di Ciputra Artpreneur Theater (Sumber foto: JIBI/Bisnis/Arief Hermawan P)
Direct Licensing
Marcell menuturkan bahwa apa saja yang ada hubungannya dengan performing rights harus diatur dengan tarif dan mekanisme yang sudah baku. Tidak hanya di Indonesia, dunia internasional juga memberlakukan hal tersebut, sehingga collective management organizations (CMO) juga ada di negara lainnya.
Keberadaan CMO menjadi perlu guna menjaga keberlangsungan ekosistem musik di dalam negeri. Undang-undang No. 28/2014 tentang Hak Cipta mengadopsi sistem extended collective licensing dan bukan direct licensing.
Alasan penggunaan sistem tersebut adalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang besar. Sistem direct licensing dapat diterapkan jika suatu negara memiliki wilayah yang kecil, seperti Singapura, penulis lagunya banyak, dan membawakan lagu sendiri.
Dengan begitu, penerapan direct licensing tidak sesuai dengan regulasi yang ada pada saat ini. Pihak yang ingin menggunakan sistem tersebut perlu mengubah undang-undang dengan membawanya ke Mahkamah Konstitusi.
”Ganti dahulu ke MK, beranikan diri untuk itu. Namun, sorry, kalau kamu mau mempraktikkan direct licensing dalam kondisi undang-undang kita tidak memperbolehkan atau tidak memberikan celah, silahkan menjadi vigilante,” katanya.
Ketua LMKN Dharma Oratmangun mengatakan bahwa aturan yang terdapat di dalam UU No. 28/2014 tentang Hak Cipta mengatur tentang hak cipta dan hak terkait di seluruh Indonesia, bukan untuk kota besar semata atau wilayah yang industrinya aktif saja.
Beleid ini melindungi pencipta, penyanyi, dan produsen musik di seluruh wilayah di dalam negeri. Aturan ini memerintahkan LMKN untuk mengumpulkan hak yang dikuasakan kepada Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).
Setelah itu, LMKN mendistribusikannya kepada LMK untuk diberikan kepada pencipta atau pemegang hak cipta. Dia menekankan bahwa semua pihak memiliki tanggung jawab kolektif terhadap ekosistem musik di Indonesia yang harus disehatkan.
”Saya menggunakan kata disehatkan karena lama sekali dia sakit. Jadi, LMKN hadir untuk juga menyehatkan ekosistem musik di indonesia, khusus di bidang performing rights,” ujarnya.
Pada saat ini, dana yang terkumpul dari pembayaran royalti dipotong maksimal 20% untuk biaya opersional LMKN dan LMK. Dengan begitu, sisanya diberikan kepada para pencipta atau pemegang hak cipta.
Baca juga: Hypereport: Aliansi Musisi Pencipta Lagu Menanti Pembagian Royalti yang Lebih Baik
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.