Ilustrasi penggunaan face recognition. (Sumber gambar: Freepik/Pikisuperstar)

Pakar Ungkap Bahaya Teknologi Face Recognition di Ruang Publik

09 January 2024   |   16:00 WIB
Image
Desyinta Nuraini Jurnalis Hypeabis.id

Face recognition semakin gencar penggunaannya di tempat publik, misalnya stasiun kereta api. Saat ini, PT Kereta Api Indonesia menyematkan teknologi pengenalan wajah itu di pintu keberangkatan 11 stasiun kereta api jarak jauh. Meski memberikan kemudahan penumpang, ternyata alat ini juga punya risiko bahaya lo, Genhype

Vice President Public Relations KAI Joni Martinus menerangkan teknologi face recognition membuat calon penumpang tidak perlu lagi menunjukkan berbagai dokumen, seperti boarding pass fisik, e-boarding pass, atau kartu tanda penduduk (KTP).

Pasalnya, teknologi Face Recognition Boarding Gate PT KAI memanfaatkan kamera khusus yang akan mengidentifikasi dan melakukan validasi identitas calon penumpang melalui pemindaian wajah. 

Ketika sistem melakukan kerjanya, data diri penumpang yang dikenali akan diintegrasikan dengan data tiket kereta hingga status vaksinasi yang bersangkutan. Jika semua data sudah lengkap, penumpang baru dapat masuk ke area tunggu kereta api.

Baca juga: Teknologi Face Recognition Boarding Gate Kini ada di 11 Stasiun

Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi menilai face recognition memberikan otentikasi keamanan yang tinggi karena menjadi identitas spesifik tiap orang. “Kalau bukan orang sesuai gambar yang diinput, sistem akan me-reject dan jika sesuai akan cepat proses persetujuannya,” katanya kepada Hypeabis.id

Kendati demikian, penggunaan teknologi ini tidak bisa sembarangan. Ada sejumlah hal penting yang perlu diperhatikan. Pertama, harus sepersetujuan pengguna. Jika pengguna tidak setuju, penyedia dilarang keras menggunakan metode ini. Apalagi Indonesia sudah memiliki UU Nomor 27/2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (PDP). 

Nah, tendensi pelanggaran face recognition di transportasi umum menurutnya cukup besar. Pasalnya, tidak sedikit yang menggunakannya tanpa persetujuan para pengguna layanan. 

Kedua, data spesifik seperti wajah merupakan data pribadi yang harus dijaga dengan ketat. Oleh karena itu, harus jelas bagaimana data dikumpulkan, diproses, disimpan berapa lama dan bagaimana menghapusnya, sesuai amanat UU PDP. “Artinya, keamanan siber dan perlindungan data harus dijaga,” tegas Heru.

Jadi menurutnya, jika belum dapat mengamankan diri dari potensi serangan siber atau bagaimana melindungi data berharga pengenal wajah tersebut, harusnya face recognition tidak digunakan. Sebab, yang akan dirugikan adalah masyarakat itu sendiri, begitu juga dengan negara karena data masyarakatnya dicuri pihak lain, dijual, atau dimanfaatkan untuk hal-hal negatif. 
 

Ilustrasi teknologi face recognition (Sumber gambar: Freepik/Rawpixel)

Ilustrasi teknologi face recognition (Sumber gambar: Freepik/Rawpixel)

Ketua Indonesia Cyber Security Forum Ardi Sutedja menyebut di Amerika Serikat, penggunaan face recognition dan biometrik sudah dibatasi sejak 2021 melalui undang-undang setempat. Hal ini terjadi lantaran warga Negeri Paman Sam mengeluh bahwa teknologi itu banyak melanggar perlindungan data dan privasi. Biasnya juga cukup tinggi.

“Beberapa kasus teknologi salah membaca (mengenali wajah). Orang tidak bersalah ditangkap atas kejahatan yang tidak dilakukan,” ungkapnya. 

Tak bisa dimungkiri, Indonesia merupakan negara konsumtif dalam bidang teknologi. Sekitar 90% produk teknologi yang beredar di pasaran merupakan buatan China. Sebagai penjual, mereka pasti menyatakan bahwa layanan face recognition itu sebagai teknologi canggih dan aman dipakai. Namun, sebagai konsumen, Indonesia harus tetap teliti soal data yang dilibatkan. 

Data menjadi krusial dan rawan disalahgunakan. Kumpulan data dari face recognition bisa saja diretas oleh para hacker dan dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan atau kejahatan seperti pemerasan. “Enggak ada yang membicarakan risiko-risiko ini, yang dibicarakan adalah angin surganya. Nah ini jadi masalah,” tegas Ardi.

Oleh karena itu, dia mengingatkan agar pemangku kepentingan tidak gegabah dalam menerapkan teknologi hanya karena enggan dibilang negara tertinggal. Perlindungan data pribadi masyarakat harus menjadi pertimbangan utama. Kalaupun ingin menerapkannya, perlu dipastikan siapa yang akan mengoperasikannya dan melakukan audit keamanan secara ketat. 

Jangan sampai data disalahgunakan atau bocor, kemudian pemerintah lepas tangan. “Biasanya kalau ada terjadi apa-apa, pada diam kan. Enggak akan bilang, waduh tempat saya kebobolan gitu. Enggak ada yang mau ngaku,” singgung Ardi.

Perlu juga diperhatikan bahwa masyarakat Indonesia perlu melek terhadap teknologi. Penting melakukan literasi teknologi, terutama terkait risiko yang nantinya akan dihadapi ketika menggunakannya.

Baca juga: 6 Langkah Terhindar dari Kejahatan Siber

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

Editor: Syaiful Millah 

SEBELUMNYA

Jadwal Badminton Malaysia Open 2024, Kontingen Indonesia Optimistis

BERIKUTNYA

Menikmati Karya Seni Berukuran Mini di Pameran All The Small Things

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: