Pakar Ungkap Strategi Pertahankan Bisnis di Tengah Aksi Biokot
04 January 2024 |
21:00 WIB
Serangan Israel terhadap Gaza memang memberikan dampak nyata bagi penjualan produk dari brand yang dicap 'pro Israel' ataupun mendukung tindakan tersebut.
Aksi boikot yang terus menggema di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, membuat transaksi penjualan merek ‘pro Israel’ menurun dalam beberapa bulan terakhir, tidak terkecuali pada kategori produk ibu dan anak, serta kesehatan.
Pakar Marketing dari Managing Partner Inventure Yuswohady berpendapat di Indonesia, kategori yang paling banyak dikonsumsi masyarakat tersebut selama ini dikuasai sejumlah merek yang dinilai pro terhadap Israel. “Transaksinya terbilang paling besar terutama di e-commerce,” ujarnya seperti dilansir Bisnis.
Ketika masyarakat mengetahui bahwa manajemen merek atau individu perusahaan tersebut pro terhadap Israel, sentimen negatif muncul terus menguat dan mempengaruhi perilaku belanja masyarakat.
Baca Juga: Imbas Dukungan ke Israel, Penerbit dan Penulis Tanah Air Ramai-ramai Kecam Frankfurt Book Fair 2023
Aksi boikot pun muncul mengingat masyarakat Indonesia 90% muslim dan ikatan emosional dengan Palestina cukup kuat sejak dulu.
Kendati demikian, Yuswohady menilai ketika perang di Gaza usai, daya beli masyarakat terhadap produk FMCG ini akan kembali. Lama tidaknya kondisi penurunan daya beli pada kategori produk tersebut, tergantung sikap dari Israel.
Jika Israel tidak berhenti melakukan invasi dan genosida di Gaza, bisa saja dampak boikot produk berlangsung permanen.
Apabila Israel menghentikan tindakannya, Yuswohady memprediksi penjualan produk FMCG ini akan kembali meningkat dalam 1-2 bulan.
“Brand kuat, misal Unilever yang kuat sekali dan mendarah daging [di masyarakat Indonesia], begitu sentimen lewat, orang akan balik lagi karena orang mencari brand, bukan afinitas politik,” tuturnya.
Baca Juga: Israel Jadi Negara Pertama di Luar AS yang Pakai Obat Alzheimer Ini
“Stay silent. Ini isu yang sensitif jangan membangunkan macan tidur. Sudah dicap pro Israel, bilang dukung Palestina ini tidak genuine, malah berlebihan, dipersepsi jelek nantinya. Lebih baik stay silent, kuatkan value,” tegasnya.
Selama masa sentimen negatif ini, Yuswohady sepakat bisa menjadi celah atau kesempatan bagi produk lokal untuk mengenalkan diri dan memperluas skala penjualannya. Namun, ketika kondisi di Gaza sudah membaik, menurutnya masih tetap sulit bagi brand lokal untuk bersaing.
Pasalnya, brand seperti Unilever perlu puluhan tahun untuk menancapkan nilai terhadap produknya di Tanah Air. Belum lagi bicara kualitas. “Ini bisa jadi kesempatan merek lokal, tetapi bangun brand bukan hitungan bulan. Pepsodent nancap puluhan tahun. Brand lokal yang kurang dikenal, untuk nancep butuh waktu lama,” tambahnya.
Baca Juga: 7 Fakta Negara Israel, Ditolak Sejak Berdiri hingga Diusir dari Sepak Bola Asia
Aksi boikot yang terus menggema di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, membuat transaksi penjualan merek ‘pro Israel’ menurun dalam beberapa bulan terakhir, tidak terkecuali pada kategori produk ibu dan anak, serta kesehatan.
Pakar Marketing dari Managing Partner Inventure Yuswohady berpendapat di Indonesia, kategori yang paling banyak dikonsumsi masyarakat tersebut selama ini dikuasai sejumlah merek yang dinilai pro terhadap Israel. “Transaksinya terbilang paling besar terutama di e-commerce,” ujarnya seperti dilansir Bisnis.
Ketika masyarakat mengetahui bahwa manajemen merek atau individu perusahaan tersebut pro terhadap Israel, sentimen negatif muncul terus menguat dan mempengaruhi perilaku belanja masyarakat.
Baca Juga: Imbas Dukungan ke Israel, Penerbit dan Penulis Tanah Air Ramai-ramai Kecam Frankfurt Book Fair 2023
Aksi boikot pun muncul mengingat masyarakat Indonesia 90% muslim dan ikatan emosional dengan Palestina cukup kuat sejak dulu.
Kendati demikian, Yuswohady menilai ketika perang di Gaza usai, daya beli masyarakat terhadap produk FMCG ini akan kembali. Lama tidaknya kondisi penurunan daya beli pada kategori produk tersebut, tergantung sikap dari Israel.
Jika Israel tidak berhenti melakukan invasi dan genosida di Gaza, bisa saja dampak boikot produk berlangsung permanen.
Apabila Israel menghentikan tindakannya, Yuswohady memprediksi penjualan produk FMCG ini akan kembali meningkat dalam 1-2 bulan.
“Brand kuat, misal Unilever yang kuat sekali dan mendarah daging [di masyarakat Indonesia], begitu sentimen lewat, orang akan balik lagi karena orang mencari brand, bukan afinitas politik,” tuturnya.
Baca Juga: Israel Jadi Negara Pertama di Luar AS yang Pakai Obat Alzheimer Ini
Strategi Hadapi Boikot
Untuk saat ini, dia menyarankan agar pemegang merek yang dianggap pro Israel di Indonesia sebaiknya tidak melakukan langkah gegabah. Yuswohady menyarankan agar mereka tetap diam, tidak perlu tampil dengan menyatakan dukungan terhadap Palestina atau menyalurkan donasi ke negara tersebut.“Stay silent. Ini isu yang sensitif jangan membangunkan macan tidur. Sudah dicap pro Israel, bilang dukung Palestina ini tidak genuine, malah berlebihan, dipersepsi jelek nantinya. Lebih baik stay silent, kuatkan value,” tegasnya.
Selama masa sentimen negatif ini, Yuswohady sepakat bisa menjadi celah atau kesempatan bagi produk lokal untuk mengenalkan diri dan memperluas skala penjualannya. Namun, ketika kondisi di Gaza sudah membaik, menurutnya masih tetap sulit bagi brand lokal untuk bersaing.
Pasalnya, brand seperti Unilever perlu puluhan tahun untuk menancapkan nilai terhadap produknya di Tanah Air. Belum lagi bicara kualitas. “Ini bisa jadi kesempatan merek lokal, tetapi bangun brand bukan hitungan bulan. Pepsodent nancap puluhan tahun. Brand lokal yang kurang dikenal, untuk nancep butuh waktu lama,” tambahnya.
Baca Juga: 7 Fakta Negara Israel, Ditolak Sejak Berdiri hingga Diusir dari Sepak Bola Asia
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.