Ini Gagasan Para Seniman Dalam Pameran Three for Plastic Hearts
30 October 2021 |
17:25 WIB
Komunitas Salihara Arts Center menggelar pameran seni rupa “Three for Plastic Hearts” yang berlangsung pada 29 Oktober - 30 November 2021. Pameran ini menampilkan karya-karya 3 perupa pemenang kompetisi karya Trimata Salihara 2019, yaitu Andrita Yuniza, Argy Dhyaksa, dan Wildan Indra Sugara.
Dalam rilis yang Hypeabis.id terima, Komunitas Salihara ingin memotret karya-karya, gagasan, dan arisp 3 perupa dalam rentang sekitar 3 tahun terakhir. Pameran ini akan berlangsung secara hibrida di Galeri Salihara.
Kurator Seni Rupa Komunitas Salihara Asikin Hasan menyebut ketiga perupa yang karyanya ditampilkan di pameran ini merupakan darah muda dunia seni rupa Indonesia.
“Pameran ini menampilkan karya-karya tiga perupa yang relatif muda, sebelumnya mereka memenangi Kompetisi Trimatra Salihara 2019. Kompetisi yang melibatkan perupa usia di bawah 35 tahun, dan diselenggarakan setiap tiga tahun sekali. Dengan pameran ini kami ingin memotret karya-karya dan gagasan mereka, baik dari dekat maupun jauh, dalam rentang sekitar dua tahun terakhir,” katanya.
Teknologi yang merasuk dalam keseharian adalah faktor utama yang membentuk cara pandang dan gagasan pada karya-karya seni rupa mereka, di mana teknologi hadir sebagai idiom dan medium sekaligus.
Pertanyaan yang muncul ketika berhadapan dengan karya-karya semacam ini terkadang tidak lagi pada tataran rupa semata, melainkan bagaimana efek estetis dapat timbul dari kemajuan teknologi dan peradaban masa kini.
“Kepekaan rasa yang bertaut pada rupa dan bentuk tidak lagi menjadi satu-satunya aspek dalam karya-karya mereka," katanya.
Kehangatan emosi yang biasanya membuat terharu, kini tergerus oleh soal-soal yang selama ini tidak dianggap sebagai bagian dari seni itu sendiri.
Obyek-obyek bahkan hadir dengan suasana dingin, sebagai implikasi dari gagasan dan konsep para perupa. Bahkan, para perupa berjarak dengan subyektivitas, berlaku layaknya seorang periset, dan menempatkan aspek kuantitatif yang berlawanan arah dengan produk seni sebelumnya.
"Mereka tertarik pada masalah lingkungan, pencemaran air, nasib planet bumi, dan umat manusia,” katanya.
Setelah melalui perjalanan panjang—sejak memenangi Kompetisi Karya Trimatra Salihara 2019, ketiga perupa ini memperlihatkan bahwa perkembangan teknologi masa kini, kondisi sosial budaya, dan lingkungan tempat mereka tinggal, memberi pengaruh yang luas pada kelahiran karya-karya mereka.
Hal ini segera bisa kita lihat pada karya-karya Andrita Yuniza, yang secara khusus punya perhatian terhadap masalah lingkungan.
Dalam karya-karyanya pada sebuah kotak berlampu, seniman menampilkan pelbagai sampah organik, yang telah mengalami transformasi bentuk simbol-simbol, dan yang lain dalam bentuk lembaran.
Karya-karya tersebut tersebab oleh dirinya sendiri menghadirkan warna-warna yang menarik.
Dalam salah satu karyanya juga, dia akan mentransfer suara-suara dan rupa yang saling berhubungan satu dengan lainnya.
Karya ini pengembangan dari gagasan sebelumnya berjudul “Mooi Indie”, pertanyaan atas keindahan lanskap tanah Jawa yang bisa jadi tak lagi sepenuhnya sebagaimana digambarkan dalam lukisan masa kolonial itu.
Andrita dalam karyanya mengambil sampel air dari Sungai Citarum dan Citarik, menemukan bahwa air sungai tersebut telah memiliki corak dari campuran fosfat (jingga), nitrat (kuning), kromium (hijau), dan zat kimia hasil limbah industri tekstil.
Sementara WIldan Indra Sugara juga tak jauh dari upaya merekrut sampah-sampah industri yang, ditemukannya baik di Jerman maupun di Indonesia.
Berbeda dengan Andrita yang mengolah materi sampah hingga pada bentuknya yang canggih, Wildan membiarkan saja sampah itu sebagaimana adanya. Sampah-sampah itu punya warna, punya riwayat, kelak akan mengalami proses kehancuran pada dirinya sendiri.
Dengan itu Wildan mengekstrimkan gagasannya dengan langsung menghadirkan kenyataan.
Dalam karyanya yang baru, dia tidak lagi hanya membuat duplikasi televisi dengan material cor semen, melainkan menghadirkan hebel, sejenis bata berwarna putih yang kini makin populer untuk pembuatan tembok rumah.
dia juga menggunakan obyek temuan dalam karya-karyanya seperti kursi plastik, mesin printer bekas, dan lain sebagainya. Dia rupanya memprovokasi pengunjung lewat-benda temuan.
Sementara Argya Dhyaksa dalam karyanya seperti mengatakan bahwa tidak akan pernah ada yang sempurna. Hal ini bisa jadi bersangkut paut dengan pengalamannya sebagai seorang keramikus yang, senantiasa berdebar-debar, apakah keramik di dalam tungku itu akan berhasil atau cacat dan rusak selama proses pembakaran.
Keramikus muda ini dalam karya-karyanya menampilkan ketidaksempurnaan itu dalam tulisan plesetan yang diabadikan pada sebuah bentuk menyerupai prasasti.
Sebagai seorang seniman, dibanding dua temannya yang sangat serius dalam berkarya, Argya memiliki daya bermain-main yang kuat.
Dia juga membuat keramik-keramik mungil yang dimasukkannya ke dalam botol. Lebih ekstrim lagi, Dia menempatkan sebuah headphone di salah satu dinding yang, sebenarnya tidak ada isi suara apa-apa, kecuali kehadiran headphone itu sendiri.
“Setelah melalui perjalanan panjangnya—sejak memenangi Kompetisi Trimatra Salihara 2019, ketiga perupa muda ini memperlihatkan bahwa; perkembangan teknologi masa kini, kondisi sosial budaya, dan lingkungan tempat mereka tinggal, memberi efek atau pengaruh yang luas pada kelahiran karya-karya mereka,” katanya.
Editor: M R Purboyo
Dalam rilis yang Hypeabis.id terima, Komunitas Salihara ingin memotret karya-karya, gagasan, dan arisp 3 perupa dalam rentang sekitar 3 tahun terakhir. Pameran ini akan berlangsung secara hibrida di Galeri Salihara.
Kurator Seni Rupa Komunitas Salihara Asikin Hasan menyebut ketiga perupa yang karyanya ditampilkan di pameran ini merupakan darah muda dunia seni rupa Indonesia.
“Pameran ini menampilkan karya-karya tiga perupa yang relatif muda, sebelumnya mereka memenangi Kompetisi Trimatra Salihara 2019. Kompetisi yang melibatkan perupa usia di bawah 35 tahun, dan diselenggarakan setiap tiga tahun sekali. Dengan pameran ini kami ingin memotret karya-karya dan gagasan mereka, baik dari dekat maupun jauh, dalam rentang sekitar dua tahun terakhir,” katanya.
Teknologi yang merasuk dalam keseharian adalah faktor utama yang membentuk cara pandang dan gagasan pada karya-karya seni rupa mereka, di mana teknologi hadir sebagai idiom dan medium sekaligus.
Pertanyaan yang muncul ketika berhadapan dengan karya-karya semacam ini terkadang tidak lagi pada tataran rupa semata, melainkan bagaimana efek estetis dapat timbul dari kemajuan teknologi dan peradaban masa kini.
“Kepekaan rasa yang bertaut pada rupa dan bentuk tidak lagi menjadi satu-satunya aspek dalam karya-karya mereka," katanya.
Kehangatan emosi yang biasanya membuat terharu, kini tergerus oleh soal-soal yang selama ini tidak dianggap sebagai bagian dari seni itu sendiri.
Obyek-obyek bahkan hadir dengan suasana dingin, sebagai implikasi dari gagasan dan konsep para perupa. Bahkan, para perupa berjarak dengan subyektivitas, berlaku layaknya seorang periset, dan menempatkan aspek kuantitatif yang berlawanan arah dengan produk seni sebelumnya.
"Mereka tertarik pada masalah lingkungan, pencemaran air, nasib planet bumi, dan umat manusia,” katanya.
Setelah melalui perjalanan panjang—sejak memenangi Kompetisi Karya Trimatra Salihara 2019, ketiga perupa ini memperlihatkan bahwa perkembangan teknologi masa kini, kondisi sosial budaya, dan lingkungan tempat mereka tinggal, memberi pengaruh yang luas pada kelahiran karya-karya mereka.
Hal ini segera bisa kita lihat pada karya-karya Andrita Yuniza, yang secara khusus punya perhatian terhadap masalah lingkungan.
Dalam karya-karyanya pada sebuah kotak berlampu, seniman menampilkan pelbagai sampah organik, yang telah mengalami transformasi bentuk simbol-simbol, dan yang lain dalam bentuk lembaran.
Karya-karya tersebut tersebab oleh dirinya sendiri menghadirkan warna-warna yang menarik.
Dalam salah satu karyanya juga, dia akan mentransfer suara-suara dan rupa yang saling berhubungan satu dengan lainnya.
Karya ini pengembangan dari gagasan sebelumnya berjudul “Mooi Indie”, pertanyaan atas keindahan lanskap tanah Jawa yang bisa jadi tak lagi sepenuhnya sebagaimana digambarkan dalam lukisan masa kolonial itu.
Andrita dalam karyanya mengambil sampel air dari Sungai Citarum dan Citarik, menemukan bahwa air sungai tersebut telah memiliki corak dari campuran fosfat (jingga), nitrat (kuning), kromium (hijau), dan zat kimia hasil limbah industri tekstil.
Sementara WIldan Indra Sugara juga tak jauh dari upaya merekrut sampah-sampah industri yang, ditemukannya baik di Jerman maupun di Indonesia.
Berbeda dengan Andrita yang mengolah materi sampah hingga pada bentuknya yang canggih, Wildan membiarkan saja sampah itu sebagaimana adanya. Sampah-sampah itu punya warna, punya riwayat, kelak akan mengalami proses kehancuran pada dirinya sendiri.
Dengan itu Wildan mengekstrimkan gagasannya dengan langsung menghadirkan kenyataan.
Dalam karyanya yang baru, dia tidak lagi hanya membuat duplikasi televisi dengan material cor semen, melainkan menghadirkan hebel, sejenis bata berwarna putih yang kini makin populer untuk pembuatan tembok rumah.
dia juga menggunakan obyek temuan dalam karya-karyanya seperti kursi plastik, mesin printer bekas, dan lain sebagainya. Dia rupanya memprovokasi pengunjung lewat-benda temuan.
Sementara Argya Dhyaksa dalam karyanya seperti mengatakan bahwa tidak akan pernah ada yang sempurna. Hal ini bisa jadi bersangkut paut dengan pengalamannya sebagai seorang keramikus yang, senantiasa berdebar-debar, apakah keramik di dalam tungku itu akan berhasil atau cacat dan rusak selama proses pembakaran.
Keramikus muda ini dalam karya-karyanya menampilkan ketidaksempurnaan itu dalam tulisan plesetan yang diabadikan pada sebuah bentuk menyerupai prasasti.
Sebagai seorang seniman, dibanding dua temannya yang sangat serius dalam berkarya, Argya memiliki daya bermain-main yang kuat.
Dia juga membuat keramik-keramik mungil yang dimasukkannya ke dalam botol. Lebih ekstrim lagi, Dia menempatkan sebuah headphone di salah satu dinding yang, sebenarnya tidak ada isi suara apa-apa, kecuali kehadiran headphone itu sendiri.
“Setelah melalui perjalanan panjangnya—sejak memenangi Kompetisi Trimatra Salihara 2019, ketiga perupa muda ini memperlihatkan bahwa; perkembangan teknologi masa kini, kondisi sosial budaya, dan lingkungan tempat mereka tinggal, memberi efek atau pengaruh yang luas pada kelahiran karya-karya mereka,” katanya.
Editor: M R Purboyo
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.