Transparansi & Akuntabilitas Penting Guna Hindari Konflik Hak Royalti
03 January 2024 |
20:00 WIB
Kisruh tentang hak royalti kembali mencuat di industri musik dalam negeri. Kini, giliran musisi Ndhank Surahman Hartono yang melarang Andre Taulany dan grup band Stinky membawakan lagu berjudul Mungkinkah. Langkah musisi melakukan somasi terhadap musisi lainnya di dalam negeri bukan yang pertama kali.
Tercatat, ada beberapa kali terkait kasus serupa di mana satu musisi melarang musisi lainnya untuk membawakan suatu karya. Terkait kondisi tersebut, Manajer Advokasi Koalisi Seni Hafez Gumay menuturkan bahwa Koalisi Seni tidak mengomentari kasus hak cipta yang ranahnya pribadi.
Baca juga: Hypereport: Aliansi Musisi Pencipta Lagu Menanti Pembagian Royalti yang Lebih Baik
Meskipun begitu, secara keseluruhan, kasus-kasus yang sudah terjadi kesekian kalinya di dalam negeri bisa dihindari jika pembagian royalti bisa sesuai atau adil. Bagi Hafez, masalah utama pengelolaan royalti musik di Indonesia adalah transparansi dan akuntabilitas distribusi royalti.
Dia menuturkan bahwa data yang dipaparkan oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) hanya sebatas jumlah royalti yang berhasil dipungut dari pengguna. Namun, mekanisme penentuan jumlah royalti yang didistribusikan selalu menjadi tanda tanya.
“Sesederhana kenapa A dapat 10 dan si B dapat 5,” ujarnya.
Dia menilai, sebaiknya terdapat penghitungan distribusi hak royalti yang dipublikasikan secara transparan. Jadi, semua orang mengetahui cara menentukan seorang musisi bisa mendapatkan sejumlah tertentu dari karyanya.
Tidak hanya itu, cara Lembaga Manajemen Kolektif Nasoinal membagi royalti yang akan diberikan kepada pencipta melalui LMK seharusnya dijelaskan secara transparan.
“Ini yang kami tidak memiliki informasi. Pada waktu penelitian tidak berhasil mendapatkan penjelasan,” ujarnya.
Dia menuturkan bahwa mekanisme penentuan jumlah royalti yang masih menjadi tanda membuat banyak pencipta lagu merasa bahwa pendapatan yang paling efektif adalah bagi hasil langsung dengan penampil.
Di sisi lain, Undang – Undang N0. 28/ 2014 tentang Hak Cipta tidak mengatur tentang mekanisme pembagian hasil dengan penampil. Berarti pencipta atau pemegang hak cipta perlu menanyakan ke Lemabaga Manajemen Kolektif ketika menerima hak royalti yang tidak sesuai jika artis atau penyelenggara pertunjukan musik sudah membayar sesuai dengan besaran yang ditentukan.
Dia menuturkan bahwa sesungguhnya kewajiban pembayaran royalti ada di pengguna. Sementara untuk penampil bisa menyanyikan sebuah karya selama menghormati hak moral.
Hafez mengingatkan bahwa terdapat perbedaan antara pengguna dengan pelaku pertunjukan. Pengguna adalah orang yang menyelenggarakan pertunjukannya, yakni bisa dalam bentuk live atau dengan memutar rekaman, seperti restoran yang memutar lagu melalui CD.
Sementara itu, pelaku pertunjukan merupakan orang yang menyanyikan kembali atas permintaan pengguna. Terkadang, pelaku pertunjukan juga pengguna kalau menyelenggarakan sendiri kegiatan musiknya atau self organizing.
Beberapa kasus yang terjadi di dalam negeri terkait dengan royalti menunjukkan bahwa literasi hukum di dalam negeri masih lemah. Tidak hanya itu, walaupun hukum yang ada sudah tersosialisasi dengan baik, tafsiran peraturannya juga masih bermacam-macam.
Dia menambahkan bahwa Pusat Data Lagu dan Musik (PDLM) serta Sistem Informasi Musik dan Lagu (SILM) yang sedang dibangun pada saat ini dapat menjadi cara agar pembagian royalti bisa menjadi lebih baik.
“Intinya harus ada sistem yang transparan dan akuntabel yang bisa diakses semua pemangku kepentingan. Sederhananya, ini semua terjadi karena ada trust issue,” ujarnya.
Baca juga: Hypereport: Hak Cipta dan Royalti Masih Jadi Akar Polemik Para Musisi Tanah Air
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Tercatat, ada beberapa kali terkait kasus serupa di mana satu musisi melarang musisi lainnya untuk membawakan suatu karya. Terkait kondisi tersebut, Manajer Advokasi Koalisi Seni Hafez Gumay menuturkan bahwa Koalisi Seni tidak mengomentari kasus hak cipta yang ranahnya pribadi.
Baca juga: Hypereport: Aliansi Musisi Pencipta Lagu Menanti Pembagian Royalti yang Lebih Baik
Meskipun begitu, secara keseluruhan, kasus-kasus yang sudah terjadi kesekian kalinya di dalam negeri bisa dihindari jika pembagian royalti bisa sesuai atau adil. Bagi Hafez, masalah utama pengelolaan royalti musik di Indonesia adalah transparansi dan akuntabilitas distribusi royalti.
Dia menuturkan bahwa data yang dipaparkan oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) hanya sebatas jumlah royalti yang berhasil dipungut dari pengguna. Namun, mekanisme penentuan jumlah royalti yang didistribusikan selalu menjadi tanda tanya.
“Sesederhana kenapa A dapat 10 dan si B dapat 5,” ujarnya.
Dia menilai, sebaiknya terdapat penghitungan distribusi hak royalti yang dipublikasikan secara transparan. Jadi, semua orang mengetahui cara menentukan seorang musisi bisa mendapatkan sejumlah tertentu dari karyanya.
Tidak hanya itu, cara Lembaga Manajemen Kolektif Nasoinal membagi royalti yang akan diberikan kepada pencipta melalui LMK seharusnya dijelaskan secara transparan.
“Ini yang kami tidak memiliki informasi. Pada waktu penelitian tidak berhasil mendapatkan penjelasan,” ujarnya.
Dia menuturkan bahwa mekanisme penentuan jumlah royalti yang masih menjadi tanda membuat banyak pencipta lagu merasa bahwa pendapatan yang paling efektif adalah bagi hasil langsung dengan penampil.
Di sisi lain, Undang – Undang N0. 28/ 2014 tentang Hak Cipta tidak mengatur tentang mekanisme pembagian hasil dengan penampil. Berarti pencipta atau pemegang hak cipta perlu menanyakan ke Lemabaga Manajemen Kolektif ketika menerima hak royalti yang tidak sesuai jika artis atau penyelenggara pertunjukan musik sudah membayar sesuai dengan besaran yang ditentukan.
Dia menuturkan bahwa sesungguhnya kewajiban pembayaran royalti ada di pengguna. Sementara untuk penampil bisa menyanyikan sebuah karya selama menghormati hak moral.
Hafez mengingatkan bahwa terdapat perbedaan antara pengguna dengan pelaku pertunjukan. Pengguna adalah orang yang menyelenggarakan pertunjukannya, yakni bisa dalam bentuk live atau dengan memutar rekaman, seperti restoran yang memutar lagu melalui CD.
Sementara itu, pelaku pertunjukan merupakan orang yang menyanyikan kembali atas permintaan pengguna. Terkadang, pelaku pertunjukan juga pengguna kalau menyelenggarakan sendiri kegiatan musiknya atau self organizing.
Beberapa kasus yang terjadi di dalam negeri terkait dengan royalti menunjukkan bahwa literasi hukum di dalam negeri masih lemah. Tidak hanya itu, walaupun hukum yang ada sudah tersosialisasi dengan baik, tafsiran peraturannya juga masih bermacam-macam.
Dia menambahkan bahwa Pusat Data Lagu dan Musik (PDLM) serta Sistem Informasi Musik dan Lagu (SILM) yang sedang dibangun pada saat ini dapat menjadi cara agar pembagian royalti bisa menjadi lebih baik.
“Intinya harus ada sistem yang transparan dan akuntabel yang bisa diakses semua pemangku kepentingan. Sederhananya, ini semua terjadi karena ada trust issue,” ujarnya.
Baca juga: Hypereport: Hak Cipta dan Royalti Masih Jadi Akar Polemik Para Musisi Tanah Air
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.