Industri Film Indonesia 2024 Diharapkan Mulai Menatap Produksi Global
03 January 2024 |
14:52 WIB
Era baru perfilman Indonesia mulai menapaki periode penting. Babak baru itu ditandai dengan capaian sinema Indonesia, baik dari sisi industri dengan cerminan jumlah penonton yang makin baik, maupun sorotan dunia internasional, khususnya Asia terhadap film-film Indonesia.
Tahun lalu, salah satu festival bergengsi di benua Kuning, Busan International Film Festival memberi karpet merah untuk film-film Indonesia tampil melalui program Renaissance of Indonesian Cinema. Ada 15 judul karya sineas Indonesia yang tayang di program khusus untuk merayakan film Indonesia tersebut. Lima belas film itu terdiri atas film pendek, film panjang, dan serial.
Baca juga: Eksklusif Ernest Prakasa: Menatap Industri Film 2024 dengan Optimistis
Seolah masih melanjutkan tradisi apik, film-film Indonesia juga masih menempatkan wakilnya di berbagai festival lain, seperti Cannes Film Festival, Festival Film Internasional Rotterdam (IFFR), hingga Toronto International Film Festival.
Dari dalam negeri, apresiasi penonton Tanah Air terhadap film Indonesia juga makin terpupuk. Makin sering ditemui film Indonesia yang berhasil mencatatkan raihan satu juta penonton. Prestasi ini tentu saja memberi getaran positif pada industri perfilman.
Produser dan Sutradara kawakan Garin Nugroho memprediksi ada sejumlah momentum besar yang akan terjadi pada 2024. Momentum pertama ialah makin diliriknya film-film Indonesia di kancah global.
Menurutnya, munculnya program khusus untuk menyoroti sinema Indonesia oleh festival bergengsi di Asia menjadi momentum yang harus dimanfaatkan. Bagi Garin, ini adalah bentuk pengakuan industri perfilman Asia terhadap perkembangan film Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.
Program tersebut juga menjadi buah dari jejaring, komunikasi, dan partisipasi Indonesia dalam berbagai festival internasional yang diikuti selama ini, sehingga pelan-pelan mulai mendapat tempat khusus.
Kemudian, momentum kedua ialah terkait dengan industri perfilman yang akan cukup berbeda dibanding sebelumnya. Menurut sutradara Kucumbu Tubuh Indahku ini, jumlah penonton Indonesia masih akan menunjukkan perbaikan.
Namun, Garin memprediksi era euforia penonton yang terjadi imbas pandemi Covid-19 telah benar-benar berakhir. Setelah sebuah lompatan terjadi pada periode tersebut, termasuk dari rekor jumlah penonton film terbanyak tercipta, tahun ini pasar benar-benar sedang menuju penyesuaian baru yang dalam bahasa Garin, disebut ekonomi ril perfilman.
Uniknya, era baru perfilman ini juga akan berbarengan dengan tahun politik. Bagi Garin, tahun politik akan cukup memengaruhi industri perfilman, khususnya dalam hal produksi. Garin memprediksi akan terjadi penurunan produksi hampir 20 persen dibanding tahun sebelumnya.
Segendang sepenarian, sutradara Anggy Umbara menilai 2024 akan jadi tahun yang menarik bagi industri perfilman Indonesia. Dari segi genre, film-film Indonesia akan tampil dengan keberagaman yang lebih menarik.
Menurut Anggy, film horor mungkin masih akan mendominasi. Namun, sineas Indonesia belakangan juga terlihat mulai berani mengulik genre-genre lain, dari komedi, drama, hingga detektif sekalipun. Tak sekadar ada, genre-genre tersebut juga disambut baik oleh penonton.
“Dari pembuat film dan penonton film kini sama-sama menanti keberagaman itu hadir terus. Tidak hanya horor, genre-genre lain akan lebih rising. Secara ekosistem juga lebih sehat untuk mewujudkan hal-hal baru tersebut,” ucapnya.
Salah satu yang disorot oleh Anggy juga makin maraknya festival film atau ajang apresiasi bagi sinema-sinema Indonesia di dalam negeri. Hal ini ikut mendorong munculnya keberagaman film-film yang ada.
Festival membantu film-film dengan berbagai genre atau sudut pandang unik untuk muncul ke pasar. Selain sebagai tempat apresiasi, festival juga menjadikan penonton lebih banyak mengonsumsi film secara lebih beragam.
Di sisi lain, Garin menilai perlu strategi yang apik untuk kemajuan perfilman Indonesia di kancah internasional. Salah satunya ialah dengan mulai menatap standar produksi yang lebih mengedepankan konsumsi global.
Hal itu juga perlu diiringi dengan perbaikan ekosistem. Saat ini, ekosistem perfilman Indonesia dinilainya masih berjalan sporadis. Masih ada gap yang terjadi dalam penyelarasan antara film sebagai produk budaya dan film sebagai bagian dari industri kreatif. Padahal, keduanya mesti berjalan beriringan.
Garin mencontohkan industri perfilman Korea Selatan, ketika budaya dan industri menyatu. Hasilnya, film-film mereka bisa diekspor dan diterima di berbagai negara. Secara pencapaian sinema pun menawan dengan hadirnya film negeri Ginseng di berbagai festival, bahkan pada 2020 memenangi Oscar dengan film Parasite.
“Di sini, dukungan terhadap pendidikan dan kebudayaan sangat tinggi, tetapi kebijakan pada industrinya masih sangat lemah. Misalnya, fasilitasi bank tidak ada,” imbuhnya.
Jika tahun lalu BIFF menganggap periode film Indonesia dicitrakan sebagai era Renaissance, tahun ini perfilman Tanah Air semestinya mulai memasuki Aufklarung. Sebuah era pencerahan yang menjadi zaman kelanjutan dari Renaissance.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Tahun lalu, salah satu festival bergengsi di benua Kuning, Busan International Film Festival memberi karpet merah untuk film-film Indonesia tampil melalui program Renaissance of Indonesian Cinema. Ada 15 judul karya sineas Indonesia yang tayang di program khusus untuk merayakan film Indonesia tersebut. Lima belas film itu terdiri atas film pendek, film panjang, dan serial.
Baca juga: Eksklusif Ernest Prakasa: Menatap Industri Film 2024 dengan Optimistis
Seolah masih melanjutkan tradisi apik, film-film Indonesia juga masih menempatkan wakilnya di berbagai festival lain, seperti Cannes Film Festival, Festival Film Internasional Rotterdam (IFFR), hingga Toronto International Film Festival.
Dari dalam negeri, apresiasi penonton Tanah Air terhadap film Indonesia juga makin terpupuk. Makin sering ditemui film Indonesia yang berhasil mencatatkan raihan satu juta penonton. Prestasi ini tentu saja memberi getaran positif pada industri perfilman.
Produser dan Sutradara kawakan Garin Nugroho memprediksi ada sejumlah momentum besar yang akan terjadi pada 2024. Momentum pertama ialah makin diliriknya film-film Indonesia di kancah global.
Garin Nugroho (Sumber foto: Dok. FFI 2023/Arman Policist)
Program tersebut juga menjadi buah dari jejaring, komunikasi, dan partisipasi Indonesia dalam berbagai festival internasional yang diikuti selama ini, sehingga pelan-pelan mulai mendapat tempat khusus.
Kemudian, momentum kedua ialah terkait dengan industri perfilman yang akan cukup berbeda dibanding sebelumnya. Menurut sutradara Kucumbu Tubuh Indahku ini, jumlah penonton Indonesia masih akan menunjukkan perbaikan.
Namun, Garin memprediksi era euforia penonton yang terjadi imbas pandemi Covid-19 telah benar-benar berakhir. Setelah sebuah lompatan terjadi pada periode tersebut, termasuk dari rekor jumlah penonton film terbanyak tercipta, tahun ini pasar benar-benar sedang menuju penyesuaian baru yang dalam bahasa Garin, disebut ekonomi ril perfilman.
Uniknya, era baru perfilman ini juga akan berbarengan dengan tahun politik. Bagi Garin, tahun politik akan cukup memengaruhi industri perfilman, khususnya dalam hal produksi. Garin memprediksi akan terjadi penurunan produksi hampir 20 persen dibanding tahun sebelumnya.
Segendang sepenarian, sutradara Anggy Umbara menilai 2024 akan jadi tahun yang menarik bagi industri perfilman Indonesia. Dari segi genre, film-film Indonesia akan tampil dengan keberagaman yang lebih menarik.
Menurut Anggy, film horor mungkin masih akan mendominasi. Namun, sineas Indonesia belakangan juga terlihat mulai berani mengulik genre-genre lain, dari komedi, drama, hingga detektif sekalipun. Tak sekadar ada, genre-genre tersebut juga disambut baik oleh penonton.
“Dari pembuat film dan penonton film kini sama-sama menanti keberagaman itu hadir terus. Tidak hanya horor, genre-genre lain akan lebih rising. Secara ekosistem juga lebih sehat untuk mewujudkan hal-hal baru tersebut,” ucapnya.
Salah satu yang disorot oleh Anggy juga makin maraknya festival film atau ajang apresiasi bagi sinema-sinema Indonesia di dalam negeri. Hal ini ikut mendorong munculnya keberagaman film-film yang ada.
Festival membantu film-film dengan berbagai genre atau sudut pandang unik untuk muncul ke pasar. Selain sebagai tempat apresiasi, festival juga menjadikan penonton lebih banyak mengonsumsi film secara lebih beragam.
Di sisi lain, Garin menilai perlu strategi yang apik untuk kemajuan perfilman Indonesia di kancah internasional. Salah satunya ialah dengan mulai menatap standar produksi yang lebih mengedepankan konsumsi global.
Hal itu juga perlu diiringi dengan perbaikan ekosistem. Saat ini, ekosistem perfilman Indonesia dinilainya masih berjalan sporadis. Masih ada gap yang terjadi dalam penyelarasan antara film sebagai produk budaya dan film sebagai bagian dari industri kreatif. Padahal, keduanya mesti berjalan beriringan.
Garin mencontohkan industri perfilman Korea Selatan, ketika budaya dan industri menyatu. Hasilnya, film-film mereka bisa diekspor dan diterima di berbagai negara. Secara pencapaian sinema pun menawan dengan hadirnya film negeri Ginseng di berbagai festival, bahkan pada 2020 memenangi Oscar dengan film Parasite.
“Di sini, dukungan terhadap pendidikan dan kebudayaan sangat tinggi, tetapi kebijakan pada industrinya masih sangat lemah. Misalnya, fasilitasi bank tidak ada,” imbuhnya.
Jika tahun lalu BIFF menganggap periode film Indonesia dicitrakan sebagai era Renaissance, tahun ini perfilman Tanah Air semestinya mulai memasuki Aufklarung. Sebuah era pencerahan yang menjadi zaman kelanjutan dari Renaissance.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.