Hypereport Kemerdekaan: Potret Dinamika Masa Revolusi dalam Ragam Karya Seniman Sudjojono
17 August 2023 |
10:30 WIB
Seniman ini dikenal sebagai salah satu kritikus gaya lukisan mooi indie yang berkembang di Hindia Belanda pada abad ke-19. Dia kurang sepakat para pelukis pribumi hanya melukis pemandangan alam. Baginya, keindahan yang tersaji di atas kanvas lukisan mooi indie tidak kontekstual dengan kondisi kehidupan rakyat.
Sebagai gantinya, dia lantas mengimbau para seniman untuk mulai menaruh perhatian pada persoalan-persoalan kebangsaan. Mencoba membangun kesadaran kolektif bahwa saat itu rakyat berada dalam penderitaan akibat penjajahan kolonial. Dialah Sindoedarsono Sudjojono.
Baca juga: Hypereport: Spirit Revolusioner dalam Karya-karya Seniman Dullah
Kala itu, Sudjojono tidak bermaksud untuk memaksakan para seniman bergeser pada haluan gaya lukis realisme. Sebaliknya, dia justru menawarkan gagasan tentang bagaimana membangun corak seni lukis Indonesia baru. Berkat pemikirannya itulah, tak heran jika pria kelahiran Kisaran, Sumatra Utara, ini dijuluki sebagai Bapak Seni Rupa Modern Indonesia.
Berangkat dari gagasannya itu, pada 1937 bersama pelukis Agus Djaya dan beberapa seniman lainnya, Sudjojono mendirikan Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia atau Persagi di Batavia. Organisasi ini bertujuan untuk membentuk suatu pembaharuan dalam seni rupa Indonesia.
Seni lukis menjadi media yang dapat mewujudkan realitas sosial masyarakat Indonesia. Bagi Persagi, seni lukis tidaklah netral, tetapi berangkat dari cara pandang tertentu. Dalam hal ini, keberadaan Persagi sebagai pihak yang mengritik lukisan Mooi Indie yang dianggap merepresentasikan cara pandang kolonial.
Keberpihakan Sudjojono pada rakyat membawanya menjadi seniman sekaligus tokoh penggerak. Sebagai pelukis, Sudjojono memiliki jiwa kepemimpinan dan kecakapan sebagai organisator yang ulung. Kelantangannya juga bukan hanya berkutat pada persoalan wacana seni, melainkan sikapnya untuk ikut terlibat langsung dalam masa-masa perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Pada bulan-bulan awal kemerdekaan misalnya, para pelukis di Jakarta di bawah arahan Sudjojono ikut membantu propaganda melalui poster-poster dan mural. Begitu pula ketika ibu kota Indonesia pindah dari Jakarta ke Yogyakarta pada 1946 untuk menyelamatkan negara dari tentara sekutu, Sudjojono berada di barisan dengan sejumlah seniman lain dan terlibat langsung dalam kecamuk revolusi.
Setelah organisasi bentukannya, Persagi, dibubarkan tentara Jepang, Sudjojono tak patah arang untuk membentuk kelompok baru. Saat pemerintahan 'mengungsi' ke Yogyakarta, Sudjojono membentuk kelompok Seniman Indonesia Muda (SIM). Diisi oleh seniman muda seperti Dullah, Sundoro, Zaini, dan Najah, para anggota SIM ditugaskan oleh pemerintah untuk membuat poster, spanduk, plakat, dan lukisan dokumentasi perang. Tak terkecuali Sudjojono.
Tak sedikit karya lukisan Sudjojono yang mengambil latar peristiwa pada masa revolusi. Namun, berbeda dengan karya-karya sketsa yang dibuat oleh sejumlah seniman secara on the spot untuk kebutuhan dokumentasi, pria yang akrab disapa Djon itu cenderung membuat lukisan-lukisan bergaya realis yang acapkali mengandalkan memori atau ingatannya akan sebuah peristiwa di masa-masa revolusi.
Lukisan-lukisan yang dibuat pun bukan menggambarkan peperangan ataupun momentum kenegaraan, melainkan kondisi dari imbas gejolak revolusi yang dialami oleh rakyat. Dengan kepiawaiannya, Djon menangkap sejumlah peristiwa penting pada masa itu dan melukiskannya di atas kanvas dari sudut pandangnya.
Misalnya dalam lukisan berjudul Mengungsi. Lukisan berdimensi 105 x 145 cm yang dibuat pada 1948 itu menampilkan dua sosok perempuan, satu laki-laki dan seorang anak kecil yang tampak sedang berusaha menyelamatkan diri dan barang-barang mereka. Jika dilihat dari lukisan itu, tidak terlalu jelas apa sebenarnya yang membuat mereka tampak ketakutan, selain awan yang menghitam sehingga suasana tampak mencekam.
Rupanya, lukisan itu dibuat oleh Djon ketika masa Agresi Militer Belanda II di Yogyakarta. Di atas kanvas, sang perupa melukiskan kembali kondisi keluarga dan para tetangganya ketika berupaya untuk menyelamatkan diri dan mencari tempat yang aman dalam pengungsian, untuk menghindari serangan yang dilakukan tentara Belanda.
Djon menjadi saksi bagaimana kala itu belasan pesawat tempur tentara Belanda secara sporadis menjatuhkan bom di Lapangan Terbang Maguwo, dan melayangkan senapan mesin untuk merebut Yogyakarta. Ledakan-ledakan yang begitu dahsyat membuat warga berlarian kalang kabut dan berusaha menyelamatkan diri.
Lukisan lain yang juga dibuat pada masa revolusi yakni berjudul Kawan-kawan Revolusi (Kamerad Revolusi). Karya berdimensi 149 x 95 cm yang dibuat pada 1947 itu menampilkan sejumlah tokoh laki-laki yang sekilas tidak diketahui pasti identitasnya.
Namun, sejumlah potret yang dilukis Djon itu yakni anak sulungnya Tedja Bayu, lalu Mayor Sugiri, Basuki Resobowo, Soerono, Trisno Sumardjo, Ramli, Suromo, Bung Dullah, Nindyo, Kasno, Oesman Effendi, Soedibio, Yudhokusumo, dan Kartono Yudhokusumo.
Lukisan ini dibuat oleh Djon dilatari oleh sikap heroik seorang pejuang bernama Bung Dullah (bukan pelukis Dullah). Bung Dullah dikisahkan berhasil mengebom empat tank serdadu Belanda dengan sejumlah bom yang diikatkan di pinggangnya. Bung Dullah lalu diselipkan dalam lukisan ini di antara 19 wajah yang lain.
Karya Djon lain yang juga monumental yakni Sekko (1949). Lukisan berdimensi 173 x 194 cm itu mengisahkan seorang tokoh gerilyawan bernama Sekko yang tengah melintas di kawasan Prambanan, Yogyakarta. Sekko sendiri diambil dari bahasa Jepang yang berarti prajurit lini depan yang membuka jalan bagi seluruh pasukan.
Menariknya, alih-alih menampilkan visual prajurit yang berseragam lengkap, Djon justru menghadirkan sosok seorang laki-laki bertelanjang kaki dengan pakaian sederhana sebagai prajurit yang berani mengangkat senjata dan berada di garda terdepan untuk membela bangsa. Meski di tengah puing-puing reruntuhan bangunan dan bebatuan, Sekko tak gentar melawan penjajah.
Peristiwa-peristiwa penting revolusi tak seluruhnya digambarkan oleh Djon pada saat itu juga. Banyak karyanya yang menggambarkan dinamika masa revolusi yang baru dibuat pada tahun 1960-an. Misalnya lukisan berjudul Pertemuan di Tjikampek jg Bersedjarah (1964).
Lukisan berdimensi 153,5 x 106 cm itu menggambarkan suasana perundingan antara tiga pemimpin Angkatan Pemuda Indonesia (API) yaitu Chairul Saleh, Wikana, dan A.M. Hanafi saat mereka singgah di markas API di Cikampek dalam perjalanan menuju Yogyakarta untuk menghadiri Kongres Pemuda pada November 1945.
Dalam karya ini, markas API terlihat nyaris hancur akibat serangan bom dan senapan mesin dari pasukan NICA (Netherlands Indies Civil Administration atau Pemerintahan Sipil Hindia Belanda). Djon yang hadir dan menyaksikan perundingan ini mengabadikan peristiwa tersebut ke dalam sketsa lalu dibuat versi lukisannya.
Pada masa ini, Djon juga membuat lukisan lain yang berangkat dari hasil karya sketsanya seputar peristiwa-peristiwa di sekitar markas tersebut yakni berjudul Ngaso (1964). Lukisan ini dibuat oleh Djon berdasarkan peristiwa yang terjadi tak lama setelah proklamasi kemerdekaan.
Dalam lukisan ini, sang seniman menggambarkan potret pejuang-pejuang kemerdekaan yang sedang beristirahat atau ngaso di sebuah reruntuhan, di tengah pertempuran melawan pasukan Sekutu untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Saat itu, Djon sedang dalam perjalanan dari Jakarta menuju Yogyakarta, untuk menghadiri Kongres Pemuda I. Dalam perjalanan tersebut, dia dan rekan-rekannya singgah di markas Angkatan Pemuda Indonesia di Cikampek, Jawa Barat. Selama masa persinggahan ini, Djon menggambar berbagai peristiwa yang terjadi selama pertempuran yang kemudian baru dijadikan lukisan hampir 20 tahun setelahnya.
Selain kelima lukisan tersebut, masih banyak karya Djon yang dibuat pada masa revolusi diantaranya Markas Laskar di Bekas Gudang Beras Tjikampek (1964), Persiapan Gerilya (1964), dan Prambanan (Jaga Pertama Menyeberang Djalan) yang dibuat pada 1968. Sebagian besar karya-karya monumental Djon saat ini menjadi koleksi Istana Kepresidenan Republik Indonesia.
Kurator Rizki A. Zaelani mengatakan sebagai pelukis, Djon dikenal kerap menunjukkan corak di antara realisme dan ekspresionisme yang sarat dengan pandangan dan sikap kritis. Pria yang akrab disapa Kiki itu menilai bahwa karya-karya Djon tampak seperti mengolok 'kaum kaya' Indonesia yang 'sok gaya' menyukai karya seni rupa, padahal tidak sepadan dengan apa yang dicita-citakan para seniman dan misi ekspresi seni itu sendiri.
"Sikap kritis semacam itu, boleh jadi menyasar pada kaum kaya tersebut, tetapi juga berlaku bagi sikap para seniman sendiri," katanya.
Menurut Kiki, sebagai pelukis, Djon memiliki pandangan bahwa seni menjadi upaya pencapaian para seniman untuk menentukan kedaulatan dirinya sendiri. Dengan kata lain, melalui lukisan, sang seniman mencoba menampilkan soal identitas ke-Indonesia-an dengan kemerdekaan atau kedaulatan jiwa sehingga seseorang mampu menyatakan pandangannya sendiri.
"Saya sih memahami jiwa yang dimaksud Sudjojono dalam jargon seni sama dengan jiwa tampak, bukan dalam arti pendekatan ekspresionisme, tetapi lebih pada prinsip pencapaian kesadaran jiwa yang berdaulat," jelasnya.
Baca juga: Kisah Lukisan Karya Henk Ngantung, Diincar Soekarno & Jadi Saksi Bisu Detik-detik Proklamasi
Editor: Dika Irawan
Sebagai gantinya, dia lantas mengimbau para seniman untuk mulai menaruh perhatian pada persoalan-persoalan kebangsaan. Mencoba membangun kesadaran kolektif bahwa saat itu rakyat berada dalam penderitaan akibat penjajahan kolonial. Dialah Sindoedarsono Sudjojono.
Baca juga: Hypereport: Spirit Revolusioner dalam Karya-karya Seniman Dullah
Kala itu, Sudjojono tidak bermaksud untuk memaksakan para seniman bergeser pada haluan gaya lukis realisme. Sebaliknya, dia justru menawarkan gagasan tentang bagaimana membangun corak seni lukis Indonesia baru. Berkat pemikirannya itulah, tak heran jika pria kelahiran Kisaran, Sumatra Utara, ini dijuluki sebagai Bapak Seni Rupa Modern Indonesia.
Berangkat dari gagasannya itu, pada 1937 bersama pelukis Agus Djaya dan beberapa seniman lainnya, Sudjojono mendirikan Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia atau Persagi di Batavia. Organisasi ini bertujuan untuk membentuk suatu pembaharuan dalam seni rupa Indonesia.
Seni lukis menjadi media yang dapat mewujudkan realitas sosial masyarakat Indonesia. Bagi Persagi, seni lukis tidaklah netral, tetapi berangkat dari cara pandang tertentu. Dalam hal ini, keberadaan Persagi sebagai pihak yang mengritik lukisan Mooi Indie yang dianggap merepresentasikan cara pandang kolonial.
Keberpihakan Sudjojono pada rakyat membawanya menjadi seniman sekaligus tokoh penggerak. Sebagai pelukis, Sudjojono memiliki jiwa kepemimpinan dan kecakapan sebagai organisator yang ulung. Kelantangannya juga bukan hanya berkutat pada persoalan wacana seni, melainkan sikapnya untuk ikut terlibat langsung dalam masa-masa perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Pada bulan-bulan awal kemerdekaan misalnya, para pelukis di Jakarta di bawah arahan Sudjojono ikut membantu propaganda melalui poster-poster dan mural. Begitu pula ketika ibu kota Indonesia pindah dari Jakarta ke Yogyakarta pada 1946 untuk menyelamatkan negara dari tentara sekutu, Sudjojono berada di barisan dengan sejumlah seniman lain dan terlibat langsung dalam kecamuk revolusi.
Setelah organisasi bentukannya, Persagi, dibubarkan tentara Jepang, Sudjojono tak patah arang untuk membentuk kelompok baru. Saat pemerintahan 'mengungsi' ke Yogyakarta, Sudjojono membentuk kelompok Seniman Indonesia Muda (SIM). Diisi oleh seniman muda seperti Dullah, Sundoro, Zaini, dan Najah, para anggota SIM ditugaskan oleh pemerintah untuk membuat poster, spanduk, plakat, dan lukisan dokumentasi perang. Tak terkecuali Sudjojono.
Tak sedikit karya lukisan Sudjojono yang mengambil latar peristiwa pada masa revolusi. Namun, berbeda dengan karya-karya sketsa yang dibuat oleh sejumlah seniman secara on the spot untuk kebutuhan dokumentasi, pria yang akrab disapa Djon itu cenderung membuat lukisan-lukisan bergaya realis yang acapkali mengandalkan memori atau ingatannya akan sebuah peristiwa di masa-masa revolusi.
Lukisan-lukisan yang dibuat pun bukan menggambarkan peperangan ataupun momentum kenegaraan, melainkan kondisi dari imbas gejolak revolusi yang dialami oleh rakyat. Dengan kepiawaiannya, Djon menangkap sejumlah peristiwa penting pada masa itu dan melukiskannya di atas kanvas dari sudut pandangnya.
Misalnya dalam lukisan berjudul Mengungsi. Lukisan berdimensi 105 x 145 cm yang dibuat pada 1948 itu menampilkan dua sosok perempuan, satu laki-laki dan seorang anak kecil yang tampak sedang berusaha menyelamatkan diri dan barang-barang mereka. Jika dilihat dari lukisan itu, tidak terlalu jelas apa sebenarnya yang membuat mereka tampak ketakutan, selain awan yang menghitam sehingga suasana tampak mencekam.
Rupanya, lukisan itu dibuat oleh Djon ketika masa Agresi Militer Belanda II di Yogyakarta. Di atas kanvas, sang perupa melukiskan kembali kondisi keluarga dan para tetangganya ketika berupaya untuk menyelamatkan diri dan mencari tempat yang aman dalam pengungsian, untuk menghindari serangan yang dilakukan tentara Belanda.
Djon menjadi saksi bagaimana kala itu belasan pesawat tempur tentara Belanda secara sporadis menjatuhkan bom di Lapangan Terbang Maguwo, dan melayangkan senapan mesin untuk merebut Yogyakarta. Ledakan-ledakan yang begitu dahsyat membuat warga berlarian kalang kabut dan berusaha menyelamatkan diri.
Lukisan lain yang juga dibuat pada masa revolusi yakni berjudul Kawan-kawan Revolusi (Kamerad Revolusi). Karya berdimensi 149 x 95 cm yang dibuat pada 1947 itu menampilkan sejumlah tokoh laki-laki yang sekilas tidak diketahui pasti identitasnya.
Namun, sejumlah potret yang dilukis Djon itu yakni anak sulungnya Tedja Bayu, lalu Mayor Sugiri, Basuki Resobowo, Soerono, Trisno Sumardjo, Ramli, Suromo, Bung Dullah, Nindyo, Kasno, Oesman Effendi, Soedibio, Yudhokusumo, dan Kartono Yudhokusumo.
Lukisan ini dibuat oleh Djon dilatari oleh sikap heroik seorang pejuang bernama Bung Dullah (bukan pelukis Dullah). Bung Dullah dikisahkan berhasil mengebom empat tank serdadu Belanda dengan sejumlah bom yang diikatkan di pinggangnya. Bung Dullah lalu diselipkan dalam lukisan ini di antara 19 wajah yang lain.
Karya Djon lain yang juga monumental yakni Sekko (1949). Lukisan berdimensi 173 x 194 cm itu mengisahkan seorang tokoh gerilyawan bernama Sekko yang tengah melintas di kawasan Prambanan, Yogyakarta. Sekko sendiri diambil dari bahasa Jepang yang berarti prajurit lini depan yang membuka jalan bagi seluruh pasukan.
Menariknya, alih-alih menampilkan visual prajurit yang berseragam lengkap, Djon justru menghadirkan sosok seorang laki-laki bertelanjang kaki dengan pakaian sederhana sebagai prajurit yang berani mengangkat senjata dan berada di garda terdepan untuk membela bangsa. Meski di tengah puing-puing reruntuhan bangunan dan bebatuan, Sekko tak gentar melawan penjajah.
Peristiwa-peristiwa penting revolusi tak seluruhnya digambarkan oleh Djon pada saat itu juga. Banyak karyanya yang menggambarkan dinamika masa revolusi yang baru dibuat pada tahun 1960-an. Misalnya lukisan berjudul Pertemuan di Tjikampek jg Bersedjarah (1964).
Pertemuan di Tjikampek jg Bersedjarah. (Sumber foto: Museum MACAN)
Dalam karya ini, markas API terlihat nyaris hancur akibat serangan bom dan senapan mesin dari pasukan NICA (Netherlands Indies Civil Administration atau Pemerintahan Sipil Hindia Belanda). Djon yang hadir dan menyaksikan perundingan ini mengabadikan peristiwa tersebut ke dalam sketsa lalu dibuat versi lukisannya.
Pada masa ini, Djon juga membuat lukisan lain yang berangkat dari hasil karya sketsanya seputar peristiwa-peristiwa di sekitar markas tersebut yakni berjudul Ngaso (1964). Lukisan ini dibuat oleh Djon berdasarkan peristiwa yang terjadi tak lama setelah proklamasi kemerdekaan.
Dalam lukisan ini, sang seniman menggambarkan potret pejuang-pejuang kemerdekaan yang sedang beristirahat atau ngaso di sebuah reruntuhan, di tengah pertempuran melawan pasukan Sekutu untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Saat itu, Djon sedang dalam perjalanan dari Jakarta menuju Yogyakarta, untuk menghadiri Kongres Pemuda I. Dalam perjalanan tersebut, dia dan rekan-rekannya singgah di markas Angkatan Pemuda Indonesia di Cikampek, Jawa Barat. Selama masa persinggahan ini, Djon menggambar berbagai peristiwa yang terjadi selama pertempuran yang kemudian baru dijadikan lukisan hampir 20 tahun setelahnya.
Selain kelima lukisan tersebut, masih banyak karya Djon yang dibuat pada masa revolusi diantaranya Markas Laskar di Bekas Gudang Beras Tjikampek (1964), Persiapan Gerilya (1964), dan Prambanan (Jaga Pertama Menyeberang Djalan) yang dibuat pada 1968. Sebagian besar karya-karya monumental Djon saat ini menjadi koleksi Istana Kepresidenan Republik Indonesia.
Seniman Kritis
Kurator Rizki A. Zaelani mengatakan sebagai pelukis, Djon dikenal kerap menunjukkan corak di antara realisme dan ekspresionisme yang sarat dengan pandangan dan sikap kritis. Pria yang akrab disapa Kiki itu menilai bahwa karya-karya Djon tampak seperti mengolok 'kaum kaya' Indonesia yang 'sok gaya' menyukai karya seni rupa, padahal tidak sepadan dengan apa yang dicita-citakan para seniman dan misi ekspresi seni itu sendiri. "Sikap kritis semacam itu, boleh jadi menyasar pada kaum kaya tersebut, tetapi juga berlaku bagi sikap para seniman sendiri," katanya.
Menurut Kiki, sebagai pelukis, Djon memiliki pandangan bahwa seni menjadi upaya pencapaian para seniman untuk menentukan kedaulatan dirinya sendiri. Dengan kata lain, melalui lukisan, sang seniman mencoba menampilkan soal identitas ke-Indonesia-an dengan kemerdekaan atau kedaulatan jiwa sehingga seseorang mampu menyatakan pandangannya sendiri.
"Saya sih memahami jiwa yang dimaksud Sudjojono dalam jargon seni sama dengan jiwa tampak, bukan dalam arti pendekatan ekspresionisme, tetapi lebih pada prinsip pencapaian kesadaran jiwa yang berdaulat," jelasnya.
Baca juga: Kisah Lukisan Karya Henk Ngantung, Diincar Soekarno & Jadi Saksi Bisu Detik-detik Proklamasi
Editor: Dika Irawan
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.